11/29/2012

Penegakan HAM di Papua Sebuah Ironi

Oleh: Jhon Pakage - Published www.umagiNews

 

Intervensi luar negeri bagi keamanan global, politik dan pembangunan hak asasi manusia menjadi persolan susah untuk di wujudkan pada wilayah yang sangat rawan di Papua Barat. Sebuah Reaksi kecil pemerintah luar negeri atas eskalasi besar pembunuhan dan penahanan tak berasalan hukum telah diperbincangkan oleh banyak anggota Negara, megingatkan pemerintah Indonesia agar memelihara hukum HAM terhadap orang Papua Barat selama pertemuan dewan HAM pada Mei lalu.

 Baru-baru setelah peringatan international kepada Indonesia, pada 14 Juni terjadi pembunuhan tak beralasan hukum terhadap pemimpin kemerdekaan rakyat Papua Barat yaitu Mako Tabuni yang melibatkan unit global anti- teroris atau densus 88 yang secara besar di danai oleh Australia dan Amerika Serikat. Insiden ini menarik  tanggapan publik terhadap pemerintah Australia, menteri luar negeri berjanji mengirimkan perwakilan khusus, tetapi lebih terpenting adalah mengajak Indonesia untuk jurnalis asing, aktivis dan diplomat dengan bebas akses kedalam wilayah konflik ini. Sedangkan pemerintah Amerika Serikat sudah sedang mendorong Indonesia untuk melaksanakan agenda dialogue terbuka dan efektifitas implementasi status otonomi khusus, sedangkan dari Negara-negara donator lain untuk unit densus 88 kenyataannya tidak ada reaksi. Pemerintah luar negeri harus melakukan tindakan intervensi atas insiden itu, tidak hanya ingatkan Indonesia tetapi juga aksi lebih lanjut dalam penyelesaian akar persoalan politik di daerah itu.
Persoalan ini hendaknya di dibahas pada sesi debat publik Majelis Umum PBB pada tanggal 25 September -1 October berdasarkan agenda utama mereka yakni penilaian dan penyelesaian pertikaian internasional; melalui cara-cara damai.         
Walapun saat ini sebagian kecil pemerintah dunia telah menangapi tentang pelanggaran HAM baru-baru ini, hal itu tidak sepertinya suatu intervensi nyata karena kepentingan bilateral dan multilateral selalu berada diantara mereka, beberapa contoh diantaranya adalah:
1.      Australia mempunyai sebuah perjanjian keamanan yang ditandatangani tiga minggu lalu dengan Indonesia untuk  mengontrol kegiatan politik rakyat Papua;
2.      Amerika dan Indonesia memiliki sebuah perjanjian bilateral keamanan untuk  melindungi saham tambang emas dan perak mereka, dan dibaliknya teroris selalu saja terlibat sehingga banyak orang tak bersalah selalu terbunuh;
3.      Dalam program keamanan regional pasifik juga di sebutkan adanya dukungan bagi unit anti teroris atau  densus 88, namun tidak ada peratihan atas pembunuhan masyarakat adat pasifik mereka;
4.      Pemerintah multilateral PBB tidak ada misi investigasi atas pembunuhan tak bersalah hukum itu. Melalui intervensi pemerintah luar negeri telah gagal menerapkan program perdaimaian dan kemananan global terhadap pemberantasan teroris untuk melindungi orang  tak apa-apa di wilayah rawan  konflik.
Bagi Indonesia, pembuhunan terhadap seorang pemimpin separatis seperti Mako Tabuni adalah bagian dari menjaga pertahanan keutuhan negara atas Papua Barat. Indonesia menghakimi atau mencap pergerakan kemerdekaan Papua sebagai kelompok teroris  atau kriminalis adalah benar-benar stigma negatif dan salah mengartikan, sehingga pada kenyataannya tidak ada dukungan pemerintah untuk aspirasi kemerderkaan. Kegagalan atas program perdaimaian dan keamanan global adalah tidak pernah diberikan peringatan internasional kepada Indonesia, oleh karena itu kita akan melihat tangapan dari Negara-negara yang mempunyai kepentingan dalam pertemuan tahunan PBB.    
Dalam fakta sejarah, status wilayah Papua Barat secara ilegal terintegrasi kedalam Indonesia sejak intervensi asing mulai berlansung di Papua Barat. Kritikan-kritikan umum bahwa PBB telah mengabaikan memelihara mandat dunia terhadap hak-hak penentuan sendiri karena tekanan perang dingin dimana Amerika Serikat menjadi kunci kekuasaan dalam permainan politik internasional. Sebagai hasilnya “referendum satu orang satu suara” adalah terabaikan dibawah aturan militer Indonesia dan pengawasan PBB seperti hanya 10 persen dari total penduduk orang Papua Barat mengambil bagian dalam proses pepera 1969.
