This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

5/23/2013

HAM Indonesia: Dengar Kesaksian Tom Lantos (Human Rights Watch)

Kesaksian John Sifton, Direktur Advokasi Asia, Human Rights Watch:
Tom Lantos Human Rights Commission  
23 Mei 2012 
 
Masalah HAM di Indonesia"
 
Bapak Ketua, saya ingin mengucapkan terima kasih untuk mengundang saya untuk bersaksi hari ini, dan terima panitia untuk berfokus pada catatan hak asasi manusia di Indonesia, yang terlalu sering saat ini tidak menerima perhatian yang layak.
 
Indonesia telah mengalami perubahan besar selama 15 tahun terakhir. Human Rights Watch menyadari perbaikan umum dan luas bahwa telah terjadi sehubungan dengan hak-hak sipil dan politik dasar, khususnya masyarakat sipil berkembang dan media.
 
Situasi hak asasi manusia di negara saat ini, bagaimanapun, tidak dapat terus diukur dibandingkan dengan masa lalu negara itu. Reformasi sejati harus diakui, tetapi pemerintah Indonesia harus dinilai oleh set yang sama standar sebagai pemerintah lain dan mengkritik secara objektif karena gagal memenuhi kewajiban HAM-nya. Untuk melakukan sebaliknya akan mengutuk rakyat Indonesia untuk menurunkan standar perlindungan hak.
 
Pertama, situasi di Papua dan isu-isu terkait kebebasan berekspresi: keinginan untuk fokus pada empat bidang tertentu keprihatinan hak asasi manusia Human Rights Watch. Kedua, masalah impunitas militer terhadap pelanggaran hak asasi. Ketiga, penganiayaan memburuknya agama minoritas. Dan terakhir, masalah yang melibatkan migran dan pencari suaka.
 
Gratis Ekspresi di Papua dan tempat lain
 
Human Rights Watch tetap sangat prihatin dengan situasi di Papua dan Papua Barat, di ujung timur kepulauan Indonesia, di mana pasukan polisi militer Indonesia dan melakukan kontrol luas atas penduduk etnis Papua, dan sering melecehkan dan membawa penuntutan bermotif politik terhadap warga Papua yang diyakini terlibat dalam kelompok-kelompok pro-kemerdekaan.
 
Pada Oktober 2011 , sebuah demonstrasi pro-kemerdekaan di Papua dibubarkan dengan kasar oleh tentara tiga pengunjuk rasa keamanan Indonesia tewas dan banyak lagi terluka. Beberapa terluka parah karena dipukuli. Enam bulan kemudian, sebuah pengadilan di Papua dihukum lima pria untuk laporan yang dibuat pada acara-Selpius Bobii, seorang aktivis media sosial, August Sananay Kraar, seorang pegawai negeri sipil, Dominikus Sorabut, pembuat film, Edison Waromi, mantan tahanan politik, dan Forkorus Yaboisembut, seorang pemimpin suku Papua-dan menghukum mereka tiga tahun penjara.
 
Forkorus Yaboisembut telah mengunjungi Washington, DC pada tahun 2010 dan bertemu dengan anggota Kongres dan pejabat Departemen Luar Negeri. Dia berusia 50-an dan kemungkinan berat kurang dari 100 pound, tapi itu tidak menghentikan pasukan keamanan dari memukulinya sangat buruk pada rapat umum tersebut.
 
Sebuah tindakan keras pemerintah jelas pada aktivis kemerdekaan dari Mei hingga Agustus 2012 mengakibatkan meningkatnya kekerasan di Papua. Empat puluh tujuh melaporkan insiden kekerasan dalam periode ini meninggalkan 18 orang tewas, termasuk seorang tentara Indonesia yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas, dan puluhan terluka, termasuk seorang turis Jerman. Pada 14 Juni 2012 , polisi menembak dan menewaskan wakil ketua Mako Tabuni dari Komite Nasional Papua Barat (Komite Nasional Papua Barat atau KNPB), sebuah kelompok militan kemerdekaan Papua, memicu kerusuhan di lingkungan Jayapura Wamena, atas persepsi bahwa Tabuni adalah korban eksekusi di luar hukum. Polda Papua menyatakan bahwa Tabuni terlibat dalam berbagai penembakan, tetapi belum memberikan bukti yang jelas untuk mendukung klaim tersebut.
 
