Oleh: Jhon Pakage - Published www.umagiNews
Intervensi luar negeri bagi keamanan global, politik dan pembangunan hak asasi manusia menjadi persolan susah untuk di wujudkan pada wilayah yang sangat rawan di Papua Barat. Sebuah Reaksi kecil pemerintah luar negeri atas eskalasi besar pembunuhan dan penahanan tak berasalan hukum telah diperbincangkan oleh banyak anggota Negara, megingatkan pemerintah Indonesia agar memelihara hukum HAM terhadap orang Papua Barat selama pertemuan dewan HAM pada Mei lalu.
Baru-baru
setelah peringatan international kepada Indonesia, pada 14 Juni terjadi
pembunuhan tak beralasan hukum terhadap pemimpin kemerdekaan rakyat
Papua Barat yaitu Mako Tabuni yang melibatkan unit global anti- teroris
atau densus 88 yang secara besar di danai oleh Australia dan Amerika
Serikat. Insiden ini menarik tanggapan publik terhadap pemerintah
Australia, menteri luar negeri berjanji mengirimkan perwakilan khusus,
tetapi lebih terpenting adalah mengajak Indonesia untuk jurnalis asing,
aktivis dan diplomat dengan bebas akses kedalam wilayah konflik ini.
Sedangkan pemerintah Amerika Serikat sudah sedang mendorong Indonesia
untuk melaksanakan agenda dialogue terbuka dan efektifitas implementasi
status otonomi khusus, sedangkan dari Negara-negara donator lain untuk
unit densus 88 kenyataannya tidak ada reaksi. Pemerintah luar negeri
harus melakukan tindakan intervensi atas insiden itu, tidak hanya
ingatkan Indonesia tetapi juga aksi lebih lanjut dalam penyelesaian akar
persoalan politik di daerah itu.
Persoalan ini
hendaknya di dibahas pada sesi debat publik Majelis Umum PBB pada
tanggal 25 September -1 October berdasarkan agenda utama mereka yakni penilaian dan penyelesaian pertikaian internasional; melalui cara-cara damai.
Walapun saat
ini sebagian kecil pemerintah dunia telah menangapi tentang pelanggaran
HAM baru-baru ini, hal itu tidak sepertinya suatu intervensi nyata
karena kepentingan bilateral dan multilateral selalu berada diantara
mereka, beberapa contoh diantaranya adalah:
1.
Australia mempunyai sebuah perjanjian keamanan yang ditandatangani tiga
minggu lalu dengan Indonesia untuk mengontrol kegiatan politik rakyat
Papua;
2.
Amerika dan Indonesia memiliki sebuah perjanjian bilateral keamanan
untuk melindungi saham tambang emas dan perak mereka, dan dibaliknya
teroris selalu saja terlibat sehingga banyak orang tak bersalah selalu
terbunuh;
3. Dalam
program keamanan regional pasifik juga di sebutkan adanya dukungan bagi
unit anti teroris atau densus 88, namun tidak ada peratihan atas
pembunuhan masyarakat adat pasifik mereka;
4.
Pemerintah multilateral PBB tidak ada misi investigasi atas pembunuhan
tak bersalah hukum itu. Melalui intervensi pemerintah luar negeri telah
gagal menerapkan program perdaimaian dan kemananan global terhadap
pemberantasan teroris untuk melindungi orang tak apa-apa di wilayah
rawan konflik.
Bagi
Indonesia, pembuhunan terhadap seorang pemimpin separatis seperti Mako
Tabuni adalah bagian dari menjaga pertahanan keutuhan negara atas Papua
Barat. Indonesia menghakimi atau mencap pergerakan kemerdekaan Papua
sebagai kelompok teroris atau kriminalis adalah benar-benar stigma
negatif dan salah mengartikan, sehingga pada kenyataannya tidak ada
dukungan pemerintah untuk aspirasi kemerderkaan. Kegagalan atas program
perdaimaian dan keamanan global adalah tidak pernah diberikan peringatan
internasional kepada Indonesia, oleh karena itu kita akan melihat
tangapan dari Negara-negara yang mempunyai kepentingan dalam pertemuan
tahunan PBB.
Dalam fakta
sejarah, status wilayah Papua Barat secara ilegal terintegrasi kedalam
Indonesia sejak intervensi asing mulai berlansung di Papua Barat.
Kritikan-kritikan umum bahwa PBB telah mengabaikan memelihara mandat
dunia terhadap hak-hak penentuan sendiri karena tekanan perang dingin
dimana Amerika Serikat menjadi kunci kekuasaan dalam permainan politik
internasional. Sebagai hasilnya “referendum satu orang satu suara”
adalah terabaikan dibawah aturan militer Indonesia dan pengawasan PBB
seperti hanya 10 persen dari total penduduk orang Papua Barat mengambil
bagian dalam proses pepera 1969.
