Opini By Turius Wenda
“Katanya
Otsus adalah solusi akhir atas konflik papua, Sudah 12 tahun Otsus di
berlakukan, dan dalam waktu dekat akan adakan pameran Otsus papua di jakarta,
Apakah ada tanda – tanda benar bahwa Otsus berhasil dan Mampu merendam Konflik
Papua, ataukah telah melenceng dari Misi mulia Otsus itu sendiri”
Turius Wenda |
Tidak terasa Otsus sudah berusia
12 Tahun setelah diterbitkan Undang-Undang
No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, namun keadaan belum juga
ada perubahan yang berarti, bahkan lebih memburuk. Kekerasan militer atau
pelanggaran HAM masih terus terjadi, ruang demokrasi tertutup, standar hidup
anjlok ke taraf yang lebih rendah sehingga sebagian besar penduduk asli papua tak
punya akses pelayanan Ekonomi, kesehatan, pendidikan yang memadai.
Kondisi itulah mendesak
masyarakat untuk mengembalikan Otonomi Khusus kepada pemerintah dan menuntut
Referendum. Muhammad Musa'ad, Kepala Demokratic Centre Universitas Cenderawasih
mengungkap kegagalan Otsus diPapua dalam Seminar “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
Otonomi Khusus Di Papua ” yang diselenggarakan oleh Kaukus Parlementer Papua
bekerja sama dengan Fakultas Hukum Uni ersitas AtmaJaya Jakarta 2010 silam.
Pernyataan tersebut dapat
dibenarkan dari beberapa pembicara yang memberikan materi dalam seminar dan
dapat diakui oleh Dirjen Otonomi dan Pemekaran Kementerian Dalam Negeri, Prof
Dr.Jhon Pieris, SH, MS mengakuinya Bahwa Otonomi Khusus memang gagal,
implementasi dalam sembilan tahun berjalan tetapi ka ena tidak ada jalan lain,
maka harus dievaluasi.
Kelahiran Otsus berawal dari
Pasca jatuhnya Soeharto 1999, Presiden Habibie didatangi Tim 100 dari Papua
yang menuntut kemerdekaan. Kemudian Presiden GusDur menanggapi aspirasi itu
dengan memulihkan nama Papua dari Irian Jaya dan membuka peluang untuk
menggunakan simbol-simbol Papua serta meminta masyarakat Papua menyusun
kehendak mereka.
Yang akhirnya rakyat papua menjawab permintaan Gusdur dengan mengadakan Kongres
Rakyat Papua II tahun 2000, Pelurusan sejarah papua telah menggema di sela
kogres dan menuntut kemerdekaan karena soal Pepera tahun 1969 yang kebanyakan
orang papua ada ketidakadilan dan status guo atas hasil pepera.
Pepera adalah plebisit yang
dimanipulasi di bawah Orde Baru atas perundinagan antara RI, Belanda, Amerika
dan PBB yang tidak pernah melibatkan orang papua yang nota bene pemilik bangsa
papua sendiri.
Sementara tanggapan atas
papua bahwa Gus Dur menghasilkan solusi damai yang disebut 'Otoritas Baru Papua.
Tapi GusDur tersingkir lebih dulu dan wacana baru itu kemudian lahirlah UU
Otsus yang diberlakukan di bawah otoritas Presiden Megawati. Selanjutnya Megawati,
terutama para jenderal yang menjadi panutannya, yakni Mendagri Hari Sabarno,
merasa kecolongan.
MRP, yaitu Majelis Rakyat
Papua, adalah lembaga pemersatu yang dituntut masyarakat Papua untuk melindungi
adat, agama dan kepentingan kelompok perempuan. Sayangnya , Jakarta melihat
semangat Otsus dan lembaga MRP itu memberi ruang kecurigaan bagi jakarta atas
papua. Singkatnya, dapat membuka jalan menuju kemerdekaan.
Walhasil, UU Otsus diobok-obok
dan melahirkan pemekaran serta sejumlah perdasus (peraturan daerah khusus)
yang memecah belah Papua agar terkunci di dalam NKRI. Hasilnya kenyataan
membuktikan bahwa: NKRI yang dejure negara kesatuan dan defacto federalistis
itu, di Papua menjadi campur aduk yang salah kaprah.
Hal ini tidak pernah
dipertanggungjawabkan di depan MPR, Mendagri Hari Sabarno malah naik pangkat .
Dia dan Hendro priyono menjadi satu -satunya jenderal yang berbintang empat
tanpa pernah menjabat pucuk keamanan (KSAD, Panglima TNI ataupun Menko Polkam).
Politik nasional cenderung
diam dan sunyi tentang kegagalan otsus Papua karena seluruh spektrum politik
dari bekas Orde Baru sampai sayap kiri, didalam dan diluar negeri, mendukung
kesatuan tanpa menginsyafi dampak sentimen sentralisme dan paranoia yang malah
membahayakan perstuan republik ini.
Pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono yang sejak 2004 lebih disibukkan soal Aceh, juga tidak melaksanakan
UU Otsus Papua seperi dimaksud semula.
Jakarta tidak memberi
asistensi untuk melaksanakan UU Otsus, bahkan membiarkan intervensi pusat .