Kekerasan pecah di Papua lagi baru-baru ini, pada tanggal 1 Mei 2013, ulang tahun kelimapuluh hari ketika wilayah Papua diserahkan ke Indonesia oleh PBB, pada tahun 1963. Polisi Indonesia dilaporkan menembak dan menewaskan dua pengunjuk rasa di kota Sorong hari sebelum protes, dan setidaknya 20 demonstran ditangkap di kota Biak dan Timika pada hari protes, paling untuk meningkatkan pro-kemerdekaan Bendera Bintang Kejora .
 
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Navi Pillay, mengutuk penangkapan dalam sebuah pernyataan, dan mencatat bahwa sejak Mei 2012, kantornya telah menerima 26 laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia di Papua, termasuk 45 pembunuhan dan kasus-kasus penyiksaan, banyak terkait dengan pejabat keamanan. Dan seperti Human Rights Watch telah dilakukan, dia mengkritik kegagalan pemerintah untuk menyelidiki dan menuntut pasukan keamanan terlibat dalam penyalahgunaan.
 
Juga pada Mei 2012, lebih dari selusin negara anggota PBB mengangkat tangguh pertanyaan selama Universal Periodic Review Indonesia pada Dewan HAM PBB tentang masalah hak asasi manusia di Papua termasuk impunitas berkelanjutan bagi pelanggaran oleh pasukan keamanan, pembatasan hak kebebasan berekspresi , dan pembatasan yang berlebihan dan pengawasan dari wartawan asing dan peneliti hak asasi manusia. Tapi Indonesia menolak semua rekomendasi Papua terkait, menyangkal negara memiliki tahanan politik atau masalah impunitas di Papua, dan mengklaim tanpa dasar bahwa "wartawan nasional" bisa bepergian dengan bebas di wilayah tersebut.
 
Frank La Rue, Pelapor Khusus PBB tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi, berkunjung ke Indonesia pada bulan Januari tapi ditolak izin untuk mengunjungi Papua, menyoroti kegagalan Indonesia untuk bertindak sesuai dengan rekomendasi Dewan Hak Asasi Manusia.
 
Komite juga harus mempertimbangkan kasus Filep Karma, aktivis Papua dipenjarakan karena secara damai mendukung kemerdekaan Papua dari Indonesia. Hampir sembilan tahun yang lalu, pada tanggal 1 Januari 2004, Karma membantu mengatur upacara untuk menandai peringatan kemerdekaan Papua dari penjajahan Belanda. Acara ini dihadiri oleh ratusan mahasiswa Papua yang berteriak "Merdeka!" Dan melambaikan Papua "Morning Star" bendera, yang ilegal menurut hukum Indonesia. Ketika pengunjuk rasa mencoba menaikkan bendera, pasukan keamanan membubarkan unjuk rasa. Karma dan lainnya ditangkap, dan tahun berikutnya ia ditemukan bersalah atas pengkhianatan untuk penyelenggaraan acara dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
 
Tidak ada tuduhan tentang kekerasan yang pernah dilakukan terhadap Karma, ia telah berbicara secara ekstensif terhadap penggunaan kekerasan dalam memprotes pemerintah Indonesia. "Kami ingin terlibat dalam dialog yang bermartabat dengan pemerintah Indonesia," ia mengatakan. "Sebuah dialog antara dua orang bermartabat, dan bermartabat berarti kami tidak menggunakan kekerasan."
 
Pada November 2011 , Kelompok Kerja PBB tentang Penahanan Sewenang-wenang mengeluarkan pendapat bahwa pemerintah Indonesia melanggar hukum internasional dengan menahan Karma dan menyerukan pembebasan segera dan tanpa syarat itu.
 
