11/20/2012

Suciwati Munir: “Aku Manusia Biasa, Juga Menangis”

Dia pandai menata emosi, menata diri, ketika berada di depan publik atau orang lain. Dia benar-benar tabah dan berbicara dengan lancar. Tidak pernah terlihat airmata menetes, padahal beban penderitaannya sangat besar, mengetahui bahwa suaminya jadi korban pembunuhan konspirasi.

Suciwati, perempuan yang pernah mendapatkan gelar Asia’s Hero 2005 versi majalah Time, tidak pernah berhenti memperjuangkan keadilan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
Meski kini tinggal di Malang dan membuka sebuah toko suvenir dan oleh-oleh, ia mampu membagi waktu untuk mengurus berbagai aktivitasnya yang lain. Di antaranya Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM), Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), Kontras (komisi yang menangani kasus orang hilang dan tindak kekerasan, dibentuk almarhum Munir), dan Imparsial (LSM yang bergerak dalam pengawasan dan penyelidikan pelanggaran HAM di Indonesia).

Di sebuah hari yang hujan, ia bercerita tentang aktivitas, cinta, kehidupan, dan mimpi-mimpinya. Cuaca dingin melarutkan segala kisah yang dituturkannya dalam suasana santai. Kadang terlihat air membasahi bola matanya kala bercerita tentang cintanya pada Munir, almarhum suaminya. Namun tak jarang terasa kering ketika meluapkan kemarahan yang sama sekali tak terasakan dalam penampilannya. Itulah suasana saat bertemu Suci, aktivis HAM Indonesia, pada suatu hari di bulan Januari.
Saat itu, ia meluncurkan panduan bahan ajar sejarah berwawasan HAM untuk guru-guru Sejarah di SMA, dilanjut dengan workshop selama dua hari. Agenda yang dilakukan secara swadaya bekerjasama dengan guru-guru SMA, Yayasan Tifa, JSKK, Ciliwing Merdeka, Kasum dan Kontras.
Berbagai peristiwa pelanggaran HAM belakangan ini semakin mendorong Suci untuk mengkampanyekan HAM, yakni hak yang melekat pada diri manusia itu sendiri, termasuk hak hidup, hak berbicara, hak beragama, dan sebagainya, yang kian disingkirkan demi kepentingan tertentu. Panduan buku ajar adalah bagian dari perlawanan, strategi untuk kebaikan, di mana HAM masuk dalam ruang pendidikan.

Suci, ia lahir 44 tahun lalu di sebuah kampung di kota Malang. Ia anak ke empat dari lima bersaudara. Ayahnya pedagang kelapa, ibunya berjualan sayuran mentah, dan pasar tradisional adalah wilayah masa kecilnya. Dibesarkan dalam keluarga plural: ayah spiritual Kejawen, ibu Nasrani, namun ia memutuskan memeluk agama Islam pada saat usianya 10 tahun atas kesadaran sendiri.

“Aku dimarahin Bapak karena pengalaman masa lalu di tahun 1965. Bapak melihat ‘baju islam’ itu membunuh sahabat-sahabatnya yang membuat Bapak menjadi sangat trauma dan antipati.”
Ia mengisahkan trauma sosial memengaruhi keluarga. Untunglah ibunya memiliki jiwa besar. Membangunkan pada saat Subuh, dan menunggui saat Suci menjalankan sholat.

“Ibuku seorang yang luar biasa. Dia orang yang penuh kasih dan damai, pantang menyerah, pekerja keras karena dia yatim piatu. Aku memanggilnya Emak,” tuturnya.

Ia senang membaca dan amat terinspirasi oleh berbagai informasi, terutama sejarah dan politik damai. Tokoh idolanya Mahatma Gandhi.

Waktu kecil ia bercita-cita menjadi jurnalis. Sayangnya, ia harus mengubur harapan. Sang ayah menginginkannya menjadi guru dan pegawai negeri. Kali ini ia mengalah. Ia tak mau nasibnya menjadi buruh pabrik seperti teman-temannya.
“Aku memilih untuk maju,” ujarnya.

Cinta Bersemi 

Ia mengambil pendidikan di sekolah pendidikan guru (SPGN Malang) dan diploma dua IKIP Malang, lalu bekerja sebagai guru SMA di sekolah swasta di Malang. Selesai? Tidak.