Sebuah
pertanyaan hukum kritis bahwa mengapa itu diratifikasikan atau disahkan
dibawah hukum internasional dengan nomor resolusi 2504 Majelis Umum PBB,
maka untuk status quo secara legal diperdebatkan hingga saat ini.
Banyak aktivis terbunuh seperti Mako Tabuni adalah seorang pemimpin
kemerdekaan mudah dengan keras mempromosikan agenda referendum selama
beberap tahun. Saat ini rakyat Papua Barat sedang mencari sebuah
pendekatan tepat untuk melihat kembali kegagalan referendum masa lalu,
dalam hal ini pengakuan dan kejujuran dari aktor-akto kunci pemerintah
(PBB, Amerika, Belanda dan Indonesia) sangat krusial.
Salah satu
kunci ukuran atas kegagalan pemerintah global adalah selalu menghormati
resolusi PBB nomor 2504 yang catat hukum itu. Dari perspektif orang
Papua Barat, kegagalan intervensi pemerintah luar negeri memiliki suatu
bukti sejarah kuat kalau menguji sejarah penipuan politik menurut
cara-cara prinsip internasional lagipula system global dunia adalah
sangat jelas. Dalam kenyataannya seorang perwakilan khusus PBB Dr
Fernando pernah melaporkan tentang pengabaian dari “referendum
satu-orang satu suara”, maka itu aktor-aktor pemerintah luar negeri
harus membayar tanggung jawab moral dalam realisasi yang effektif
terhadap kewajiban dunia ini. Pemerintah Vanuatu dan kelompok parlemen
internasional sudah sedang mengambil peran krusial dengan mendesak
reaksi-reaksi pemerintah luar negeri untuk mempromosikan opini hukum
terhadap status politik, sehingga sekarang mereka mencari suatu dukungan
besar.
Dibawah aturan
dunia baru, campur tangan pemerintah luar negeri merupakan pendekatan
terbaik atas penyelesaian pertikaan internasional, soal Papua Barat
tidak pernah menjadi bagian penting dari agenda dunia. Rakyat Papua
Barat meminta sebuah intervensi luar negeri adalah untuk mencabut keluar
potensi sengketa politik di dareah melalui agenda-agenda pembangunan
global seperti pengahapusan kolonialisme dunia, resolusi konflik melalui
mediasi pihak ketiga, perbaikan demokrasi murni dan pembanganuan hak
asasi manusia. Indonesia tidak pernah merealisasikan semua program
bahkan lama tidak ada reaksi yang diambil oleh kelompok-kelompok
pemerintahan regional dan internasional (PBB, Forum kepulauan Pasifik,
Kelompok Negar2 Melanesia, Kesatuan EROPA) termasuk Negara-negara
individu walaupun sebuah perang gerilya tak terlihat diantara Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan Tentara Nasional Papua (TPN) secara serius
terus terjadi. Konsekuensinya:
1. Banyak orang dari mereka terbunuh dan mati lapar,
2. Tidak
sehat, sebab disana tidak ada pelayanan kesehatan di rumah sakit karena
dokter dan perawat di intimdasi oleh TNI di kabupaten Paniai bulan lalu
dan beberapa distrik Wamena dan Puncak Jaya
3. Perang tersembunyi terus meningkat di daerah perbatasan.
Pengorbanan
dan penderitaan tidak di ketahui oleh publik karena Jurnalis dan lembaga
kemanusiaan selalu di batasi oleh otoritas kolonial untuk mencari semua
data pengorbanan manusia sepanjang sejarah. Oleh karena itu program
bantuan kemanusiaan, misi pencari fakta, dan pasukan penjaga perdamaian
merupakan kebutuhan dasar yang harus diambil melalui intervensi
pemerintah luar negeri.
Komunitas
internasional dan kelompok Papua Barat dengan tegas meminta satu aksi
nyata oleh pemerintah dunia guna melihat kembali masalah Papua Barat
selama pertemuan tahunan PBB tahun ini. Perjuangan Rakyat Papua barat
disebabkan oleh sebuah kegagalan masa lalu terhadap praktek hak-hak
penentuan sendiri yang dimainkan oleh intervensi pemerintah luar negeri;
mereka meminta merevisi ulang kesalahan masa lampau ini melalui tingkat
forum dunia apapun.
