Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-21 yang
diselenggarakan di Pnom Penh, 18-19 November, melahirkan produk politik
baru, yaitu Deklarasi HAM ASEAN. Kemarin, Deklarasi HAM ASEAN resmi
ditandatangani oleh kesepuluh negara ASEAN.
Bagi pemerintah negara-negara anggota ASEAN, Deklarasi ini dianggap sebagai capaian besar setelah pada 2009 ASEAN membentuk Badan HAM ASEAN. Tapi, mencermati proses dan hasil pembentukan Deklarasi ini, sesungguhnya menggambarkan bahwa ASEAN bukanlah arena dan sarana pemajuan HAM.
LSM pemerhati HAM nasional, Setara Institute, menyebutkan bahwa dalam Deklarasi tersebut dinyatakan bahwa hak-hak asasi akan dipertimbangkan dalam "konteks regional dan nasional". Artinya, penghormatan, promosi, perlindungan, dan pemenuhan HAM sangat bergantung pada pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh ASEAN secara kolektif dan oleh negara-negara anggota ASEAN secara sendiri-sendiri.
Dengan demikian, bukannya pemajuan HAM dengan standar universal yang diperoleh dari Deklarasi ini, tetapi justru pembatasan kolektif atas nama prinsip non interference (tidak mencampuri urusan nasional dalam negeri masing-masing).
Semestinya, menurut Setara, ASEAN belajar dari pengalaman kegagalan perlindungan HAM di beberapa negara anggota ASEAN. Myanmar adalah contoh yang paling sering mengalami krisis politik dalam negeri. Namun, atas nama prinsip non interference, intervensi kemanusiaan bahkan sulit dilakukan.
Harapan agar Badan HAM ASEAN menjadi mekanisme kawasan dan regional penegakan HAM juga pupus karena dengan prinsip non intervence dan disparitas penghormatan HAM antar satu negara dengan negara ASEAN lainnya, justru semakin menjauhkan harapan adanya mekanisme pertanggungjawaban negara dalam berbagai peristiwa pelanggaran HAM.
"Pendek kata, Deklarasi ini tiada guna bagi hak asasi manusia. Dengan model Deklarasi semacam ini, Badan HAM ASEAN hanya menjadi wadah persaudaraan dan tempat saling berkeluh kesah tentang kondisi hak asasi manusia di masing-masing negara," demikian tertulis di pernyataan tersebut, Senin (19/11).
Sebagai pernyataan dan peneguhan komitmen yang morally binding, Deklarasi ini semestinya memuat prinsip-prinsip dasar HAM dengan standar internasional. Selain atas dasar prinsip non interference, kualitas deklarasi yang demikian merupakan buah ketertutupan Badan HAM ASEAN dalam menyusun deklarasi ini dari masyarakat sipil.
"Tanpa mekanisme yang memungkinkan keadilan tercipta dan terlimpahkan bagi komunitas bangsa ASEAN, Deklarasi ini hanyalah basa-basi politik regional memikat dukungan politik internasional," tutup pernyataan tertulis itu. [ald]
Bagi pemerintah negara-negara anggota ASEAN, Deklarasi ini dianggap sebagai capaian besar setelah pada 2009 ASEAN membentuk Badan HAM ASEAN. Tapi, mencermati proses dan hasil pembentukan Deklarasi ini, sesungguhnya menggambarkan bahwa ASEAN bukanlah arena dan sarana pemajuan HAM.
LSM pemerhati HAM nasional, Setara Institute, menyebutkan bahwa dalam Deklarasi tersebut dinyatakan bahwa hak-hak asasi akan dipertimbangkan dalam "konteks regional dan nasional". Artinya, penghormatan, promosi, perlindungan, dan pemenuhan HAM sangat bergantung pada pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh ASEAN secara kolektif dan oleh negara-negara anggota ASEAN secara sendiri-sendiri.
Dengan demikian, bukannya pemajuan HAM dengan standar universal yang diperoleh dari Deklarasi ini, tetapi justru pembatasan kolektif atas nama prinsip non interference (tidak mencampuri urusan nasional dalam negeri masing-masing).
Semestinya, menurut Setara, ASEAN belajar dari pengalaman kegagalan perlindungan HAM di beberapa negara anggota ASEAN. Myanmar adalah contoh yang paling sering mengalami krisis politik dalam negeri. Namun, atas nama prinsip non interference, intervensi kemanusiaan bahkan sulit dilakukan.
Harapan agar Badan HAM ASEAN menjadi mekanisme kawasan dan regional penegakan HAM juga pupus karena dengan prinsip non intervence dan disparitas penghormatan HAM antar satu negara dengan negara ASEAN lainnya, justru semakin menjauhkan harapan adanya mekanisme pertanggungjawaban negara dalam berbagai peristiwa pelanggaran HAM.
"Pendek kata, Deklarasi ini tiada guna bagi hak asasi manusia. Dengan model Deklarasi semacam ini, Badan HAM ASEAN hanya menjadi wadah persaudaraan dan tempat saling berkeluh kesah tentang kondisi hak asasi manusia di masing-masing negara," demikian tertulis di pernyataan tersebut, Senin (19/11).
Sebagai pernyataan dan peneguhan komitmen yang morally binding, Deklarasi ini semestinya memuat prinsip-prinsip dasar HAM dengan standar internasional. Selain atas dasar prinsip non interference, kualitas deklarasi yang demikian merupakan buah ketertutupan Badan HAM ASEAN dalam menyusun deklarasi ini dari masyarakat sipil.
"Tanpa mekanisme yang memungkinkan keadilan tercipta dan terlimpahkan bagi komunitas bangsa ASEAN, Deklarasi ini hanyalah basa-basi politik regional memikat dukungan politik internasional," tutup pernyataan tertulis itu. [ald]
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Waktu Anda Untuk Berkomentar atas Berita ini