Karena masih tinggal di kampung yang sama, ia sering bertemu dengan teman-teman sekolah yang bekerja sebagai buruh di pabrik garmen. Perbincangan mereka tentang pelecehan seksual, ketidakadilan, yang disampaikan seperti sesuatu yang wajar amat mengusik hati.

“Bila ketahuan bicara saat bekerja, ia akan dihukum fisik. Mereka dengan seenak hati dipeluk-peluk bahkan diciumi pipinya. Sementara mereka merasa perlakuan itu biasa saja, dianggap wajar, itu ‘kan aneh?,”ucapnya.

Rasa keingintahuan dan penasaran membawanya pada suatu keputusan besar: berhenti jadi guru dan menjadi buruh pabrik!

Ketika bekerja sebagai buruh dan melihat teman-temannya diperlakukan tidak adil, ia mulai melawan. Ia mengajak teman-temannya untuk mendirikan Serikat Pekerja (SP) dan mendaftarkannya ke Departemen Tenaga Kerja dan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) setempat.

Dengan adanya SP, buruh punya hak yang sama dan bisa berbicara mengenai hak-haknya. Tiga bulan kemudian, ia mengorganisir pemogokan buruh. “Aku undang wartawan,” ucapnya.

Siapa aktor yang memengaruhi? “Inspirasinya dari berita. Waktu itu aku melihat berita di televisi dan ada gerakan yang dipengaruhi oleh serikat buruh Polandia, Lech Walesa,” katanya.

Pemogokan yang dilakukan ternyata membuat gamang situasi di perusahaan milik Korea tersebut. Ia lalu ditemui majikannya, dijanjikan kuliah,dan kelak menjadi pegawai sumber daya manusia (SDM), asal membubarkan SP. Suci yang cukup jeli melihat peluang penyuapan memilih menolak, dan dipecat dengan tidak hormat.

Sejak itu, ia rajin mengorganisir pendirian SP, pindah dari satu pabrik ke pabrik lainnya. Tak terhitung berapa kali ia berpindah-pindah dan berurusan dengan kepolisian.
Suatu hari di bulan April 1991, ia diundang untuk menghadiri diskusi buruh di kantor LBH Pos Surabaya Perwakilan Malang. Inilah pertemuan pertama kali dengan Munir. Cinta pun bersemi setelah sekian lama ia beraktivitas di sana, membantu Munir membuat penelitian buruh, dan membantu divisi buruh Malang.

Waktu dilamar Munir harus berjanji akan membiarkan Suci menjadi dirinya sendiri. Meski memutuskan menjadi Ibu Rumah Tangga, aktivitasnya tak berkurang: teman diskusi suami, membantu advokasi korban 1998, serta evakuasi aktivis yang diancam oleh Orde Baru.

“Kita tidak boleh memelihara ketakutan. Sebaliknya, kita harus bisa mengatur ketakutan sehingga tidak membuat orang lain ikut ketakutan. Kalau takut, orang pasti tak mau jadi aktivis,” tambahnya sembari mencontohkan berbagai teror yang pernah mengancam jiwa, mulai dari bom hingga cara khusus yang dialamatkan padanya saat dia tinggal di Jakarta.

“Suatu hari ada perempuan yang datang ke rumah. Katanya, dia hamil dengan suamiku. Aku bilang,’mari kita sama-sama ketemu Munir, kalau memang benar itu dilakukan, dia harus bertanggung jawab,” ia mengisahkan sebuah peristiwa yang ia sanggup hadapi dengan tenang. (Namun perempuan itu meninggalkan rumah saat ia ganti baju).

Kehilangan Suami 

Puncak risiko aktivitas keduanya terjadi ketika ia kehilangan Munir. Usianya 36 tahun dengan dua anak yang masih kecil 6 dan 2 tahun, di mana sulungnya membutuhkan perhatian khusus karena diduga autis (saat itu). Tentu peristiwa ini amat mengagetkan, menyakitkan, dan ia kehilangan.

“Kadang melelahkan kalau kita tidak melepaskan perasaan itu. Namun ada prioritas,” ujarnya, sembari menyebut nama anaknya: Alif dan Diva. Ia harus menyembuhkan dirinya sendiri.
“Kalau saya tidak bahagia, maka saya tidak akan mampu membahagiakan anak-anak.”

