4/07/2013

12 Tahun Refleksi Otsus Papua, Sampai Kapan Konflik Papua Berlarut?

 Opini By Turius Wenda

“Katanya Otsus adalah solusi akhir atas konflik papua, Sudah 12 tahun Otsus di berlakukan, dan dalam waktu dekat akan adakan pameran Otsus papua di jakarta, Apakah ada tanda – tanda benar bahwa Otsus berhasil dan Mampu merendam Konflik Papua, ataukah telah melenceng dari Misi mulia Otsus itu sendiri”

Turius Wenda
Tidak terasa Otsus sudah berusia 12 Tahun setelah diterbitkan Undang-Undang No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, namun keadaan belum juga ada perubahan yang berarti, bahkan lebih memburuk. Kekerasan militer atau pelanggaran HAM masih terus terjadi, ruang demokrasi tertutup, standar hidup anjlok ke taraf yang lebih rendah sehingga sebagian besar penduduk asli papua tak punya akses pelayanan Ekonomi, kesehatan, pendidikan yang memadai.

Kondisi itulah mendesak masyarakat untuk mengembalikan Otonomi Khusus kepada pemerintah dan menuntut Referendum. Muhammad Musa'ad, Kepala Demokratic Centre Universitas Cenderawasih mengungkap kegagalan Otsus diPapua dalam Seminar “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Otonomi Khusus Di Papua ” yang diselenggarakan oleh Kaukus Parlementer Papua bekerja sama dengan Fakultas Hukum Uni ersitas AtmaJaya Jakarta 2010 silam. 

Pernyataan tersebut dapat dibenarkan dari beberapa pembicara yang memberikan materi dalam seminar dan dapat diakui oleh Dirjen Otonomi dan Pemekaran Kementerian Dalam Negeri, Prof Dr.Jhon Pieris, SH, MS mengakuinya Bahwa Otonomi Khusus memang gagal, implementasi dalam sembilan tahun berjalan tetapi ka ena tidak ada jalan lain, maka harus dievaluasi.

Kelahiran Otsus berawal dari Pasca jatuhnya Soeharto 1999, Presiden Habibie didatangi Tim 100 dari Papua yang menuntut kemerdekaan. Kemudian Presiden GusDur menanggapi aspirasi itu dengan memulihkan nama Papua dari Irian Jaya dan membuka peluang untuk menggunakan simbol-simbol Papua serta meminta masyarakat Papua menyusun kehendak mereka.

Yang akhirnya rakyat papua  menjawab permintaan Gusdur dengan mengadakan Kongres Rakyat Papua II tahun 2000, Pelurusan sejarah papua telah menggema di sela kogres dan menuntut kemerdekaan karena soal Pepera tahun 1969 yang kebanyakan orang papua ada ketidakadilan dan status guo atas hasil pepera. 

Pepera adalah plebisit yang dimanipulasi di bawah Orde Baru atas perundinagan antara RI, Belanda, Amerika dan PBB yang tidak pernah melibatkan orang papua yang nota bene pemilik bangsa papua sendiri.

Sementara tanggapan atas papua bahwa Gus Dur menghasilkan solusi damai yang disebut 'Otoritas Baru Papua. Tapi GusDur tersingkir lebih dulu dan wacana baru itu kemudian lahirlah UU Otsus yang diberlakukan di bawah otoritas Presiden Megawati. Selanjutnya Megawati, terutama para jenderal yang menjadi panutannya, yakni Mendagri Hari Sabarno, merasa kecolongan

MRP, yaitu Majelis Rakyat Papua, adalah lembaga pemersatu yang dituntut masyarakat Papua untuk melindungi adat, agama dan kepentingan kelompok perempuan. Sayangnya , Jakarta melihat semangat Otsus dan lembaga MRP itu memberi ruang kecurigaan bagi jakarta atas papua. Singkatnya, dapat membuka jalan menuju kemerdekaan.

Walhasil, UU Otsus diobok-obok dan melahirkan pemekaran serta sejumlah perdasus (peraturan daerah khusus) yang memecah belah Papua agar terkunci di dalam NKRI. Hasilnya kenyataan membuktikan bahwa: NKRI yang dejure negara kesatuan dan defacto federalistis itu, di Papua menjadi campur aduk yang salah kaprah.

Hal ini tidak pernah dipertanggungjawabkan di depan MPR, Mendagri Hari Sabarno malah naik pangkat . Dia dan Hendro priyono menjadi satu -satunya jenderal yang berbintang empat tanpa pernah menjabat pucuk keamanan (KSAD, Panglima TNI ataupun Menko Polkam). 

Politik nasional cenderung diam dan sunyi tentang kegagalan otsus Papua karena seluruh spektrum politik dari bekas Orde Baru sampai sayap kiri, didalam dan diluar negeri, mendukung kesatuan tanpa menginsyafi dampak sentimen sentralisme dan paranoia yang malah membahayakan perstuan republik ini.

Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sejak 2004 lebih disibukkan soal Aceh, juga tidak melaksanakan UU Otsus Papua seperi dimaksud semula. 

