Dia pandai menata emosi, menata diri, ketika berada di depan publik
atau orang lain. Dia benar-benar tabah dan berbicara dengan lancar.
Tidak pernah terlihat airmata menetes, padahal beban penderitaannya
sangat besar, mengetahui bahwa suaminya jadi korban pembunuhan
konspirasi.
Suciwati, perempuan yang pernah mendapatkan gelar Asia’s Hero 2005
versi majalah Time, tidak pernah berhenti memperjuangkan keadilan dan
penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
Meski kini tinggal di Malang dan membuka sebuah toko suvenir dan
oleh-oleh, ia mampu membagi waktu untuk mengurus berbagai aktivitasnya
yang lain. Di antaranya Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM),
Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), Kontras (komisi yang
menangani kasus orang hilang dan tindak kekerasan, dibentuk almarhum
Munir), dan Imparsial (LSM yang bergerak dalam pengawasan dan
penyelidikan pelanggaran HAM di Indonesia).
Di sebuah hari yang hujan, ia bercerita tentang aktivitas, cinta,
kehidupan, dan mimpi-mimpinya. Cuaca dingin melarutkan segala kisah yang
dituturkannya dalam suasana santai. Kadang terlihat air membasahi bola
matanya kala bercerita tentang cintanya pada Munir, almarhum suaminya.
Namun tak jarang terasa kering ketika meluapkan kemarahan yang sama
sekali tak terasakan dalam penampilannya. Itulah suasana saat bertemu
Suci, aktivis HAM Indonesia, pada suatu hari di bulan Januari.
Saat itu, ia meluncurkan panduan bahan ajar sejarah berwawasan HAM
untuk guru-guru Sejarah di SMA, dilanjut dengan workshop selama dua
hari. Agenda yang dilakukan secara swadaya bekerjasama dengan guru-guru
SMA, Yayasan Tifa, JSKK, Ciliwing Merdeka, Kasum dan Kontras.
Berbagai peristiwa pelanggaran HAM belakangan ini semakin mendorong
Suci untuk mengkampanyekan HAM, yakni hak yang melekat pada diri manusia
itu sendiri, termasuk hak hidup, hak berbicara, hak beragama, dan
sebagainya, yang kian disingkirkan demi kepentingan tertentu. Panduan
buku ajar adalah bagian dari perlawanan, strategi untuk kebaikan, di
mana HAM masuk dalam ruang pendidikan.
Suci, ia lahir 44 tahun lalu di sebuah kampung di kota Malang. Ia
anak ke empat dari lima bersaudara. Ayahnya pedagang kelapa, ibunya
berjualan sayuran mentah, dan pasar tradisional adalah wilayah masa
kecilnya. Dibesarkan dalam keluarga plural: ayah spiritual Kejawen, ibu
Nasrani, namun ia memutuskan memeluk agama Islam pada saat usianya 10
tahun atas kesadaran sendiri.
“Aku dimarahin Bapak karena pengalaman masa lalu di tahun 1965. Bapak
melihat ‘baju islam’ itu membunuh sahabat-sahabatnya yang membuat Bapak
menjadi sangat trauma dan antipati.”
Ia mengisahkan trauma sosial memengaruhi keluarga. Untunglah ibunya
memiliki jiwa besar. Membangunkan pada saat Subuh, dan menunggui saat
Suci menjalankan sholat.
“Ibuku seorang yang luar biasa. Dia orang yang penuh kasih dan damai,
pantang menyerah, pekerja keras karena dia yatim piatu. Aku
memanggilnya Emak,” tuturnya.
Ia senang membaca dan amat terinspirasi oleh berbagai informasi,
terutama sejarah dan politik damai. Tokoh idolanya Mahatma Gandhi.
Waktu kecil ia bercita-cita menjadi jurnalis. Sayangnya, ia harus
mengubur harapan. Sang ayah menginginkannya menjadi guru dan pegawai
negeri. Kali ini ia mengalah. Ia tak mau nasibnya menjadi buruh pabrik
seperti teman-temannya.
“Aku memilih untuk maju,” ujarnya.
Cinta Bersemi
Ia mengambil pendidikan di sekolah pendidikan guru (SPGN Malang) dan
diploma dua IKIP Malang, lalu bekerja sebagai guru SMA di sekolah swasta
di Malang. Selesai? Tidak.
Karena masih tinggal di kampung yang sama, ia sering bertemu dengan
teman-teman sekolah yang bekerja sebagai buruh di pabrik garmen.