Memenjarakan Indonesia terhadap demonstran damai tidak terbatas pada Papua. Beberapa lusin demonstran Maluku-orang yang mendukung Maluku independen republik-ditangkap sehubungan dengan 29 Juni 2007 protes selama Hari Nasional perayaan keluarga di stadion di pulau Ambon. Dalam acara yang dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 28 Maluku kemerdekaan anggota kelompok memasuki stadion dan mulai tarian tradisional yang disebut cakalele, dan kemudian mengibarkan bendera dilarang Republik Maluku Selatan. Protes ini dipimpin oleh seorang guru sekolah bernama Johan Teterisa Maluku. Seorang kepala suku bernama Ferdinand Waas membantu mengatur protes. Para penari, sebagian besar pria muda yang datang dari Pulau Haruku, timur dari Ambon, malu Presiden Yudhoyono di depan para tamu asing: ketika ia berbicara setelah tarian dia mengatakan kepada penonton bahwa "tidak ada toleransi" di Indonesia untuk separatisme. Sebagian besar demonstran segera ditangkap selama acara berlangsung, dan Human Rights Watch kemudian didokumentasikan dalam sebuah laporan tahun 2010 berapa banyak dari mereka disiksa oleh pihak berwenang Indonesia setelah penangkapan. Sebagian kemudian dituntut untuk pengkhianatan dan dihukum penjara dalam jarak sekitar 8 sampai 10 tahun. Tujuh dari pengunjuk rasa asli saat ini menderita masalah kesehatan yang parah yang berhubungan dengan penyiksaan dan pemukulan setelah mereka ditangkap.
 
Impunitas Militer
 
Aparat keamanan Indonesia terus melakukan pelanggaran serius dengan impunitas hampir selesai. Sistem peradilan militer memiliki catatan buruk penuntutan dalam kasus-kasus hak asasi manusia, dan tidak ada yurisdiksi sipil atas tentara, bahkan untuk pelanggaran hak asasi yang serius.
 
Ini kegagalan yang disorot dalam insiden tahun lalu di Papua: Pada 6 Juni 2012 lebih dari 300 tentara dari Batalyon 756 th mengamuk di desa Papua Wamena sebagai balasan atas sebuah insiden di mana warga yang memukuli sampai mati seorang prajurit yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas yang fatal. Tentara acak menembakkan senjata mereka ke pusat perbelanjaan, membakar 87 rumah, ditikam 13 desa, dan membunuh seorang PNS asli Papua. Meskipun para pejabat militer pada 12 Juni meminta maaf atas insiden tersebut dan kompensasi yang dijanjikan, korban mengatakan penyelidik militer gagal menanyai mereka tentang insiden tersebut. Mereka mengatakan daripada membayar kompensasi apapun, militer telah membatasi respons terhadap kekerasan ke Papua "batu-pembakaran" upacara adat dan menyatakan kasus ini ditutup. Tidak ada yang diketahui telah dituntut atas kekerasan yang terjadi.
 
Kekhawatiran tentang impunitas aparat keamanan muncul kembali tahun ini di Jawa, pulau terpadat di Indonesia. Pada 23 Maret , 11 anggota Komando Pasukan Khusus (Komando Pasukan Khusus atau Kopassus), ditangkap karena membobol penjara Cebongan di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan membunuh empat tahanan di sel mereka. Penyidik ​​mengatakan motif pembunuhan adalah balas dendam atas pembunuhan, tiga hari sebelumnya, dari anggota Kopassus Heru Santoso, yang keempat tahanan telah ditangkap. Santoso dan 11 Kopassus tersangka semua disajikan dengan Kopassus Grup II di Kartasura, sekitar dua jam dari Yogyakarta.
 
Penyidik ​​mengatakan bahwa tersangka Kopassus, menyamar dengan topeng ski dan membawa AK-47 senapan serbu, memaksa masuk ke penjara, mengalahkan dua penjaga penjara yang kemudian harus dirawat inap, dan mengeksekusi empat tahanan. Ketika meninggalkan setelah serangan 15 menit, para penyerang menyita rekaman televisi sirkuit tertutup penjara.
 