Sebagian kecil
kelompok komunitas politik telah membentuk program untuk mempromosikan
agenda opini hukum tentang status territorial misalnya pemerintah
Vanuatu dan kelompok perjuangan Papua Barat, kelompok pendukung
Pengacara Internasional untuk Papua Barat, Parlemen Internasional untuk
Papua Barat dan lainnya; mereka berkerja sama untuk mewujudkan program
itu. Mereka mengindikasikan bahwa hak-hak penentuan sendiri tidak pernah
di praktekan bagi orang Papua Barat, oleh karena itu kelompok-kelompok
tersebut berkomitmen membangun jaringan luas dan mencari banyak dukungan
untuk mendesak pemerintah dunia mencari cara-cara yang sesuai.
Tekanan perang
dan konflik lebih tinggi ketika ada reaksi kecil dari pemerintah luar
negeri. Dua pelapor khusus PBB tahun 2008 menjelaskan bahwa pelanggran
HAM menjadi pelanggaran harian dan perasaan ketakuatan tanpa
bertanya-tanya terjadi terhadap orang asli Papua Barat tanpa aksi
lanjutan yang di ambil oleh PBB itu sendiri, beberapa Negara adikuasa
mendesak Indonesia untuk melaksanakan dialogue damai dan menghormati
nilai-nilai hak-asasi manusia tetapi itu juga tidak diresponi oleh
Indonesia. Patrioisme rakyat Papua Barat untuk perjuangan kemerdekaan
tidak pernah berakhir makanya mengapa secara berkelanjutan berjuang
mereka punya hak-hak fundamental dan harkat/martabat, dan melalui
peratihan dunia sedikit ini menginspirasi mereka berjuang lebih
energetik dan progresif. Presiden dan menteri pertahanan Indonesia
mengumunkan bahwa Indonesia akan melawan siapapun intervensi pihak asing
atas persoalan Papua Barat.
Dampaknya,
potensi perang dan konflik lebih bertambah saat disana sejak Jakarta
mengirimkan pasukan koalisi dan kelompok militias lain di dareah konflik
sama pengalaman seperti Timor Leste. Baru baru ini, ratusan ribu
pasukan Indonesia termasuk densus 88 memburuh dua pimpinan tentara
pembebasan Papua Barat; Jhon Yogii dan Goliat Tabuni termasuk anggota
dan teman-nya. Orang Papua dengan tegas meminta misi penjaga perdamaian
dan tim pencara fakta demi kemaanan dan keselamatan, sehingga hal itu
hendaknya memberikan tekanan guna pembahasan lebih lanjut dalam
pertemuan tahunan PBB yang sedang berlansung.
Dalam hal
keseluruhan persoalan Papua Barat, pemerintah luar negeri sangat penting
memahami secara holistik tentang permasalahan dan program tepat
intervensi luar negeri apa yang dapat menyentuh kebutuhan-kebutuhan
lokal. Salah satu faktor utama adalah perbedaan kepercayaan politik dan
kepentingan antara Indonesia dan rakyat Papua Barat. Saya mau
menjelaskan dari kedua perspektif: pertama; bagi Indonesia dan mitra-nya
bahwa agenda prima adalah projek pembangunan nasional dari semua aspek
dan program anti-disintegrasi seperti melawan separatisme; kedua; rakyat
Papua Barat bertahan meminta pembangunan politik dan HAM misalnya
hak-hak penentuan sendiri harus di hormati dibawah hukum nasional dan
internasional.
Banyak
aktivis, analis, politisi dan ahli dari multi-sumber menjelaskan
persoalan-persolan kunci adalah sentimen politik, sejarah dan perbedaan
etnik, oleh karena itu program bantuan dana luar negeri tidak dapat
membawa keluar persoalan potensi ini. Rekomendasi baik disarankan bahwa
kalau disana ada suatu intervensi luar negeri hendaknya mencari sebuah
metode tepat rekonstruksi politik berdasarkan pada prinsip-prinsip umum
konflik resolusi internasional, negosiasi yang di mediasi secara
international merupakan pendekatan yang dapat ter-realisasikan.
Realisasi
bantuan luar negeri mengundang kritikan luas tentang kapasitas
implementasi untuk masyarakat minoritas rakyat Papua Barat. Banyak
sumber dengan jelas menyatakan bahwa terlalu banyak korupsi dan tidak
ada komitmen oleh pemerintah Indonesia mendukung agenda demokrasi murni,
perdamaian dan keamanan serta HAM. Bantuan pembangunan luar negeri
tidak akan menyentuh kemauan lokal sebelum menyelesaikan masalah utama
atas ketidakstabilan politik karena kebijakan dan praktek kolonial tidak
berhasil di masa lampau.
