Oleh: Honaratus Pigai
Kemarginalan Orang asli Papua.
Orang asli Papua benar-benar terpinggirkan dan dikuasai dari tanah
leluhurnya sendiri. Hal ini, dapat dilihat dari contoh, mama-mama
pedagang asli Papua yang hingga kini berjualan di pinggir jalan dan
emperan-emperan tokoh. Mereka menahan hantaman teriknya matahari dan
derasnya hujan dengan beralaskan lantai tanah dan beratap langit. Hanya
demi mencari nafkah hidup sehari-hari. Begitu banyak kebijakan dari
pemerintahan pusat hingga daerah pun belum dan bahkan tidak menyentuh
kehidupan pasar mama-mama Papua.
Untuk menanggapi hak hidup mereka, Solidaritas Pedagang Asli Papua
(SOLPAP), yang terdiri dari organisasi-organisasi telah berupaya untuk
menuntut hak hidup mama-mama ini. SOLPAP berjuag ke pemerintah dan
meminta pembangunan pasar yang layak bagi mama-mama Papua, namun sampai
saat ini pasar tersebut belum jadi. Pihak yang berwenang, dalam hal ini
pemerintah Indonesia di Papua (Gubernur, DPRP, Walikota Jayapura dan
jajarannya) tak pernah menanggapi usulan ini secara serius. Malah usaha
yang dilakukan tim SOLPAP seringkali mendapat tantangan. Karena antara
pihak pemerintah sendiri saling melempar dan mengaburkan. Janji-janji
pun tidak terjawab dan bahkan kadang-kala janji itu hanya bohong.
Akibatnya, mama-mama Papua masih berdagang di tempat yang tidak layak.
Sementara orang BBMJ (Bugis, Buton, Makasar dan Jawa) mendapatkan
tempat yang layak. Mereka benar-benar menikmati fasilitas pemerintah
Indonesia di Papua dalam kerangka Otsus di Papua. Itu wajar, karena
orang asli Papua bukan orang Indonesia, sehingga fasilitas yang
disiapkan Indonesia dinikmati oleh rakyat Indonesia yang berada di negri
Papua ini. Katanya para pendatang dan Otsus memberdayakan orang asli
Papua. Realitasnya tidak seperti itu.
Kaum non Papua dan Otsus menjadi
penguasa yang menguasai orang asli Papua dengan segala macam trik.
(Socratez Sofyan Yoman, Pintu Menuju Papua Merdeka: Pejanju=ian New York
15 Agustus 1962 dan PEPERA 1969 Hanya Sandiwara Politik Amerika,
Indonesia, Belanda dan PBB, 2000)
Dengan termarginalnya rakyat asli Papua di tanahnya sendiri adalah
tidak mendapatkan fasilitas yang layak, namun tetap semangat berjualan
di berjualan di tempat yang seadanya. Ini merupakan penindasan dan tidak
adanya keadilan juga pemerataan. Apakah ini kalah saing? (Yoman, 2000).
Bukan hanya dalam hal ekonomi saja, melainkan dalam segala segi
kehidupan; politik, kebudayaan, sosial, dan sebagainya. Orang asli Papua
mendapatkan tekanan mental maupun fisik yang dahsyat. Mereka
diperlakukan tidak adil dan benar. Sampai diperbodohi secara licik
dengan berbagai strategi yang dimaikan. Yang membuat orang asli Papua
“bimbang” dan bahkan tidak percaya kepada pemerintah yang selalu
manipulatif. Dalam hal ini pemerintah semacam “latihan lain main lain”.
Pemerintah sering berjanji akan berikan ini atau itu, tetapi tidak
terlaksana. Inilah janji yang membohongi dan janji-janji palsu yang
sering terdengar dari mulut pemerintah.
Contoh singkat janji bohong yang dialami mama-mama Papua bisa disimak
seperti berikut: Bapak kita, yang mulia Barnabas Suebu, pernah berjanji
dengan mulutnya sendiri bahwa mulutnya adalah SK. Ia pernah berjanji
akan membangun pasar mama-mama tetapi sampai kini hal itu tidak pernah
terjawab.
Sekarang juga mulai muncul masalah ketidak jelasan dana awal
pembangunan yang dijanjikan Pjs. Hatari sebesar 10 milyar. Dana tersebut
oleh badan keuangan provinsi pendahkan ke PU provinsi untuk pekerjaan
pembangunan pasar, sementara lokasi yang mau direncanakan untuk
pembangunan itu belum dibereskan secara tuntas. Sementara kantanya ada
15 milyar untuk membereskan lokasi tersebut, padahal pada bulan juni
lalu pemerintah berjanji akan bereskan lokasi pembangunan tersebut. Maka
di sini ada sikap pembiaran dan terkesan pemerintah yang adalah orang
asli Papua sedang mempermainkan mama-mama Papua dengan janji-janji yang
tidak benar.
Kesenjangan Antara Penguasa dan Dikuasa
Kesenjangan ini dinilai sebagai potensi kebohongan dan ketidakadilan.
Ini merupakan ketimpangan yang cukup serius di Papua. Pembangunan di
Papua umumnya mengarah ke ketimpangan ini. Orang mulai membedakan antara
penguasa dan dikuasa. Sang penguasa mulai menari-nari di atas mimbar,
atas tingkahlaku yang konyol. Ia merasa berhasil bahwa bisa menguasa
manusia, alam dan kekayaan yang ada di Papua. Lebih sadis, sikap
otoriter dan membunuh bila ada yang menyeleweng dari padanya.