Pada tanggal 24 Maret, sehari setelah serangan itu, komandan militer Jawa Tengah, Mayjen Hardiono Saroso, yang kewenangannya meluas ke Kopassus Grup II, menolak tuduhan bahwa personil Kopassus telah dilakukan pembunuhan penjara. Tapi sembilan hari kemudian, pada tanggal 2 April, tentara Komandan Jenderal Pramono Edhie Wibowo menunjukkan bahwa anggota Kopassus telah terlibat dalam serangan penjara. Pada tanggal 4 April, tim investigasi militer mengungkapkan bahwa sembilan tentara Kopassus telah melakukan serangan, dan pada tanggal 6 April, angkatan bersenjata mengumumkan bahwa Saroso, komandan Jawa, telah diberhentikan dari jabatannya sehubungan dengan pembunuhan penjara.
 
Pada saat yang sama, militer dan pejabat pemerintah senior yang secara terbuka membela tersangka dan meremehkan beratnya kejahatan. Pada tanggal 4 April, tentara penyidik ​​Brig. Jenderal Untung Yudhoyono berulang kali menggambarkan empat tahanan dibunuh sebagai "preman" dan mengatakan pembunuhan mereka ekspresi loyalitas Kopassus. Pada tanggal 12 April, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro secara terbuka membantah bahwa pembunuhan penjara adalah pelanggaran hak asasi manusia atas dasar bahwa pembunuhan itu "spontan [dan] terorganisir." Komandan Kopassus Mayjen Agus Sutomo pada tanggal 16 April bersikeras bahwa serangan penjara adalah tindakan hanya "pembangkangan" daripada isu hak asasi manusia.
 
Human Rights Watch prihatin bahwa para tersangka Kopassus tidak akan dituntut sejauh penuh hukum. Menurut hukum Indonesia, personil militer tidak dapat diadili di pengadilan sipil, dengan hanya beberapa pengecualian jarang dipanggil beberapa. Sistem peradilan militer memiliki yurisdiksi untuk mengadili kejahatan yang dilakukan oleh tentara, tetapi memiliki catatan kejaksaan sangat miskin. Hukum pidana militer tidak mengandung kejahatan penyiksaan, antara kekurangan lainnya. Sementara UU 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia kewenangan pengadilan HAM untuk menegaskan yurisdiksi atas kasus yang melibatkan tuduhan bahwa anggota berkomitmen pelanggaran HAM militer, pada saat itu hanya berlaku untuk tuduhan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan tidak kepada spektrum perilaku yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
 
Selama Ulasan PBB Universal Periodic terhadap catatan hak asasi manusia di Indonesia pada tahun 2007 dan 2012, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mereformasi sistem peradilan militer, yang menjanjikan reformasi termasuk menambahkan penyiksaan dan tindakan kekerasan lainnya terhadap hukum pidana militer pelanggaran dapat dituntut dan memastikan definisi dari pelanggaran tersebut konsisten. Namun, sampai saat ini pemerintah belum menambahkan pelanggaran tersebut ke hukum pidana militer.
 
Catatan Kopassus 'pelanggaran hak asasi manusia dan kegagalan untuk menahan pelaku bertanggung jawab meliputi operasinya di seluruh Indonesia, dimulai pada tahun 1960 di Jawa dan memperluas ke Timor Timur, Aceh, dan Papua dalam beberapa dekade sejak. The terdokumentasi Timor Timur pelanggaran mendorong Amerika Serikat untuk memberlakukan larangan kontak militer dengan pasukan elit pada tahun 1999. Pada tahun 2010, AS mencabut larangan tersebut. Human Rights Watch dan organisasi hak asasi manusia dalam negeri mengkritik larangan atas dasar bahwa militer Indonesia, dan Kopassus pada khususnya, telah gagal untuk menunjukkan komitmen tulus untuk pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
 