Jakarta tidak memberi asistensi untuk melaksanakan UU Otsus, bahkan membiarkan intervensi pusat . Bahkan, SBY kini dituntut memberi payung hukum, dengan kata lain mensahkan hasil obok-obok dan intervensi Jakarta dan elit lokal Papua sejak zaman Megawati yang telah mewujudkan pemekaran propinsi ilegal, Papua Barat (IJB), perdasus-perdasus yang di produkan tidak menyentuh kebutuhan rakyat papua dan malah kemiskinan meraja lelah dan memberi peluang para birokrat dan politikus menyalanggunakan kewenangan atas kucuran dana Otsus yang nilainya Triliunan itu.

Para penegak Hukum pun membiarkan para koruptor berleluasa bermain uang rakyat meraja lela.

Di Papua memang ada pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam proses-proses implementasi pembangunan. Berkaitan dengan kesehatan, berkaitan dengan ekonomi, berkaitan dengan pendidikan, belum ada keberpihakan yang jelas. Wujud proteksi bagi rakyat pribumi papua tidak kelihatan sama sekali. Dalam perdasus (peraturan daerah khusus) yang kurang lima atau enam tahun harus disahkan, tetapi sudah 12 tahun  belum ada satu peraturan daerah khusus yang dirumuskan apalagi disahkan.

Jadi kalau di Aceh upaya pecah-belah dan pemekaran seperti wacana ALA-ABAS sulit terwujud, di Papua intervensi semacam itu telah sukses. Karena memang Papua dan Aceh berbeda dari perspektif lain. 

Kalaupun keduanya sama-sama diterapkan konsep desentralisasi atau Otonomi Khusus. Perspektif Aceh adalah telah disepakati melalui forum yang dikenal dengan MOU Helsingki oleh kedua belah pihak yang disaksikan langsung pihak ketiga.

Perseptif Papua belum ada forum untuk menyelesaikan persoalan seperti Aceh sehingga masih ada tarik menarik antara pusat dan daerah terkait peraturan. perundang-undangan. 

Lalu intervensi pusat yang lebih dominan dalam segala kewenangan membuat dilematis bagi MRP, DPRP bahkan pemerintah daerah. Akibatnya, rakyat Papua yang menjadi korban di tengah permainan irama politik antara elit -elit pusat dan daerah.

Isue sentral untuk saat ini, ada pameran otsus di jakarta, Pameran keberhasilan otsus papua, sungguh ironis apa saja yang akan di pamerkan buah-buah otsus.

Secara riil penilaian orang papua sendiri terhadap hasil otsus tidak ada perubahan yang berarti dari sajak otsus itu di berlakukan, konflik masih saja terjadi, rakyat tetap saja di marjinalkan, pemerintah masih saja memelihara kemiskinan bagi orang papua, dominasi ekonomi, diskriminasi, teror, intimindasi tetap mengental di papua dan hak hidup orang papua tetap terncam. 

Apakah ini misi khusus papua oleh jakarta? Para aktivis selalu di tangkap dimana-mana bahkan di tahun 2012 silam 22 Anggota Aktivis KNPB di tembak Mati oleh aparat TNI/Polri, bahkan banyak kasus lain yang tidak terhitung jumlahnya.

Para Gerilyawan TPN/OPM masih saja beraksi di mana-mana, seperti kasus di mulia dan sinak puncaka jaya yang menewaskan 8 Anggota TNI dan 4 warga sipil, Jayapura, Pirime Lanny Jaya 4 anggota Polsek Tewas, Nabire dll.

Kenyataan ini sulit di menggerti, aneh tapi nyata, apakah konflik harus berlarut sampai rakyat yang tak berdosa baik orang asli papua, pendatang harus menjadi korban. Adakah niat baik pemerintah untuk mencari solusi permanen untuk papua, ataukah tidak ada jalan lain yang harus tempuh demi kelangsungan hak hidup masyarakat papua? 

Janji SBY atas papua sudahlah berakhir dengan hampa, di zaman SBY telah menyetujui pembentukan UP4B, apakah UP4B menjadi gula manis atas janji SBY untuk penyelesaian masalah papua secara dialog yang komperensif, kenyataan kepemimpinan SBY atas penyelesaian konflik papua semakin menggelap dan mengurita, semua kasus kekerasan dan pelanggaran HAM tidak ada yang di pertanggungjawabkan bahkan para pelaku kekerasan masih saja berkeliaran, para korban tidak pernah mendapat keadilan yang seadil-adilnya.

Dari kenyataan ini saya mengusulkan perlunya ada keterbukaan antara papua dan jakarta atas misteri yang tersembunyi di hati jakarta dan papua. Bahkan saya mengusulkan  4 Pokok permasalahan mendasar yang harus di bicarakan dan selesaikan antara papua dan jakarta dalam suatu perundingan atau Dialog sebagi solusi permanen atas konflik papua yaiu:
  • Ada perbedaan persepsi mengenai History atau sejarah Integrasi integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia melalui Undang 1969 yang penuh kotroversial.
  • Persoalan Keadilan, Perasaan traumatis warga Papua sebagai akibat dari penumpasan Papua dari masa lalu sampai Kni , yang dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia, namun tidak  tersentuh Hukum atau tidak sepenuhnya diselidiki secara menyeluruh
  • Terjadinya  diskriminasi, teror, Penangkapan Aktivis semena-mena, dan marjinalisasi, dominasi, diskrimansi orang asli Papua
  • Kegagalan otonomi khusus, terutama pembangunan di bidang ekonomi, kesehatan kesejahteraan dan pendidikan.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Waktu Anda Untuk Berkomentar atas Berita ini