Perbincangan mereka tentang pelecehan seksual, ketidakadilan, yang
disampaikan seperti sesuatu yang wajar amat mengusik hati.
“Bila ketahuan bicara saat bekerja, ia akan dihukum fisik. Mereka
dengan seenak hati dipeluk-peluk bahkan diciumi pipinya. Sementara
mereka merasa perlakuan itu biasa saja, dianggap wajar, itu ‘kan aneh?,”ucapnya.
Rasa keingintahuan dan penasaran membawanya pada suatu keputusan besar: berhenti jadi guru dan menjadi buruh pabrik!
Ketika bekerja sebagai buruh dan melihat teman-temannya diperlakukan
tidak adil, ia mulai melawan. Ia mengajak teman-temannya untuk
mendirikan Serikat Pekerja (SP) dan mendaftarkannya ke Departemen Tenaga
Kerja dan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) setempat.
Dengan adanya SP, buruh punya hak yang sama dan bisa berbicara
mengenai hak-haknya. Tiga bulan kemudian, ia mengorganisir pemogokan
buruh. “Aku undang wartawan,” ucapnya.
Siapa aktor yang memengaruhi? “Inspirasinya dari berita. Waktu itu
aku melihat berita di televisi dan ada gerakan yang dipengaruhi oleh
serikat buruh Polandia, Lech Walesa,” katanya.
Pemogokan yang dilakukan ternyata membuat gamang situasi di
perusahaan milik Korea tersebut. Ia lalu ditemui majikannya, dijanjikan
kuliah,dan kelak menjadi pegawai sumber daya manusia (SDM), asal
membubarkan SP. Suci yang cukup jeli melihat peluang penyuapan memilih
menolak, dan dipecat dengan tidak hormat.
Sejak itu, ia rajin mengorganisir pendirian SP, pindah dari satu
pabrik ke pabrik lainnya. Tak terhitung berapa kali ia berpindah-pindah
dan berurusan dengan kepolisian.
Suatu hari di bulan April 1991, ia diundang untuk menghadiri diskusi
buruh di kantor LBH Pos Surabaya Perwakilan Malang. Inilah pertemuan
pertama kali dengan Munir. Cinta pun bersemi setelah sekian lama ia
beraktivitas di sana, membantu Munir membuat penelitian buruh, dan
membantu divisi buruh Malang.
Waktu dilamar Munir harus berjanji akan membiarkan Suci menjadi
dirinya sendiri. Meski memutuskan menjadi Ibu Rumah Tangga, aktivitasnya
tak berkurang: teman diskusi suami, membantu advokasi korban 1998,
serta evakuasi aktivis yang diancam oleh Orde Baru.
“Kita tidak boleh memelihara ketakutan. Sebaliknya, kita harus bisa
mengatur ketakutan sehingga tidak membuat orang lain ikut ketakutan.
Kalau takut, orang pasti tak mau jadi aktivis,” tambahnya sembari
mencontohkan berbagai teror yang pernah mengancam jiwa, mulai dari bom
hingga cara khusus yang dialamatkan padanya saat dia tinggal di Jakarta.
“Suatu hari ada perempuan yang datang ke rumah. Katanya, dia hamil
dengan suamiku. Aku bilang,’mari kita sama-sama ketemu Munir, kalau
memang benar itu dilakukan, dia harus bertanggung jawab,” ia mengisahkan
sebuah peristiwa yang ia sanggup hadapi dengan tenang. (Namun perempuan
itu meninggalkan rumah saat ia ganti baju).
Kehilangan Suami
Puncak risiko aktivitas keduanya terjadi ketika ia kehilangan Munir.
Usianya 36 tahun dengan dua anak yang masih kecil 6 dan 2 tahun, di mana
sulungnya membutuhkan perhatian khusus karena diduga autis (saat itu).
Tentu peristiwa ini amat mengagetkan, menyakitkan, dan ia kehilangan.
“Kadang melelahkan kalau kita tidak melepaskan perasaan itu. Namun
ada prioritas,” ujarnya, sembari menyebut nama anaknya: Alif dan Diva.
Ia harus menyembuhkan dirinya sendiri.
“Kalau saya tidak bahagia, maka saya tidak akan mampu membahagiakan anak-anak.”
Ia bekerja di Yayasan Tifa, demi melanjutkan perekonomian keluarga.