Pelanggaran serius oleh pasukan Indonesia dan kegagalan untuk sepenuhnya menuntut dan menghukum personil militer jauh melebihi Kopassus. Dalam sejumlah kasus selama dekade terakhir, sistem peradilan militer Indonesia telah ditiadakan hukuman ringan kepada prajurit dihukum pelanggaran HAM berat terhadap warga sipil:
  • Pada tanggal 30 Mei 2010, beberapa tentara Indonesia menahan dua petani Papua, Tunaliwor Kiwo dan Telangga Gire, di sebuah pos pemeriksaan militer di Tingginambut, Puncak Jaya, Papua. Para tentara menyiksa mereka, menuntut para petani membawa mereka ke tempat penyimpanan senjata yang diduga di desa mereka. Sebuah video grafis mendokumentasikan tentara melakukan tindak kekerasan seksual terhadap Kiwo dan mengancam akan membunuh Gire. Pengadilan militer dihukum hanya tiga tentara yang terlibat dalam penyiksaan atas tuduhan "pembangkangan" dan menjatuhkan hukuman penjara antara delapan dan sepuluh bulan.
  • Video rekaman mendokumentasikan pelanggaran yang dilakukan pada tanggal 17 Maret 2010, oleh unit pos pemeriksaan 12-prajurit dari tentara Batalyon 753 rd, yang dipimpin oleh Letnan Cosmos di desa Papua Kolome juga di Puncak Jaya. Video mendokumentasikan unit menginterogasi warga Papua, memukuli mereka dengan helm mereka dan menendang mereka. Letkol Adil Karo-Karo, hakim militer, mengkritik tentara yang mencatat penyalahgunaan, mengatakan "Kamu bodoh. Mengetahui seberapa sensitif itu, mengapa Anda terus merekam sih? "Pada tanggal 12 November 2010, pengadilan militer Jayapura ditemukan Cosmos dan tiga tentara di bawah komandonya bersalah" pembangkangan. "Cosmos dijatuhi hukuman tujuh bulan penjara sementara tiga prajurit menerima hukuman lima bulan masing-masing.
  • Pada bulan Juni 2008, sebuah pengadilan militer menemukan 13 personil angkatan laut bersalah menembaki sekelompok warga sipil di Pasuruan, Jawa Timur, menewaskan empat warga sipil dan melukai beberapa orang lainnya pada Mei 2007. Penembakan itu sehubungan dengan sengketa tanah yang melibatkan bisnis yang telah menyewa tentara untuk memberikan keamanan. Meskipun biaya yang relevan membawa hukuman maksimal 15 tahun penjara, tentara dijatuhi hukuman penjara yang berkisar antara 18 bulan sampai 36 bulan, dan pemberhentian dari militer.
  • Tiga tentara dihukum pada bulan Juli 2005 menyiksa seorang warga sipil di Bogor, Jawa Barat, pada kecurigaan bahwa ia telah mencuri sepasang sandal. Menurut sebuah laporan forensik, penduduk sipil meninggal pada hari berikutnya dari luka yang diderita sebagai akibat dari penyiksaan. Sebuah pengadilan militer menghukum prajurit penyerangan dan menghukum mereka hukuman penjara berkisar antara enam minggu sampai 18 bulan.
  • Tiga tentara dihukum pada bulan Juli 2003 karena memperkosa empat perempuan di Aceh Utara, tunduk sampai 12 tahun penjara, diberi hukuman penjara mulai dari dua tahun dan enam bulan sampai tiga tahun enam bulan dan pemecatan dari militer.
Kebebasan Beragama
 
Pada bulan Februari, Human Rights Watch menerbitkan komprehensif laporan tentang serangan sering dan kadang-kadang mematikan terhadap kelompok agama minoritas di Indonesia. Laporan ini menjelaskan lingkungan memburuk bagi minoritas agama di seluruh Indonesia. Militan Islam semakin memobilisasi massa untuk menyerang minoritas agama-dengan impunitas hampir selesai. Hukuman penjara ringan yang dikenakan pada mereka dituntut mengirim pesan toleransi resmi untuk kekerasan massa tersebut. Puluhan peraturan, termasuk menteri tentang pembangunan rumah ibadah, terus mendorong diskriminasi dan intoleransi.
 