Sebuah pertanyaan hukum kritis bahwa mengapa itu diratifikasikan atau disahkan dibawah hukum internasional dengan nomor resolusi 2504 Majelis Umum PBB, maka untuk status quo secara legal diperdebatkan hingga saat ini. Banyak aktivis terbunuh seperti Mako Tabuni adalah seorang pemimpin kemerdekaan mudah dengan keras mempromosikan agenda referendum selama beberap tahun. Saat ini rakyat Papua Barat sedang mencari sebuah pendekatan tepat untuk melihat kembali kegagalan referendum masa lalu, dalam hal ini pengakuan dan kejujuran dari aktor-akto kunci pemerintah (PBB, Amerika, Belanda dan Indonesia) sangat krusial.    
Salah satu kunci ukuran atas kegagalan pemerintah global adalah selalu menghormati resolusi PBB nomor 2504 yang catat hukum itu. Dari perspektif orang Papua Barat, kegagalan intervensi pemerintah luar negeri memiliki suatu bukti sejarah kuat kalau menguji sejarah  penipuan politik menurut cara-cara prinsip internasional lagipula system global dunia adalah sangat jelas. Dalam kenyataannya seorang perwakilan khusus PBB Dr Fernando pernah melaporkan tentang pengabaian dari “referendum satu-orang satu suara”, maka itu aktor-aktor pemerintah luar negeri harus membayar tanggung jawab moral dalam realisasi yang effektif terhadap kewajiban dunia ini. Pemerintah Vanuatu dan kelompok parlemen internasional sudah sedang mengambil peran krusial dengan mendesak reaksi-reaksi pemerintah luar negeri untuk mempromosikan opini hukum terhadap status politik, sehingga sekarang mereka mencari suatu dukungan besar. 
Dibawah aturan dunia baru, campur tangan pemerintah luar negeri merupakan pendekatan terbaik atas penyelesaian pertikaan internasional, soal Papua Barat tidak pernah menjadi bagian penting dari agenda dunia. Rakyat Papua Barat meminta sebuah intervensi luar negeri adalah untuk mencabut keluar potensi sengketa politik di dareah melalui agenda-agenda pembangunan global seperti pengahapusan kolonialisme dunia, resolusi konflik melalui mediasi pihak ketiga, perbaikan demokrasi murni dan pembanganuan hak asasi manusia. Indonesia tidak pernah merealisasikan semua program bahkan lama tidak ada reaksi yang diambil oleh kelompok-kelompok pemerintahan regional dan internasional (PBB, Forum kepulauan Pasifik, Kelompok Negar2 Melanesia, Kesatuan EROPA) termasuk Negara-negara individu walaupun sebuah perang gerilya tak terlihat diantara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Tentara Nasional Papua (TPN) secara serius terus terjadi. Konsekuensinya:
1.    Banyak orang dari mereka terbunuh dan mati lapar,
2.    Tidak sehat, sebab disana tidak ada pelayanan kesehatan di rumah sakit karena dokter dan perawat di intimdasi oleh TNI di kabupaten Paniai bulan lalu dan beberapa distrik Wamena dan Puncak Jaya
3.      Perang tersembunyi terus meningkat di daerah perbatasan.
Pengorbanan dan penderitaan tidak di ketahui oleh publik karena Jurnalis dan lembaga kemanusiaan selalu di batasi oleh otoritas kolonial untuk mencari semua data pengorbanan manusia sepanjang sejarah. Oleh karena itu program bantuan kemanusiaan, misi pencari fakta, dan pasukan penjaga perdamaian merupakan kebutuhan dasar yang harus diambil melalui intervensi pemerintah luar negeri.
Komunitas internasional dan kelompok Papua Barat dengan tegas meminta satu aksi nyata oleh pemerintah dunia guna melihat kembali masalah Papua Barat selama pertemuan tahunan PBB tahun ini. Perjuangan Rakyat Papua barat disebabkan oleh sebuah kegagalan masa lalu terhadap praktek hak-hak penentuan sendiri yang dimainkan oleh intervensi pemerintah luar negeri; mereka meminta merevisi ulang kesalahan masa lampau ini melalui tingkat forum dunia apapun.