Ia bekerja di Yayasan Tifa, demi melanjutkan perekonomian keluarga. Kejadian demi kejadian yang berlangsung amat cepat tidak membuat Suci terpuruk dalam lara. Seperti dikisahkan berbagai media, ia berdiri di depan dan menggali informasi dan misteri di balik kematian Munir: suami sebagai pribadi dan pejuang HAM bangsa ini sebagai warganegara.
Ia memompa semangat untuk sabar, berjiwa besar, kendati mengalami perlakuan yang tidak nyaman, seperti dipingpong ke sana ke mari, hingga ia mendapatkan fakta: suaminya dibunuh. Kenyataan itu ia umumkan sendiri pada wartawan dengan penuh ketegaran, tanpa airmata.

Melanjutkan temuan fakta tersebut, bersama kawan-kawan ia membentuk  Kasum; diikuti oleh organisasi dan individu yang punya komitmen, bukan hanya kasus pembunuhan Munir, namun lebih ke persoalan kemanusiaan yang dihinakan. Ia mendesak pemerintah melakukan investigasi, waktu itu langsung ditanggapi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR dengan pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir – yang hasilnya menunjukkan benang merah pembunuhan penuh konspirasi dan penyalahgunaan kekuasaan dari badan intelijen negara.

Perjalanan meraih keadilan begitu berliku. Ia terus mengingatkan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, termasuk di PBB.  Anggota kongres Amerika mengirimkan surat pada SBY, KTT ASEM dan Parlemen Uni Eropa membicarakan kasusnya.

Aktivitasnya menuntut keadilan lantas mengingatkannya pada ribuan korban ketidakadilan negara lainnya. Ia lantas membentuk Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) untuk mengingatkan negara betapa banyaknya kasus yang belum diselesaikan: korban peristiwa 1965, tragedi Semanggi 1, tragedi Semanggi 2, dan masih banyak lagi. Sejak 18 Januari 2007 hingga kini, setiap Kamis, JSKK menggelar Kamisan, yakni aksi diam dan berdiri di depan Istana Merdeka dengan menggunakan payung hitam dan berbaju hitam, dalam ‘aksi diam menolak lupa’.

Sumiarsih (aktivis JSKK) memuji Suci sebagai perempuan tangguh dalam menghadapi berbagai tekanan sendirian. Tidak pernah melihat airmata yang menetes.

“Dia pandai menata emosi, menata diri, ketika berada di depan publik atau orang lain, dia benar-benar tabah dan berbicara dengan lancar,” ujar Sumiarsih, Ibunda Wawan korban tragedi Semanggi.
“Tidak mudah menjalani semua ini. Banyak anggota keluarga korban yang akhirnya terlarut bahkan menyerah,” tambah Sumiarsih.
Tentang ini, Suci menjawab, “Aku juga manusia biasa, punya ruang untuk menangis. Aku tidak pernah pura-pura dengan anakku.”
Kehidupan adalah guru yang memberi banyak pelajaran. Dari anaknya, ia belajar bersabar saat mengetahui sulungnya mengidap Attention Deficit Syndrom (ADS/ gangguan pemusatan perhatian).
“Dulu aku tidak cukup sabar menghadapi anak-anak. Setelah Alif lahir, aku benar-benar belajar sabar. Banyak membaca dan mengidentifikasi apa yang terjadi pada Alif, kepekaannya, alerginya, belajar satu-satu, dan merasakan mahalnya biaya terapi,” katanya tentang Alif yang umur 4 tahun baru belajar bicara.

Kini Alif sudah duduk di bangku SMP dan memilih tinggal di pesantren. Diva, kelas 4 SD.
Tak terpikir mencari pengganti Munir? “Buat aku, cinta itu butuh proses tidak muncul begitu saja. Jika cinta itu sudah pas dia tidak mengenal waktu. Dia tumbuh, hidup, dan berakar selayaknya pohon. Bila dia dirawat, maka akan besar, membesar, dan terus membesar,” katanya dengan senyuman mengembang.

“Hari ini, aku bahagia karena aku punya cinta yang besar. Cinta yang bisa memberi manfaat buat anak-anakku dan orang lain,” ungkapnya.

Cinta yang terus memberinya energi untuk menyuarakan ketidakadilan dan pengungkapan kasus orang-orang yang pernah dihilangkan. Suci tersenyum menutup pembicaraan. Matanya berbinar. Di ujung sana, harapan itu masih terus bersinar.@dari blog Rustika Herlambang

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Waktu Anda Untuk Berkomentar atas Berita ini