Korban pelanggaran HAM beserta keluarga dan KontraS terus mendesak pemerintah untuk selesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
JAKARTA — Menjelang peringatan Hari Anti
Impunitas Internasional yang jatuh pada 23 November, korban pelanggaran
hak asasi manusia (HAM) beserta keluarga dan Komisi untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali mendesak pemerintah
Indonesia untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Dalam keterangan pers di kantor Kontras, Jakarta, Senin (19/11), korban peristiwa 1965/1966, Bedjo Untung mengatakan hingga kini keadilan belum juga dirasakan oleh para korban, termasuk korban penghukuman secara sistematis pada mereka yang diduga sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah peristiwa 1965/1966.
Pelaku-pelaku kejahatan dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu, tambah Bedjo, juga banyak yang belum ditindak atau diproses hukum.
Para korban, tambahnya, masih mengalami trauma karena upaya pemulihan negara sama sekali tidak berkontribusi memadai bagi pemulihan hak-hak mereka.
“Presiden SBY harus segera minta maaf. Bahwa apa yang digembar gemborkan negara Indonesia, seolah-olah Indonesia negara yang menghormati hak asasi manusia dan juga demokrasi ternyata nol. Di Indonesia ini sangat-sangat kebal hukum, kalau pelakunya militer itu seolah tidak tersentuh,” ujar Bedjo.
Dalam memperingati Hari Anti Impunitas Internasional, KontraS bersama Amnesty internasional menyelenggarakan “sepekan melawan impunitas” pada 19-25 November, dengan kegiatan seperti lokakarya dan kuliah public, serta kunjungan kepada sejumlah pejabat seperti Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin.
Menurut Sri kegiatan ini guna mendorong akuntabilitas hukum negara atas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Keberhasilan demokrasi, tambah Sri, tidak mungkin terjadi tanpa adanya pertanggungjawaban masa lalu dan pengabaikan akan bisa menjadi ancaman potesial ke depan.
“Tujuannya adalah mereka juga ingin memberikan support kepada keluarga dan juga korban pelanggaran HAM di Indonesia khususnya kasus masa lalu. Dan juga ingin menekan kepada pemerintah Indonesia untuk memberikan satu bentuk penyelesaian kepada para korban kasus-kasus masa lalu di Indonesia,” ujarnya.
Hadir dalam kegiatan tersebut, aktivis HAM dari Bosnia Herzegovina, Jasna Zecevik dan juga pemimpin komunitas korban di Distrik Baucau, Timor Leste Maria Madalena dos Santos Fatima.
Zecevik, yang merupakan presiden Vibe Zene Center for Therapy and Rehabilitation, atau LSM yang bekerja untuk korban kejahatan serius HAM di Balkan, menyatakan pemerintah Indonesia harus mengakui telah terjadinya pelanggaran HAM masa lalu. Menurutnya, trauma para korban pelanggaran HAM masa lalu harus disembuhkan
“Sebagian besar masyarakat sudah menderita atas pelanggaran yang terjadi di masa lalu, maka proses penyembuhannya memerlukan adanya pengakuan terhadap yang terjadi ini. Dan trauma itu harus memang disembuhkan, tidak bisa dianggap lalu begitu saja. Kita bisa melakukan rekonsiliasi tetapi kalau trauma itu tidak disembuhkan atau tidak ditanggapi dengan benar-benar pengakuan terhadap apa yang sudah terjadi, maka tidak akan sembuh,” ujarnya.
Sebelumnya Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Albert Hasibuan menjelaskan bahwa saat ini pihaknya sedang menyusun konsep penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara moral dan politik.
“Bidang hukum akan berjalan terus. Bidang presiden adalah bidang politik atau non hukum akan melaksanakan tugasnya itu sesuai kewenangan Presiden,” ujar Albert.
Dalam keterangan pers di kantor Kontras, Jakarta, Senin (19/11), korban peristiwa 1965/1966, Bedjo Untung mengatakan hingga kini keadilan belum juga dirasakan oleh para korban, termasuk korban penghukuman secara sistematis pada mereka yang diduga sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah peristiwa 1965/1966.
Pelaku-pelaku kejahatan dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu, tambah Bedjo, juga banyak yang belum ditindak atau diproses hukum.
Para korban, tambahnya, masih mengalami trauma karena upaya pemulihan negara sama sekali tidak berkontribusi memadai bagi pemulihan hak-hak mereka.
“Presiden SBY harus segera minta maaf. Bahwa apa yang digembar gemborkan negara Indonesia, seolah-olah Indonesia negara yang menghormati hak asasi manusia dan juga demokrasi ternyata nol. Di Indonesia ini sangat-sangat kebal hukum, kalau pelakunya militer itu seolah tidak tersentuh,” ujar Bedjo.
Dalam memperingati Hari Anti Impunitas Internasional, KontraS bersama Amnesty internasional menyelenggarakan “sepekan melawan impunitas” pada 19-25 November, dengan kegiatan seperti lokakarya dan kuliah public, serta kunjungan kepada sejumlah pejabat seperti Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin.
Menurut Sri kegiatan ini guna mendorong akuntabilitas hukum negara atas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Keberhasilan demokrasi, tambah Sri, tidak mungkin terjadi tanpa adanya pertanggungjawaban masa lalu dan pengabaikan akan bisa menjadi ancaman potesial ke depan.
“Tujuannya adalah mereka juga ingin memberikan support kepada keluarga dan juga korban pelanggaran HAM di Indonesia khususnya kasus masa lalu. Dan juga ingin menekan kepada pemerintah Indonesia untuk memberikan satu bentuk penyelesaian kepada para korban kasus-kasus masa lalu di Indonesia,” ujarnya.
Hadir dalam kegiatan tersebut, aktivis HAM dari Bosnia Herzegovina, Jasna Zecevik dan juga pemimpin komunitas korban di Distrik Baucau, Timor Leste Maria Madalena dos Santos Fatima.
Zecevik, yang merupakan presiden Vibe Zene Center for Therapy and Rehabilitation, atau LSM yang bekerja untuk korban kejahatan serius HAM di Balkan, menyatakan pemerintah Indonesia harus mengakui telah terjadinya pelanggaran HAM masa lalu. Menurutnya, trauma para korban pelanggaran HAM masa lalu harus disembuhkan
“Sebagian besar masyarakat sudah menderita atas pelanggaran yang terjadi di masa lalu, maka proses penyembuhannya memerlukan adanya pengakuan terhadap yang terjadi ini. Dan trauma itu harus memang disembuhkan, tidak bisa dianggap lalu begitu saja. Kita bisa melakukan rekonsiliasi tetapi kalau trauma itu tidak disembuhkan atau tidak ditanggapi dengan benar-benar pengakuan terhadap apa yang sudah terjadi, maka tidak akan sembuh,” ujarnya.
Sebelumnya Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Albert Hasibuan menjelaskan bahwa saat ini pihaknya sedang menyusun konsep penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara moral dan politik.
“Bidang hukum akan berjalan terus. Bidang presiden adalah bidang politik atau non hukum akan melaksanakan tugasnya itu sesuai kewenangan Presiden,” ujar Albert.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Waktu Anda Untuk Berkomentar atas Berita ini