Pemerintah
Indonesia sudah selalu salah mengalokasikan dana bantuan luar negeri
untuk operasi militer berkelanjutan mengontrol separatisme atau kelompok
kemerdekaan termasuk tidak memajukan bidan pembangunan lainya. Beragam
potensi masalah sedang dialami oleh orang asli Papua Barat seperti tidak
ada pelayanan, banyak orang terbunuh dan dipenjarakan, penganguran
tinggi, 73 % dibawah garis kemiskinan, 70% terinfeksi HIV AIDs,
pelanggaran, perang dan genoside budaya perlahan-lahan berlanjut.
Suatu kelompok
inisiator perdamaian mempromosikan agenda dialogue sebagai integral
dari penyelesaian persoalan dengan jalan damai melalui metode mediasi
merupakan opsi terbaik, seperti Komisi HAM Indonesia telah meloloskan
sebuah rekomendasi pada sesi HAM dalam pertemuan tahunan PBB tahun ini.
Akhirnya, itu tidak pernah dan tidak akan pernah mengakhiri beragam
persoalan tersebut jika intervensi luar negeri hanya bertujuan mendukung
program integritas territorial Indonesia dari pada rencana resolusi
perdaimaian atas persolan lama yang tak terselesai ini.
Negara-negara
pendonor bantuan telah gagal memonitor implementasi batuan dana luar
negeri, termasuk kurangnya ke-efektifan dan komitmen mereka pada semua
tingkatan. Aktor non-negara memberikan ketidakpercayaan dalam
mengoperasikan bantuan luar negeri karena adanya kuropsi besar-besaran
dan salah-pengalokasian dana-dana tersebut. Sebelumya, bantuan keuangan
luar negeri mendanai pembentukan pasukan-pasukan tambahan dan basis
militer seluruh kampong bagi pertahanan kedaulatan Indonesia atas Papua
Barat.
Penyalagunaan
dana tidak dapat membawa perubahan nyata, menurut rakyat Papua Barat
bantuan keuangan luar negeri merupakan senjata lain untuk membunuh
rakyat Papua Barat dengan melakukan pekerjaan semacam ini. Agenda dunia
untuk keamanan manusia tidak dapat tertolong berdasarkan pengalaman dan
praktek-praktek seperti selama 50 tahun kependudukan Indonesia.
Agen-agen
bantuan luar negeri termasuk badan-badan pembangunan PBB selalu
diperketat melalui otoritas nasional Indonesia untuk melapor keluar
semua situasi, bahkan birokrasi kolonial kotor ini tidak pernah
mengijinkan ahli-ahli luar negeri, aktivis dan jurnalis masuk
kedalam.
Sebuah masalah
krusial adalah bantuan dana luar negeri mendanai projek yang salah
mendukung pergerakan kriminal dan teroris dalam aturan Indonesia.
Kelompok sosial dan religious mengklaim bahwa disana ada tiga kelompok
utama ( jihat islam, teroris dan organ-organ milisi pemerintah
Indonesia) secara bersama telah terlibat membunuh aktivis pro
kemerdekaan dan warga tak bersalah di wilayah kacau ini. Beberapa orang
Papua barat yang bergabung dalam pelatihan jihad dan milisi yang
diwawancari oleh kelompok HAM lokal menyebutkan bahwa pelatihan khusus
ini bermaksud membunuh orang-orang yang melawan: pemerintah Indonesia;
pergerakan Jihad dan teroris; dan mereka juga katakan pelatih dan
anggotanya menerima pembayaran pemerintah secara rahasia.
Dampak
negatifnya sangat tinggi walaupun Negara-negara pendonor biasanya
mengharapkan kontribusi positif dalam pembangunan nasional dan tujuan
memperbaiki ketidakmajuan masyarakat. Intervensi keamanan luar negeri
ternyata sangat buruk bagi pemerintah Indonesia, secara kasar 20 % dari
dana-dana global anti teroris terindikasih bahwa Indonesia salah
mengalokasikan bagi dukungan pembiayaan pergerakan terorisme untuk
menghancurkan kehidupan orang asli Papua Barat, masalah ini sunguh
sangat mengherankan tanpa diketahui sedang beroperasi. Tekanan resiko
keamanan ini benar-benar sangat tinggi bagi orang Papua Barat, warga
asing dan investasi asing misalnya: ingat banyak warga asing terbunuh
dalam peristiwa BOM Bali; baru-baru ini seorang ahli Jerman mati
tertembak termasuk juga jurnalis lain dan aktivis di Indonesia.
Penulis
adalah Amatus Douw, Presiden Forum International untuk Papua Barat dan
Aktivis Kemerdekaan Papua Barat bermarkas di Autralia.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Waktu Anda Untuk Berkomentar atas Berita ini