"Di bidang ekonomi kebijakan ekonomi liberal yang diadopsi Indonesia terbukti memicu pemiskinan perempuan."
VHRmedia, Jakarta – Meski telah lampau seabad sejak
Kartini hadir dalam pemikiran perjuangan hak-hak perempuan, kekerasan,
diskriminasi dan pemiskinan masih tetap dialami perempuan Indonesia.
Bahkan jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun.
Data Komnas Perempuan mencatat ada 216.156 kasus kekerasan terhadap
perempuan sepanjang tahun 2012, meningkat dari catatan tahun 2011
sebanyak 119.107 kasus. Sedangkan kekerasan yang tercatat pada tahun
2010 sebanyak 105.103 kasus.
Komnas Perempuan juga mencatat setidaknya 282 peraturan daerah
mempunyai tendensi mendiskriminasi perempuan dengan Jawa Barat sebagai
provinsi yang paling rajin menerbitkan perda diskriminatif.
Menurut Executive Director Yayasan Institut Perempuan, R Valentina
Sagala diskriminasi perempuan berlangsung di setiap ranah kehidupan,
ekonomi hingga kesehatan. Di ranah ekonomi, kebijakan ekonomi liberal
yang diadopsi Indonesia terbukti menstimulus pemiskinan perempuan.
Implementasi perjanjian pasar bebas seperti CAFTA atau China ASEAN
Free Trade Agreement dan pemberlakuan UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang
Piagam Asean menyebabkan banjirnya produk impor dari Cina dan itu juga
menyebabkan pelaku ekonomi lokal tersingkir.
“Tumbuhnya pasar modern atau mini market, memarjinalkan dan bahkan
menyebabkan perempuan pengusaha kecil bangkrut. Padahal 51,21 persen
pekerja di sektor informal dan 60 persen adalah perempuan,” kata
Valentina.
Dia lebih lanjut menyesalkan terbatasnya upaya pemerintah untuk
memfasilitasi kapasitas perempuan pengusaha kecil, khususnya dalam
mengembangkan usaha. Program yang dilakukan pemerintah tidak sesuai
dengan kebutuhan perempuan dan tidak berkelanjutan. Perempuan pun masih
terkendala mengakses kredit dan pinjaman modal dari bank seperti program
Kredit Usaha Rakyat. Perempuan tetap tak bisa mengakses sepenuhnya
program tersebut.
“Koperasi yang menjadi pilihan yang ramah bagi perempuan miskin dan
merupakan model ekonomi berasaskan kekeluargaan sesuai UUD 1945, pun
pada akhirnya harus tunduk pada gelombang ekonomi pasar bebas, “ kata
dia.
Kegagalan 'koperasi'
Sementara itu pemberlakukan UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang
Perkoperasian pembentukan koperasi yang awalnya dibangun berdasarkan
semangat kebersamaan dan kekeluargaan, telah berubah menjadi
mengagungkan peranan modal besar. Dibolehkannya penyertaan modal dari
luar yang tidak ada pembatasnya menjadikan anggota sebagai obyek
pinjaman pemilik modal besar. “Diperbolehkannya pengurus dari non
anggota dan pengawas sebagai superbodi akan mendorong swastanisasi
koperasi,” katanya
Di ranah kesehatan, tingginya tingkat angka kematian ibu (AKI) yang
masih sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup menunjukkan perempuan
gagal mendapatkan perlindungan penuh oleh negara. Sedangkan target
menurunkan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015
terancam gagal.
Tingginya AKI disebabkan beberapa faktor seperti masih terbatasnya
jumlah tenaga kesehatan, bidan, dokter atau anestesi, terbatasnya rumah
tunggu, Puskesmas, rumah singgah, dan lain-lain. “Negara juga gagal
melindungi perempuan Indonesia dari praktek diskriminatif sunat
perempuan,” kata Valentina.
Sunat perempuan yang telah dilarang sejak 2006 dengan dikeluarkannya
Surat Edaran tentang Larangan Sunat Perempuan oleh Tenaga Kesehatan No
HK.00.07.1.3.1047 Tahun 2006 oleh Dirjen Kesehatan Masyarakat Departemen
Kesehatan kembali dihidupkan oleh Pemerintah.
Bukannya menghapus sunat perempuan, Pemerintah justru mengeluarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010 yang memberi
legitimasi praktik mutilasi kelamin perempuan dan memberi otoritas pada
pekerja medis tertentu, seperti dokter, bidan dan perawat, untuk
melakukan sunat perempuan.
Valentina menyebut Peraturan Menteri Kesehatan ini mendefinisikan
praktek ini sebagai tindakan menggores kulit yang menutupi kulit bagian
depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Peraturan ini jelas bertentangan
dengan CEDAW dan tidak sejalan dengan seruan World Health Organization
(WHO) untuk mengakhiri sunat perempuan.
Dan di ranah pendidikan, data menunjukkan perempuan cenderung tidak
melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Menurut BPS
(2011), angka partisipasi murni (APM) perempuan jenjang SD 90,37, APM
perempuan jenjang SMP 69,19, APM perempuan jenjang SMU 48,19. “Selain
itu, masih terdapat perempuan berusia 15 tahun ke atas yang melek huruf
sebesar 90,07 persen, bandingkan dengan laki-laki melek huruf 95,59
persen,” katanya.
Dalam konteks pekerja rumah tangga (PRT) pun perlindungan negara
masih minim. Data JALA PRT menunjukkan 92 persen pekerja migran adalah
PRT (2012). Menurut BNP2TKI, pada 2011 terdapat 2.209 pelecehan atau
kekerasan seksual dan 535 orang perempuan pekerja migran kembali dalam
keadaan hamil.
Jumlah PRT migran diprediksi akan terus meningkat jika dihubungkan
dengan ketersediaan pekerjaan bagi perempuan miskin. Hingga Maret 2012,
tingkat kemiskinan di Indonesia adalah 11.96 persen atau 29.13 juta
orang.
“Mencermati kondisi di atas, maka pada momen hari Kartini kami
menyerukan, pertama, Pemerintah harus membangun ekonomi yang adil dan
berlandaskan Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945 dan melakukan
evaluasi terhadap perjanjian perdagangan bebas yang telah diikatkan
sebelumnya,” kata Valentina.
Selain itu pemerintah harus melancarkan program pemberdayaan bagi
perempuan yang cocok dengan kebutuhan perempuan dan menjalankan
langkah-langkah kongkrit menurunkan angka kematian ibu.
Pemerintah juga harus mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1636/MENKES/PER/ XI/2010 dan memberikan perlindungan menyeluruh bagi PRT
dan PRT migran, serta menyusun RUU tentang Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia dan Anggota Keluarganya dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah
Tangga. “Tentunya dengan mengakomodir hak dan perlindungan PRT dan PRT
migran sesuai instrumen HAM internasional,” ujar Valentina.
Pemerintah mesti mengusut kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan
dan menyediakan layanan bagi korban kekerasan. Menurut Valentina,
masyarakat, tak terkecuali tokoh masyarakat dan tokoh agama harus
mengambil peran menghentikan kekerasan terhadap perempuan.(E2)