Sebagian kecil kelompok komunitas politik telah membentuk program untuk mempromosikan agenda opini hukum tentang status territorial misalnya pemerintah Vanuatu dan kelompok perjuangan Papua Barat, kelompok pendukung Pengacara Internasional untuk Papua Barat, Parlemen Internasional untuk Papua Barat dan lainnya; mereka berkerja sama untuk mewujudkan program itu. Mereka mengindikasikan bahwa hak-hak penentuan sendiri tidak pernah di praktekan bagi orang Papua Barat, oleh karena itu kelompok-kelompok tersebut berkomitmen membangun jaringan luas dan mencari banyak dukungan untuk mendesak pemerintah dunia mencari cara-cara yang sesuai.
Tekanan perang dan konflik lebih tinggi ketika ada reaksi kecil dari pemerintah luar negeri. Dua pelapor khusus PBB tahun 2008 menjelaskan bahwa pelanggran HAM menjadi pelanggaran harian dan  perasaan ketakuatan tanpa bertanya-tanya terjadi terhadap orang asli Papua Barat tanpa aksi lanjutan yang di ambil oleh PBB  itu sendiri, beberapa Negara adikuasa mendesak Indonesia untuk melaksanakan dialogue damai dan menghormati nilai-nilai hak-asasi manusia tetapi itu juga tidak diresponi oleh Indonesia. Patrioisme rakyat Papua Barat untuk perjuangan kemerdekaan tidak pernah berakhir makanya mengapa secara berkelanjutan berjuang mereka punya hak-hak fundamental dan harkat/martabat, dan melalui peratihan dunia sedikit ini menginspirasi mereka berjuang lebih energetik dan progresif.  Presiden dan menteri pertahanan Indonesia mengumunkan bahwa Indonesia akan melawan siapapun intervensi pihak asing atas persoalan Papua Barat.
Dampaknya, potensi perang dan konflik lebih bertambah saat disana sejak Jakarta mengirimkan pasukan koalisi dan kelompok militias lain di dareah konflik sama pengalaman seperti Timor Leste. Baru baru ini, ratusan ribu pasukan Indonesia termasuk densus 88 memburuh dua pimpinan tentara pembebasan Papua Barat; Jhon Yogii dan Goliat Tabuni termasuk anggota dan teman-nya. Orang Papua dengan tegas meminta misi penjaga perdamaian dan tim pencara fakta demi kemaanan dan keselamatan, sehingga hal itu hendaknya memberikan tekanan guna pembahasan lebih lanjut dalam pertemuan tahunan PBB yang sedang berlansung.   
Dalam hal keseluruhan persoalan Papua Barat, pemerintah luar negeri sangat penting memahami secara holistik tentang permasalahan dan program tepat  intervensi luar negeri apa yang dapat menyentuh kebutuhan-kebutuhan lokal. Salah satu faktor utama adalah perbedaan kepercayaan politik dan kepentingan antara Indonesia dan rakyat Papua Barat. Saya mau menjelaskan dari kedua perspektif: pertama; bagi Indonesia dan mitra-nya bahwa agenda prima adalah projek pembangunan nasional dari semua aspek dan program anti-disintegrasi seperti melawan separatisme; kedua; rakyat Papua Barat bertahan meminta pembangunan politik dan HAM misalnya hak-hak penentuan sendiri harus di hormati dibawah hukum nasional dan internasional.
Banyak aktivis, analis, politisi dan ahli dari multi-sumber menjelaskan persoalan-persolan kunci adalah sentimen politik, sejarah dan perbedaan etnik, oleh karena itu program bantuan dana luar negeri tidak dapat membawa keluar persoalan potensi ini. Rekomendasi baik disarankan bahwa kalau disana ada suatu intervensi luar negeri hendaknya mencari sebuah metode tepat rekonstruksi politik berdasarkan pada prinsip-prinsip umum konflik resolusi internasional, negosiasi yang di mediasi secara international merupakan pendekatan yang dapat ter-realisasikan.       
Realisasi bantuan luar negeri mengundang kritikan luas tentang kapasitas implementasi untuk masyarakat minoritas rakyat Papua Barat. Banyak sumber dengan jelas menyatakan bahwa terlalu banyak korupsi dan tidak ada komitmen oleh pemerintah Indonesia mendukung agenda demokrasi murni, perdamaian dan keamanan serta HAM. Bantuan pembangunan luar negeri tidak akan menyentuh kemauan lokal sebelum menyelesaikan masalah utama atas ketidakstabilan politik karena kebijakan dan praktek kolonial tidak berhasil di masa lampau. 
