Jayapura Onews,-- Apa
yang dilakukan oleh Soekarno, ketika Belanda mengingkari perjanjian
Konferensi Meja Bundar (KMB) sehingga Irian Jaya belum juga mau
diserahkan kepada Indonesia ? Sejak satu tahun usai pengakuan kedaulatan
27 Desember 1949, Indonesia selalu mengajak Belanda untuk berunding
mengenai penyerahan wilayah yang masih dikuasasinya. Apa tanggapan
Belanda ? Jelas, secara sengaja Belanda selalu menghindar untuk
berunding. Jelas, Belanda hendak mengingkari janjinya sendiri dan
berniat untuk terus menjadikan Irian Jaya sebagai bagian dari daerah
kekuasaannya.
1. Melakukan Upaya Diplomasi di PBB
Maka, sejak tahun 1954, pada setiap tahun secara berturut-turut, Pemerintah Indonesia membawa masalah Irian Jaya di dalam acara Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Namun, upaya Indonesia inipun selalu menemui kegagalan, karena tidak pernah memperoleh tanggapan yang positif dari sebagian besar anggota PBB. Bahkan, pada tahun 1957, saat Menlu RI berpidato dalam sidang Majelis Umum PBB yang menegaskan sikap Indonesia akan menempuh “jalan lain” (short war) untuk menyelesaikan sengketa Irian Jaya dengan Belanda, PBB pun tidak berhasil untuk menyetujui sebuah resolusi. Karena, usulan resolusi yang disponsori oleh 21 negara, termasuk Indonesia, tidak dapat memenangkan 2/3 jumlah suara yang dipersyaratkan.
Upaya diplomasi Indonesia di forum PBB, ternyata belum mampu mengubah pendirian negara-negara pendukung Belanda. Justru, negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat (AS) terkesan makin teguh pendiriannya dalam mendukung sikap Belanda, seiring dengan adanya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Sehingga, secara langsung telah membuat pihak Kerajaan Belanda makin tidak memiliki niat dan kesediaan untuk menyerahkan Irian Jaya kepada Indonesia, bahkan untuk sekedar membicarakannya pun Belanda sudah tidak mau lagi.
Bagi Indonesia, pembebasan Irian Jaya merupakan suatu tuntutan nasional yang bersifat mutlak dan didukung oleh semua partai politik dan semua golongan, tanpa kecuali. Karena, hal ini didasarkan atas Pembukaan UUD 1945, yaitu “Untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Sedangkan, Irian Jaya adalah bagian mutlak dari tumpah darah Indonesia. Itulah sebabnya, meski pergantian Kabinet sering terjadi, namun tidak ada satu pun Kabinet yang pernah beranjak dari tuntutan nasional tersebut.
2. Melakukan Aksi Lain dan Pemutusan Hubungan dengan Belanda
Mengingat jalan damai atau pendekatan diplomasi yang ditempuh selama delapan tahun tidak membawa hasil, maka sejak tahun 1957 Pemerintah Indonesia benar-benar mulai menempuh “jalan lain”. Aksi-aksi untuk pembebasan Irian Jaya dilancarkan di seluruh tanah air, antara lain dengan cara menggelar demonstrasi besar-besaran oleh berbagai lapisan masyarakat, dan pengambil-alihan aset milik perusahaan Belanda di Indonesia oleh kaum buruh dan karyawan.
Akibat dari aksi-aksi tersebut, berdampak pada hubungan antara Indonesia dan Belanda yang menjadi kian tegang dan memburuk. Puncaknya adalah pada saat pemerintah Indonesia memutuskan secara resmi hubungan diplomatik dengan pemerintah Belanda pada tanggal 17 Agustus 1960. Indonesia menganggap Belanda sudah tidak lagi memiliki itikad baik untuk mematuhi isi persetujuan KMB yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Sepertinya, kesabaran Indonesia melalui jalan diplomasi atau pendekatan yang baik-baik antar kedua bangsa dan negara yang berdaulat dianggap sudah tidak lagi efektif.