Sepanjang 2012, puluhan jemaat-jemaat Kristen minoritas, termasuk GKI Yasmin di Bogor dan Gereja HKBP Filadelfia gereja di pinggiran Jakarta Bekasi, melaporkan bahwa para pejabat pemerintah daerah sewenang-wenang menolak untuk mengeluarkan izin mereka diperlukan dalam sebuah dekrit tahun 2006 untuk membangun rumah ibadah. Kedua gereja telah memenangkan Mahkamah Agung keputusan untuk membangun struktur tersebut. Pejabat pemerintah senior, termasuk Menteri Agama Suryadharma Ali dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, terus membenarkan pembatasan kebebasan beragama atas nama ketertiban umum. Mereka berdua menawarkan minoritas yang terkena dampak "relokasi" daripada perlindungan hukum terhadap hak-hak mereka.
 
Suryadharma Ali sendiri telah meradang ketegangan dengan membuat pernyataan yang sangat diskriminatif tentang Ahmadiyah dan komunitas agama Syiah, menunjukkan bahwa keduanya sesat. Pada bulan September 2012, ia menyatakan bahwa "solusi" untuk intoleransi keagamaan Ahmadiyah dan Syiah adalah konversinya ke Islam Sunni bahwa kebanyakan orang Indonesia mengikuti. Itu bulan yang sama, Presiden Yudhoyono menyerukan pengembangan instrumen internasional untuk mengadili "penodaan agama," yang dapat digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama minoritas.
 
Menurut Setara Institute di Indonesia, yang memonitor kebebasan beragama, serangan terhadap umat beragama meningkat dari 216 pada 2010 menjadi 244 di 2011-264 serangan pada tahun 2012. Angka-angka ini menunjukkan situasi yang memburuk.
 
Beberapa serangan baru-baru terburuk melibatkan sebuah desa Syiah di Kabupaten Sampang di Pulau Madura. Pada 29 Desember 2011, militan Sunni membakar rumah-rumah dan madrasah, sekolah Islam, menyebabkan sekitar 500 warga Syiah mengungsi. Polisi menangkap dan dikenakan hanya salah satu militan untuk pembakaran. Pada tanggal 26 Agustus 2012, pada akhir Idul Fitri, liburan setelah berakhirnya Ramadan, ratusan militan Sunni kembali menyerang desa Syiah sama dan membakar sekitar 50 rumah Syiah, menewaskan satu orang dan melukai yang lain. Beberapa petugas polisi di tempat kejadian gagal melakukan intervensi untuk menghentikan serangan-rekaman video serangan menunjukkan polisi berdiri di sekitar sementara Sunni serangan militan. Banyak Syiah menyerang tetap mengungsi dari rumah mereka.
 
Pada bulan November 2012, penduduk desa di Aceh menyerang sebuah sekte Muslim di Bireuen, Aceh, menargetkan rumah seorang guru Muslim, Tengku Aiyub Syakuban, yang ulama dituduh menyebarkan "ajaran sesat." Ratusan penduduk desa terlibat dalam penyerangan dan membakar Syakuban dan Muntasir muridnya, keduanya dibakar sampai mati. Salah satu penyerang juga entah tewas dalam kerusuhan itu. Tidak ada yang ditangkap.
 
Salah satu serangan baru-baru yang paling meresahkan terjadi pada 6 Februari 2011, di Cikeusik, sebuah desa di Jawa Barat, ketika kerumunan sekitar 1.500 militan Islam bersenjata dengan batu, tongkat, dan parang menyerang sebuah pertemuan kecil dari dua lusin Ahmadiyah. Dalam sebuah video serangan, massa berteriak-teriak, "Kau kafir! Anda adalah bidat! "Polisi setempat dapat dilihat tetapi banyak cuti ketika kerumunan mulai turun pada Ahmadiyah. Video ini menunjukkan kerumunan kejam menendang dan memukuli beberapa pria dengan potongan-potongan kayu besar. Pada saat serangan berakhir, tiga orang yang dipukul sampai mati. Ini adalah pemandangan yang menjijikkan, untuk melihat massa mengalahkan manusia sampai mati. Tapi itu adalah ganda mengganggu untuk menyadari bahwa polisi berada di tempat kejadian dan kiri, membuat mereka terlibat dalam kejahatan.
 