Bahkan, SBY kini dituntut memberi payung hukum, dengan kata lain mensahkan hasil
obok-obok dan intervensi Jakarta dan elit lokal Papua sejak zaman
Megawati yang telah mewujudkan pemekaran propinsi ilegal, Papua Barat (IJB),
perdasus-perdasus yang di produkan tidak menyentuh kebutuhan rakyat papua dan malah
kemiskinan meraja lelah dan memberi peluang para birokrat dan politikus menyalanggunakan
kewenangan atas kucuran dana Otsus yang nilainya Triliunan itu.
Para penegak Hukum pun
membiarkan para koruptor berleluasa bermain uang rakyat meraja lela.
Di Papua memang ada
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam proses-proses implementasi
pembangunan. Berkaitan dengan kesehatan, berkaitan dengan ekonomi, berkaitan
dengan pendidikan, belum ada keberpihakan yang jelas. Wujud proteksi bagi
rakyat pribumi papua tidak kelihatan sama sekali. Dalam perdasus (peraturan
daerah khusus) yang kurang lima atau enam tahun harus disahkan, tetapi sudah 12
tahun belum ada satu peraturan daerah
khusus yang dirumuskan apalagi disahkan.
Jadi kalau di Aceh upaya
pecah-belah dan pemekaran seperti wacana ALA-ABAS sulit terwujud, di Papua
intervensi semacam itu telah sukses. Karena memang Papua dan Aceh berbeda dari
perspektif lain.
Kalaupun keduanya sama-sama
diterapkan konsep desentralisasi atau Otonomi Khusus. Perspektif Aceh adalah
telah disepakati melalui forum yang dikenal dengan MOU Helsingki oleh kedua belah
pihak yang disaksikan langsung pihak ketiga.
Perseptif Papua belum ada
forum untuk menyelesaikan persoalan seperti Aceh sehingga masih ada tarik menarik
antara pusat dan daerah terkait peraturan. perundang-undangan.
Lalu intervensi pusat yang
lebih dominan dalam segala kewenangan membuat dilematis bagi MRP, DPRP bahkan
pemerintah daerah. Akibatnya, rakyat Papua yang menjadi korban di tengah
permainan irama politik antara elit -elit pusat dan daerah.
Isue sentral untuk saat ini,
ada pameran otsus di jakarta, Pameran keberhasilan otsus papua, sungguh ironis
apa saja yang akan di pamerkan buah-buah otsus.
Secara riil penilaian orang
papua sendiri terhadap hasil otsus tidak ada perubahan yang berarti dari sajak
otsus itu di berlakukan, konflik masih saja terjadi, rakyat tetap saja di
marjinalkan, pemerintah masih saja memelihara kemiskinan bagi orang papua,
dominasi ekonomi, diskriminasi, teror, intimindasi tetap mengental di papua dan
hak hidup orang papua tetap terncam.
Apakah ini misi khusus papua
oleh jakarta? Para aktivis selalu di tangkap dimana-mana bahkan di tahun 2012
silam 22 Anggota Aktivis KNPB di tembak Mati oleh aparat TNI/Polri, bahkan
banyak kasus lain yang tidak terhitung jumlahnya.
Para Gerilyawan TPN/OPM
masih saja beraksi di mana-mana, seperti kasus di mulia dan sinak puncaka jaya
yang menewaskan 8 Anggota TNI dan 4 warga sipil, Jayapura, Pirime Lanny Jaya 4
anggota Polsek Tewas, Nabire dll.
Kenyataan ini sulit di
menggerti, aneh tapi nyata, apakah konflik harus berlarut sampai rakyat yang
tak berdosa baik orang asli papua, pendatang harus menjadi korban. Adakah niat
baik pemerintah untuk mencari solusi permanen untuk papua, ataukah tidak ada
jalan lain yang harus tempuh demi kelangsungan hak hidup masyarakat papua?
Janji SBY atas papua
sudahlah berakhir dengan hampa, di zaman SBY telah menyetujui pembentukan UP4B,
apakah UP4B menjadi gula manis atas janji SBY untuk penyelesaian masalah papua
secara dialog yang komperensif, kenyataan kepemimpinan SBY atas penyelesaian
konflik papua semakin menggelap dan mengurita, semua kasus kekerasan dan
pelanggaran HAM tidak ada yang di pertanggungjawabkan bahkan para pelaku
kekerasan masih saja berkeliaran, para korban tidak pernah mendapat keadilan
yang seadil-adilnya.
Dari kenyataan ini saya
mengusulkan perlunya ada keterbukaan antara papua dan jakarta atas misteri yang
tersembunyi di hati jakarta dan papua. Bahkan saya mengusulkan 4 Pokok permasalahan mendasar yang harus di
bicarakan dan selesaikan antara papua dan jakarta dalam suatu perundingan atau
Dialog sebagi solusi permanen atas konflik papua yaiu:
- Ada perbedaan persepsi mengenai History atau sejarah Integrasi integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia melalui Undang 1969 yang penuh kotroversial.
- Persoalan Keadilan, Perasaan traumatis warga Papua sebagai akibat dari penumpasan Papua dari masa lalu sampai Kni , yang dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia, namun tidak tersentuh Hukum atau tidak sepenuhnya diselidiki secara menyeluruh
- Terjadinya diskriminasi, teror, Penangkapan Aktivis semena-mena, dan marjinalisasi, dominasi, diskrimansi orang asli Papua
- Kegagalan otonomi khusus, terutama pembangunan di bidang ekonomi, kesehatan kesejahteraan dan pendidikan.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Waktu Anda Untuk Berkomentar atas Berita ini