Kejadian demi kejadian yang berlangsung amat cepat tidak membuat Suci
terpuruk dalam lara. Seperti dikisahkan berbagai media, ia berdiri di
depan dan menggali informasi dan misteri di balik kematian Munir: suami
sebagai pribadi dan pejuang HAM bangsa ini sebagai warganegara.
Ia memompa semangat untuk sabar, berjiwa besar, kendati mengalami
perlakuan yang tidak nyaman, seperti dipingpong ke sana ke mari, hingga
ia mendapatkan fakta: suaminya dibunuh. Kenyataan itu ia umumkan sendiri
pada wartawan dengan penuh ketegaran, tanpa airmata.
Melanjutkan temuan fakta tersebut, bersama kawan-kawan ia membentuk
Kasum; diikuti oleh organisasi dan individu yang punya komitmen, bukan
hanya kasus pembunuhan Munir, namun lebih ke persoalan kemanusiaan yang
dihinakan. Ia mendesak pemerintah melakukan investigasi, waktu itu
langsung ditanggapi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR dengan
pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir – yang hasilnya
menunjukkan benang merah pembunuhan penuh konspirasi dan penyalahgunaan
kekuasaan dari badan intelijen negara.
Perjalanan meraih keadilan begitu berliku. Ia terus mengingatkan,
baik di dalam negeri maupun di luar negeri, termasuk di PBB. Anggota
kongres Amerika mengirimkan surat pada SBY, KTT ASEM dan Parlemen Uni
Eropa membicarakan kasusnya.
Aktivitasnya menuntut keadilan lantas mengingatkannya pada ribuan
korban ketidakadilan negara lainnya. Ia lantas membentuk Jaringan
Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) untuk mengingatkan negara
betapa banyaknya kasus yang belum diselesaikan: korban peristiwa 1965,
tragedi Semanggi 1, tragedi Semanggi 2, dan masih banyak lagi. Sejak 18
Januari 2007 hingga kini, setiap Kamis, JSKK menggelar Kamisan, yakni
aksi diam dan berdiri di depan Istana Merdeka dengan menggunakan payung
hitam dan berbaju hitam, dalam ‘aksi diam menolak lupa’.
Sumiarsih (aktivis JSKK) memuji Suci sebagai perempuan tangguh dalam
menghadapi berbagai tekanan sendirian. Tidak pernah melihat airmata yang
menetes.
“Dia pandai menata emosi, menata diri, ketika berada di depan publik
atau orang lain, dia benar-benar tabah dan berbicara dengan lancar,”
ujar Sumiarsih, Ibunda Wawan korban tragedi Semanggi.
“Tidak mudah menjalani semua ini. Banyak anggota keluarga korban yang akhirnya terlarut bahkan menyerah,” tambah Sumiarsih.
Tentang ini, Suci menjawab, “Aku juga manusia biasa, punya ruang untuk menangis. Aku tidak pernah pura-pura dengan anakku.”
Kehidupan adalah guru yang memberi banyak pelajaran. Dari anaknya, ia
belajar bersabar saat mengetahui sulungnya mengidap Attention Deficit
Syndrom (ADS/ gangguan pemusatan perhatian).
“Dulu aku tidak cukup sabar menghadapi anak-anak. Setelah Alif lahir,
aku benar-benar belajar sabar. Banyak membaca dan mengidentifikasi apa
yang terjadi pada Alif, kepekaannya, alerginya, belajar satu-satu, dan
merasakan mahalnya biaya terapi,” katanya tentang Alif yang umur 4 tahun
baru belajar bicara.
Kini Alif sudah duduk di bangku SMP dan memilih tinggal di pesantren. Diva, kelas 4 SD.
Tak terpikir mencari pengganti Munir? “Buat aku, cinta itu butuh
proses tidak muncul begitu saja. Jika cinta itu sudah pas dia tidak
mengenal waktu. Dia tumbuh, hidup, dan berakar selayaknya pohon. Bila
dia dirawat, maka akan besar, membesar, dan terus membesar,” katanya
dengan senyuman mengembang.
“Hari ini, aku bahagia karena aku punya cinta yang besar. Cinta yang
bisa memberi manfaat buat anak-anakku dan orang lain,” ungkapnya.
Cinta yang terus memberinya energi untuk menyuarakan ketidakadilan
dan pengungkapan kasus orang-orang yang pernah dihilangkan. Suci
tersenyum menutup pembicaraan. Matanya berbinar. Di ujung sana, harapan
itu masih terus bersinar.@dari blog Rustika Herlambang
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Waktu Anda Untuk Berkomentar atas Berita ini