Batas kesabaran Indonesia tercermin pada saat bulan September 1960, Presiden Soekarno berpidato di forum sidang Majelis Umum PBB. Dalam pidatonya yang berjudul “Membangun Dunia Kembali”, Presiden Soekarno menyebut masalah Irian Jaya dirangkaikan dengan masalah imperialisme dunia yang belum tuntas. Selanjutnya, Bung Karno menyatakan kegeramannya :
“Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan penuh toleransi dan penuh harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan perundingan-perundingan bilateral …… Harapan lenyap, kesabaran hilang, bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu kini telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami.”
3. Menambah Kekuatan Militer dengan Membeli Banyak Senjata Berat
Untuk mendukung sikap tersebut, Indonesia melakukan berbagai persiapan dalam menambah kekuatan militernya guna merebut Irian Barat secara paksa dari tangan Belanda. Indonesia memutuskan untuk mencari bantuan peralatan senjata dari luar negeri. Pada awalnya, Indonesia berharap dapat membeli senjata dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Namun, usaha ini tidak berhasil, karena negara adidaya ini tidak mau menjual senjatanya untuk kepentingan yang memerangi suatu negara yang dianggapnya sebagai salah satu sekutunya saat itu, yaitu Belanda.
Maka, terjadilah pembelian persenjataan militer secara besar-besaran dari sejumlah negara, antara lain Uni Sovyet, Italia, Jerman Barat, dan Yugoslavia. Antara lain 41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat jet MIG-15, 49 pesawat buru sergap MIG-17, 10 pesawat buru sergapMIG-19, 20 pesawat pemburu supersonik MIG-21, 12 Kapal selam kelas Whiskey, puluhan korvet dan 1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang kemudian diberi nama KRI Irian). Dari jenis pesawat pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan Iliyushin IL-28; 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16; dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel.
Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B; 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules. Juga ditambah dengan memperkuat Jajaran Armada ALRI adalah kapal perang jenis MTB (Motor Torpedo Boat) Klas Jaguar dari Jerman Barat. Kapal perang jenis ini memiliki kemampuan untuk menembakkan torpedo anti kapal selam. Torpedo merupakan senjata andalan pada kapal perang jenis MTB, yang merupakan bentuk awal dari peluru kendali (Rudal), tapi belum menggunakan pengendali. Kesemuanya itu, telah membuat militer RI menjadi yang terkuat di kawasan Asia pada saat itu.
4. Melakukan Konfrontasi Langsung, Menyerbu Irian Jaya
Upaya serius inilah yang membuat AS mulai berfikir relistis. Sehingga, salah seorang diplomatnya melakukan insiatif untuk mengajukan usulan mengenai penyerahan Irian Jaya kepada Indonesia dalam waktu dua tahun, setelah melalui penguasaan mandat PBB dan proses penentuan pendapat rakyat Irian Jaya. Apa reaksi Belanda ? Tetap saja keras kepala. Belanda tidak mau berubah dari posisinya, tidak mau menyerahkan Irian Jaya kepada Indonesia. Bahkan, Belanda hendak mendirikan sebuah negara boneka Papua di sana.
Inilah yang membuat Soekarno begitu geram. Maka, dikeluarkanlah sebuah kebijakan bernama “perjuangan bersahabat”. Suatu istilah perjuangan yang dirumuskan oleh Presiden Soekarno sebagai :
“Politik konfrontasi disertai dengan uluran tangan. Palu godam disertai dengan ajakan bersahabat”.
Inilah yang kemudian mendasari kebijakan penyusupan pasukan militer Indonesia secara besar-besaran ke Irian Jaya melalui operasi Trikora dalam Komando Mandala, dibawah pimpinan Mayjen Soeharto (mantan Presiden). Sebuah kenyataan yang sebelumnya jauh dari perkiraan Belanda, bahwa ternyata Indonesia bisa melakukan pendaratan pasukan di tanah Irian.
5. Belanda, Akhirnya Menyerah
Inilah yang kemudian, pada akhirnya Belanda mau menyerah, dan mau berunding soal penyerahan Irian Jaya. Tepat 1 Mei 1963 Irian Jaya dikembalikan oleh Belanda ke Indonesia melalui PBB (UNTEA). Setelah melalui rapat Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang berlangsung pada Maret-Agustus 1969, maka tepat pada tanggal 19 November 1969, secara resmi Majelis Umum PBB menyetujui Irian Jaya kembali sebagai bagian wilayah NKRI yang sah.