Pemerintah Indonesia sudah selalu salah mengalokasikan dana bantuan luar negeri untuk operasi militer berkelanjutan mengontrol separatisme atau kelompok kemerdekaan termasuk tidak memajukan bidan pembangunan lainya. Beragam potensi masalah sedang dialami oleh orang asli Papua Barat seperti tidak ada pelayanan, banyak orang terbunuh dan dipenjarakan, penganguran tinggi, 73 % dibawah garis kemiskinan, 70% terinfeksi HIV AIDs, pelanggaran, perang dan genoside budaya perlahan-lahan berlanjut.
Suatu kelompok inisiator perdamaian mempromosikan agenda dialogue sebagai integral dari penyelesaian persoalan dengan jalan damai melalui metode mediasi merupakan opsi terbaik, seperti Komisi HAM Indonesia telah meloloskan sebuah rekomendasi pada sesi HAM dalam pertemuan tahunan PBB tahun ini. Akhirnya, itu tidak pernah dan tidak akan pernah mengakhiri beragam persoalan tersebut jika intervensi luar negeri hanya bertujuan mendukung program integritas territorial Indonesia dari pada rencana resolusi perdaimaian atas persolan lama yang tak terselesai ini.      
Negara-negara pendonor bantuan telah gagal memonitor implementasi batuan dana luar negeri, termasuk kurangnya ke-efektifan dan komitmen mereka pada semua tingkatan. Aktor non-negara memberikan ketidakpercayaan dalam mengoperasikan bantuan luar negeri karena adanya kuropsi besar-besaran dan salah-pengalokasian dana-dana tersebut. Sebelumya, bantuan keuangan luar negeri mendanai pembentukan pasukan-pasukan tambahan dan basis militer seluruh kampong bagi pertahanan kedaulatan Indonesia atas Papua Barat.
Penyalagunaan dana tidak dapat membawa perubahan nyata, menurut rakyat Papua Barat bantuan keuangan luar negeri merupakan senjata lain untuk membunuh rakyat Papua Barat dengan melakukan pekerjaan semacam ini. Agenda dunia untuk keamanan manusia tidak dapat tertolong berdasarkan pengalaman dan praktek-praktek seperti  selama 50 tahun kependudukan Indonesia.
Agen-agen bantuan luar negeri termasuk badan-badan pembangunan PBB selalu diperketat melalui otoritas nasional Indonesia untuk melapor keluar semua situasi, bahkan birokrasi kolonial kotor ini tidak pernah mengijinkan ahli-ahli luar negeri, aktivis dan jurnalis masuk kedalam.   
Sebuah masalah krusial adalah bantuan dana luar negeri mendanai projek yang salah mendukung pergerakan kriminal dan teroris dalam aturan Indonesia. Kelompok sosial dan religious mengklaim bahwa disana ada tiga kelompok utama ( jihat islam, teroris dan organ-organ milisi pemerintah Indonesia) secara bersama telah terlibat membunuh aktivis pro kemerdekaan dan warga tak bersalah di wilayah kacau ini. Beberapa orang Papua barat yang bergabung dalam pelatihan jihad dan milisi yang diwawancari oleh kelompok HAM lokal menyebutkan bahwa pelatihan khusus ini bermaksud membunuh orang-orang yang melawan: pemerintah Indonesia; pergerakan Jihad dan teroris; dan mereka juga katakan pelatih dan anggotanya menerima pembayaran pemerintah secara rahasia.
Dampak negatifnya sangat tinggi walaupun Negara-negara pendonor biasanya mengharapkan kontribusi positif dalam pembangunan nasional dan tujuan memperbaiki ketidakmajuan masyarakat. Intervensi keamanan luar negeri ternyata sangat buruk bagi pemerintah Indonesia, secara kasar 20 % dari dana-dana global anti teroris terindikasih bahwa Indonesia salah mengalokasikan  bagi dukungan pembiayaan pergerakan terorisme untuk menghancurkan kehidupan orang asli Papua Barat,  masalah ini sunguh sangat mengherankan tanpa diketahui sedang beroperasi. Tekanan resiko keamanan ini benar-benar sangat tinggi bagi orang Papua Barat, warga asing dan investasi asing misalnya: ingat banyak warga asing terbunuh dalam peristiwa BOM Bali; baru-baru ini seorang ahli Jerman mati tertembak termasuk juga jurnalis lain dan aktivis di Indonesia.    
Penulis adalah Amatus Douw, Presiden Forum International untuk Papua Barat dan Aktivis Kemerdekaan Papua Barat bermarkas di Autralia.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Waktu Anda Untuk Berkomentar atas Berita ini