Misalnya dalam segi ekonomi, bila dibandingkan dengan negara lain,
Indonesia tergolong miskin. Pertumbuhan ekonomi telah melahirkan
kesenjangan sosial antara penguasa dan dikuasa. Kebijaksanaan
pembangunan yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi belum berhasil
meningkatkan keberhasilan yang memadai. Sehingga seantero daerah di
negara kesatuan republik Indonesia mengalami upah buruk.
Di Papua khususnya. Bagi orang lain, Papua dipandang kaya. Namun,
yang kaya bukan orang asli Papua, tapi alam Papua. Alam Papua memang
terkenal kaya, tapi alam Papua memperkaya orang non Papua yang ada di
Papua. Orang asli Papua sendiri miskin di atas kekayaannya. Antara
penguasa dan dikuasa memainkan peran, sehingga yang dikuasa mengalami
nasip buruk atas ulah penguasa yang tidak adil dan bijaksana. Orang asli
Papua mengalami situasi dikuasa oleh yang penguasa. Mereka bagaikan
seorang penonton atas pengurasan kekayaan alamnya. Mulut mereka ditutup
rapat-rapat. Mereja mau menurunkan penguasa dari mimbar kekayaan, tetapi
semuanya ditanggapi dengan ancaman.
Otonomi Khusus (Otsus) misalnya, yang diberlakukan di Papua sejak
2001, diharapkan dapat menjadi pedang yang memberantas kesenjangan ini
dan dapat menyamakan antara penguasa dan dikuasa. Namun tidak mencapai
harapan itu. Malah dengan adanya Otsus menimbulkan kesenjangan yang
lebih besar. Sehingga penguasa tetap menari terus-menerus di mimbar
kekayaan dan yang dikuasa meratap atas kekayaan yang semakin hari hilang
dibawa.
Kebanyakan orang asli Papua yang menyuarakan bahwa Otus gagal, karena
tidak menjawab kebutuhan rakyat yang dikuasa adalah pernyataan yang
sesungguhnya benar. Atas realitas di Papua pernyataan ini tidak dapat
dibantah, oleh seribu satu kebohongan. Papua sedang berada dalam
penguasaan raja negara. Semena-mena ia mengatur segalanya, sampai
melupakan yang tidak seharusnya dilupakan. UP4B sekalipun hanya kebijkan
semu dan hanya mau mendatangkan malapetaka.
Ketika orang asli Papua menyampaikan pendapatnya atas nasib hidupnya.
Tidak ditanggapi serius. Pemerintah menganggap bahwa yang dikuasa tidak
perlu mengangkat suara banyak. Yang mengangkat suara harus ditindas dan
dianiaya. Karena yang dikuasa tidak dapat mengatur penguasa.
Salah seorang teman (JB) pernah mengatakan dalam diskusi tentang
realitas kehidupan mama-mama Papua, bahwa “orang kaya menjadi tetap kaya
dan orang miskin tetap menjadi miskin”. Rasanya ungkapan ini benar.
Realitas Papua sedang menuju ke arah itu. Orang yang kaya menjadi
penguasa, sedangkan orang miskin menjadi yang dikuasa. Sehingga orang
kaya tidak peduli lagi dengan orang miskin. Dibiarkan seorang miskin
merana mencari kebutuhan tiap harinya, dengan mengumpulkan barang-barang
bekas (botol aqua, fanta, cocacola, besi tua dan sebagainya). Apakah
ini sikap adil dan memanusiakan manusia? Atau melihat manusia sebagai
“sampah/binatang”?
Perlu Kesadaran
Antara penguasa dan dikuasa adalah dua subjek, yang sama-sama
manusia. Tidak satu pun yang melebihi yang lain. Keduanya memiliki
martabat yang sama yakni manusia. penguasa juga manusia dan yang dikuasa
pun manusia. Ini sebenarnya harus menjadi modal dasar untuk saling
membangun dan melengkapi kekurangan antar sesama manusia.
Label penguasa dan dikuasa seharusnya dihapuskan dan harus saling
melengkapi sebagai manusia. maka pemerintah seharusnya mendengar dan
sadar bahwa rakyat sedang membutuhkan sesuatu sehingga harus melengkapi
kebutuhan umum yang dibutuhkan. Bukan membohongi dengan berbagai macam
tindakan dan ungkapan yang berujung pada merugikan yang lain. Seharusnya
pemerintah yang adalah orang asli Papua sendiri harus sadar dan
mendukung kebutuhan umum dari mama-mama Papua ini. pasar yang diminta
bukan untuk pribadi dan lembaga yang sedang berjuang, melainkan demi
kepentingan dan kehidupan mama-mama pasar.
Mungkin saja pemerintah masih meragukan untuk membangun pasar, dengan
pertimbangan mama-mama Papua tidak akan merawat gedung dengan baik.
Tetapi kita bisa mengambil contoh bahwa ketika mama-mama Papua sehabis
jualan di penggir jalan mereka selalu membersihkan dan menata kembali
tempat jualan mereka sebelum pulang ke rumah. Maka bagi saya ini bukan
alasan yang mendasar. Atau kah mungkin ada alasan lain yang membuat
pemerintah tidak ingin membangun pasar, padahal perjuangan mama-mama
Papua untuk meminta pembangunan pasar sudah sejak 2004 lalu.
Alasan-alasan yang membuat pemikiran pemerintah terganjal ini harus
dihapuskan dari benak dan menyadari bahwa mama-mama Papua adalah
mama-mama kita bersama. Merekalah yang melahirkan kita sehingga bisa
menduduki jabatan-jabatan tinggi seperti demikian, maka seharusnya
disadari oleh kita semua sebagai manusia yang terlahir dari mama-mama.
*Penulis adalah mahasiswa STFT ‘Fajar Timur’ Abepura-Papua.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Waktu Anda Untuk Berkomentar atas Berita ini