Terima kasih Bung Karno, para pejuang dan para pahlawan, warga Irian Jaya (Papua) dan seluruh rakyat Indonesia. Hingga kini wilayah itu masih utuh menjadi bagian dari NKRI yang kita cintai. IRIAN, Ikut Republik Indonesia Anti Netherland.
1. Melakukan Upaya Diplomasi di PBB
Maka, sejak tahun 1954, pada setiap tahun secara berturut-turut, Pemerintah Indonesia membawa masalah Irian Jaya di dalam acara Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Namun, upaya Indonesia inipun selalu menemui kegagalan, karena tidak pernah memperoleh tanggapan yang positif dari sebagian besar anggota PBB. Bahkan, pada tahun 1957, saat Menlu RI berpidato dalam sidang Majelis Umum PBB yang menegaskan sikap Indonesia akan menempuh “jalan lain” (short war) untuk menyelesaikan sengketa Irian Jaya dengan Belanda, PBB pun tidak berhasil untuk menyetujui sebuah resolusi. Karena, usulan resolusi yang disponsori oleh 21 negara, termasuk Indonesia, tidak dapat memenangkan 2/3 jumlah suara yang dipersyaratkan.
Upaya diplomasi Indonesia di forum PBB, ternyata belum mampu mengubah pendirian negara-negara pendukung Belanda. Justru, negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat (AS) terkesan makin teguh pendiriannya dalam mendukung sikap Belanda, seiring dengan adanya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Sehingga, secara langsung telah membuat pihak Kerajaan Belanda makin tidak memiliki niat dan kesediaan untuk menyerahkan Irian Jaya kepada Indonesia, bahkan untuk sekedar membicarakannya pun Belanda sudah tidak mau lagi.
Bagi Indonesia, pembebasan Irian Jaya merupakan suatu tuntutan nasional yang bersifat mutlak dan didukung oleh semua partai politik dan semua golongan, tanpa kecuali. Karena, hal ini didasarkan atas Pembukaan UUD 1945, yaitu “Untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Sedangkan, Irian Jaya adalah bagian mutlak dari tumpah darah Indonesia. Itulah sebabnya, meski pergantian Kabinet sering terjadi, namun tidak ada satu pun Kabinet yang pernah beranjak dari tuntutan nasional tersebut.
2. Melakukan Aksi Lain dan Pemutusan Hubungan dengan Belanda
Mengingat jalan damai atau pendekatan diplomasi yang ditempuh selama delapan tahun tidak membawa hasil, maka sejak tahun 1957 Pemerintah Indonesia benar-benar mulai menempuh “jalan lain”. Aksi-aksi untuk pembebasan Irian Jaya dilancarkan di seluruh tanah air, antara lain dengan cara menggelar demonstrasi besar-besaran oleh berbagai lapisan masyarakat, dan pengambil-alihan aset milik perusahaan Belanda di Indonesia oleh kaum buruh dan karyawan.
Akibat dari aksi-aksi tersebut, berdampak pada hubungan antara Indonesia dan Belanda yang menjadi kian tegang dan memburuk. Puncaknya adalah pada saat pemerintah Indonesia memutuskan secara resmi hubungan diplomatik dengan pemerintah Belanda pada tanggal 17 Agustus 1960. Indonesia menganggap Belanda sudah tidak lagi memiliki itikad baik untuk mematuhi isi persetujuan KMB yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Sepertinya, kesabaran Indonesia melalui jalan diplomasi atau pendekatan yang baik-baik antar kedua bangsa dan negara yang berdaulat dianggap sudah tidak lagi efektif.
Batas kesabaran Indonesia tercermin pada saat bulan September 1960, Presiden Soekarno berpidato di forum sidang Majelis Umum PBB. Dalam pidatonya yang berjudul “Membangun Dunia Kembali”, Presiden Soekarno menyebut masalah Irian Jaya dirangkaikan dengan masalah imperialisme dunia yang belum tuntas. Selanjutnya, Bung Karno menyatakan kegeramannya :
“Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan penuh toleransi dan penuh harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan perundingan-perundingan bilateral …… Harapan lenyap, kesabaran hilang, bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu kini telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami.”
