4/20/2013

Negara Indonesia Gagal Penuhi Hak Perempuan

"Di bidang ekonomi kebijakan ekonomi liberal yang diadopsi Indonesia terbukti memicu pemiskinan perempuan."

VHRmedia, Jakarta – Meski telah lampau seabad sejak Kartini hadir dalam pemikiran perjuangan hak-hak perempuan, kekerasan, diskriminasi dan pemiskinan masih tetap dialami perempuan Indonesia. Bahkan jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun.

Data Komnas Perempuan mencatat  ada 216.156 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2012, meningkat dari catatan tahun 2011 sebanyak 119.107 kasus.  Sedangkan kekerasan yang tercatat pada tahun 2010 sebanyak 105.103 kasus. 

Komnas Perempuan juga mencatat setidaknya 282 peraturan daerah mempunyai tendensi mendiskriminasi perempuan dengan Jawa Barat sebagai provinsi yang paling rajin menerbitkan perda diskriminatif.

Menurut Executive Director Yayasan Institut Perempuan, R Valentina Sagala diskriminasi perempuan berlangsung di setiap ranah kehidupan, ekonomi hingga kesehatan. Di ranah ekonomi, kebijakan ekonomi liberal yang diadopsi Indonesia terbukti menstimulus pemiskinan perempuan. 

Implementasi perjanjian pasar bebas seperti CAFTA atau China ASEAN Free Trade Agreement dan pemberlakuan UU Nomor  38 Tahun 2008 tentang Piagam Asean menyebabkan banjirnya produk impor dari Cina dan itu juga  menyebabkan pelaku ekonomi lokal tersingkir.

“Tumbuhnya pasar modern atau mini market, memarjinalkan dan bahkan menyebabkan perempuan pengusaha kecil bangkrut. Padahal 51,21 persen pekerja di sektor informal dan 60 persen adalah perempuan,” kata Valentina.

Dia lebih lanjut menyesalkan terbatasnya upaya pemerintah untuk memfasilitasi kapasitas perempuan pengusaha kecil, khususnya dalam mengembangkan usaha. Program yang dilakukan pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan perempuan dan tidak berkelanjutan. Perempuan pun masih terkendala mengakses kredit dan pinjaman modal dari bank seperti program Kredit Usaha Rakyat.  Perempuan tetap tak bisa mengakses sepenuhnya program tersebut.

“Koperasi yang menjadi pilihan yang ramah bagi perempuan miskin dan merupakan model ekonomi berasaskan kekeluargaan sesuai UUD 1945, pun pada akhirnya harus tunduk pada gelombang ekonomi pasar bebas, “ kata dia.

Kegagalan 'koperasi'

Sementara itu pemberlakukan UU Nomor  17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian pembentukan koperasi yang awalnya dibangun berdasarkan semangat kebersamaan dan kekeluargaan, telah berubah menjadi mengagungkan peranan modal besar. Dibolehkannya penyertaan modal dari luar yang tidak ada pembatasnya menjadikan anggota sebagai obyek pinjaman pemilik modal besar. “Diperbolehkannya pengurus dari non anggota dan pengawas sebagai superbodi akan mendorong swastanisasi koperasi,” katanya

Di ranah kesehatan, tingginya tingkat angka kematian ibu (AKI) yang masih sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup menunjukkan perempuan gagal mendapatkan perlindungan penuh oleh negara. Sedangkan target menurunkan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 terancam gagal. 

Tingginya AKI disebabkan beberapa faktor seperti masih terbatasnya jumlah tenaga kesehatan, bidan, dokter atau anestesi,  terbatasnya rumah tunggu, Puskesmas, rumah singgah, dan lain-lain. “Negara juga gagal melindungi perempuan Indonesia dari praktek diskriminatif sunat perempuan,” kata Valentina.

Sunat perempuan yang telah dilarang sejak 2006 dengan dikeluarkannya  Surat Edaran tentang Larangan Sunat Perempuan oleh Tenaga Kesehatan No HK.00.07.1.3.1047 Tahun 2006 oleh Dirjen Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan kembali dihidupkan oleh Pemerintah. 

Bukannya menghapus sunat perempuan, Pemerintah justru mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor  1636/MENKES/PER/XI/2010 yang memberi legitimasi praktik mutilasi kelamin perempuan dan memberi otoritas pada pekerja medis tertentu, seperti dokter, bidan dan perawat, untuk melakukan sunat perempuan.

Valentina menyebut Peraturan Menteri Kesehatan ini mendefinisikan praktek ini sebagai tindakan menggores kulit yang menutupi kulit bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Peraturan ini jelas bertentangan dengan CEDAW dan tidak sejalan dengan seruan World Health Organization (WHO) untuk mengakhiri sunat perempuan. 

Dan di ranah pendidikan, data menunjukkan perempuan cenderung tidak melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Menurut BPS (2011), angka partisipasi murni (APM) perempuan jenjang SD 90,37, APM perempuan jenjang SMP 69,19, APM perempuan jenjang SMU 48,19. “Selain itu, masih terdapat perempuan berusia 15 tahun ke atas yang melek huruf  sebesar 90,07 persen, bandingkan dengan laki-laki melek huruf 95,59 persen,” katanya.

Dalam konteks pekerja rumah tangga (PRT) pun perlindungan negara masih minim. Data JALA PRT menunjukkan 92 persen pekerja migran adalah PRT (2012). Menurut BNP2TKI, pada 2011 terdapat 2.209 pelecehan atau kekerasan seksual dan 535 orang perempuan pekerja migran kembali dalam keadaan hamil. 
Jumlah PRT migran diprediksi akan terus meningkat jika dihubungkan dengan ketersediaan pekerjaan bagi perempuan miskin. Hingga Maret 2012, tingkat kemiskinan di Indonesia adalah 11.96  persen atau 29.13 juta orang.

“Mencermati kondisi di atas, maka pada momen hari Kartini kami menyerukan, pertama, Pemerintah harus membangun ekonomi yang adil dan berlandaskan Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945 dan melakukan evaluasi terhadap  perjanjian perdagangan bebas yang telah diikatkan sebelumnya,” kata Valentina.

Selain itu pemerintah harus melancarkan program pemberdayaan bagi perempuan yang cocok dengan kebutuhan perempuan dan menjalankan langkah-langkah kongkrit menurunkan angka kematian ibu. 

Pemerintah juga harus mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/MENKES/PER/ XI/2010 dan memberikan perlindungan menyeluruh bagi PRT dan PRT migran, serta menyusun RUU tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dan Anggota Keluarganya dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. “Tentunya  dengan mengakomodir hak dan perlindungan PRT dan PRT migran sesuai instrumen HAM internasional,” ujar Valentina.

Pemerintah mesti mengusut kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan menyediakan layanan bagi korban kekerasan. Menurut Valentina, masyarakat, tak terkecuali tokoh masyarakat dan tokoh agama harus  mengambil peran menghentikan kekerasan terhadap perempuan.(E2)

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Waktu Anda Untuk Berkomentar atas Berita ini