3. Menambah Kekuatan Militer dengan Membeli Banyak Senjata Berat
Untuk mendukung sikap tersebut, Indonesia melakukan berbagai persiapan dalam menambah kekuatan militernya guna merebut Irian Barat secara paksa dari tangan Belanda. Indonesia memutuskan untuk mencari bantuan peralatan senjata dari luar negeri. Pada awalnya, Indonesia berharap dapat membeli senjata dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Namun, usaha ini tidak berhasil, karena negara adidaya ini tidak mau menjual senjatanya untuk kepentingan yang memerangi suatu negara yang dianggapnya sebagai salah satu sekutunya saat itu, yaitu Belanda.
Maka, terjadilah pembelian persenjataan militer secara besar-besaran dari sejumlah negara, antara lain Uni Sovyet, Italia, Jerman Barat, dan Yugoslavia. Antara lain 41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat jet MIG-15, 49 pesawat buru sergap MIG-17, 10 pesawat buru sergapMIG-19, 20 pesawat pemburu supersonik MIG-21, 12 Kapal selam kelas Whiskey, puluhan korvet dan 1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang kemudian diberi nama KRI Irian). Dari jenis pesawat pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan Iliyushin IL-28; 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16; dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel.
Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B; 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules. Juga ditambah dengan memperkuat Jajaran Armada ALRI adalah kapal perang jenis MTB (Motor Torpedo Boat) Klas Jaguar dari Jerman Barat. Kapal perang jenis ini memiliki kemampuan untuk menembakkan torpedo anti kapal selam. Torpedo merupakan senjata andalan pada kapal perang jenis MTB, yang merupakan bentuk awal dari peluru kendali (Rudal), tapi belum menggunakan pengendali. Kesemuanya itu, telah membuat militer RI menjadi yang terkuat di kawasan Asia pada saat itu.
4. Melakukan Konfrontasi Langsung, Menyerbu Irian Jaya
Upaya serius inilah yang membuat AS mulai berfikir relistis. Sehingga, salah seorang diplomatnya melakukan insiatif untuk mengajukan usulan mengenai penyerahan Irian Jaya kepada Indonesia dalam waktu dua tahun, setelah melalui penguasaan mandat PBB dan proses penentuan pendapat rakyat Irian Jaya. Apa reaksi Belanda ? Tetap saja keras kepala. Belanda tidak mau berubah dari posisinya, tidak mau menyerahkan Irian Jaya kepada Indonesia. Bahkan, Belanda hendak mendirikan sebuah negara boneka Papua di sana.
Inilah yang membuat Soekarno begitu geram. Maka, dikeluarkanlah sebuah kebijakan bernama “perjuangan bersahabat”. Suatu istilah perjuangan yang dirumuskan oleh Presiden Soekarno sebagai :
“Politik konfrontasi disertai dengan uluran tangan. Palu godam disertai dengan ajakan bersahabat”.
Inilah yang kemudian mendasari kebijakan penyusupan pasukan militer Indonesia secara besar-besaran ke Irian Jaya melalui operasi Trikora dalam Komando Mandala, dibawah pimpinan Mayjen Soeharto (mantan Presiden). Sebuah kenyataan yang sebelumnya jauh dari perkiraan Belanda, bahwa ternyata Indonesia bisa melakukan pendaratan pasukan di tanah Irian.
5. Belanda, Akhirnya Menyerah
Inilah yang kemudian, pada akhirnya Belanda mau menyerah, dan mau berunding soal penyerahan Irian Jaya. Tepat 1 Mei 1963 Irian Jaya dikembalikan oleh Belanda ke Indonesia melalui PBB (UNTEA). Setelah melalui rapat Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang berlangsung pada Maret-Agustus 1969, maka tepat pada tanggal 19 November 1969, secara resmi Majelis Umum PBB menyetujui Irian Jaya kembali sebagai bagian wilayah NKRI yang sah.
Terima kasih Bung Karno, para pejuang dan para pahlawan, warga Irian Jaya (Papua) dan seluruh rakyat Indonesia. Hingga kini wilayah itu masih utuh menjadi bagian dari NKRI yang kita cintai. IRIAN, Ikut Republik Indonesia Anti Netherland.
Oleh Gerakan Anti SBY
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Waktu Anda Untuk Berkomentar atas Berita ini