Tetapi pihak berwenang tidak hanya bertanggung jawab atas tindakan kelalaian. Para pejabat telah terlibat langsung dalam penganiayaan terhadap agama minoritas.
 
Pada bulan Maret 2012, sebuah pengadilan di Jawa Tengah dihukum Andreas Guntur, pemimpin spiritual kelompok Amanat Keagungan Ilahi, sampai empat tahun penjara atas tuduhan penghujatan atas dasar ajaran diduga tidak tepat ayat-ayat tertentu dari Al-Quran.
 
Pada bulan Juni 2012, pengadilan Sumatera Barat dihukum Alexander An, administrator dari "Minang Ateis" grup Facebook, sampai 30 bulan penjara dan denda 100 juta rupiah (US $ 11.000) untuk "menghasut kerusuhan publik" melalui posting Facebook mendukung ateisme .
 
Pada bulan Juli 2012, sebuah pengadilan distrik Jawa Timur memvonis Tajul Muluk ulama Syiah dua tahun penjara dengan tuduhan penghujatan terhadap Islam. Pengadilan tinggi Jawa Timur kemudian meningkat hukumannya menjadi empat tahun dan dua bulan untuk menyebabkan "kerusuhan" di bulan Agustus.
 
Pada bulan Oktober 2010 seorang pendeta yang bernama Antonius Richmond Bawengan dari Jakarta ditangkap dan dituntut untuk membagi-bagikan selebaran kontroversial yang membuat marah umat Islam lokal di Jawa Tengah. Pada tahun 2011, ia dihukum karena penghujatan dan dijatuhi hukuman lima tahun penjara.
 
Pada tahun 2010 sebuah pengadilan lokal di Sumatera dihukum dua anggota Baha'i, Syahroni dan Iwan Purwanto, dari "mencoba untuk mengubah" anak-anak Muslim ke agama Baha'i, yang tidak diakui oleh hukum Indonesia. Tuduhan itu tidak didukung oleh tuduhan yang jelas. Kedua pria dijatuhi hukuman lima tahun penjara.
 
Ada juga persenjataan lengkap hukum diskriminatif dan kebijakan di Indonesia yang membuat hidup sangat sulit bagi minoritas agama. Sebuah kelompok Kristen yang ingin membangun gereja baru terikat dengan peraturan yang sering ditegakkan pada kehendak pemerintah setempat. Seorang wanita Syiah akan mengatakan dia tidak dapat mengidentifikasi dirinya sebagai "muslim" di KTP pemerintahannya, karena iman Syiah dianggap sesat. Beberapa Baha'i akan dipaksa untuk mengatakan bahwa mereka adalah Muslim dalam rangka untuk mendapatkan surat nikah, jika mereka menolak, pernikahan mereka tidak bisa dikenali, dan anak-anak mereka akan dipertimbangkan yatim di akte kelahiran mereka. Dan ateis dapat dihukum dengan penjara keras.
 
Migran dan Pencari Suaka
 
Lebih dari empat juta perempuan Indonesia bekerja di luar negeri di Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah sebagai hidup di rumah majikan. Para wanita sering menghadapi berbagai pelanggaran, termasuk eksploitasi tenaga kerja, psikologis, fisik, dan seksual, dan situasi kerja paksa dan kondisi seperti perbudakan. Pemerintah Indonesia telah menjadi advokat semakin vokal untuk pekerja di luar negeri, berhasil negosiasi pengampunan dari 22 perempuan Indonesia pada kematian baris Arab Saudi, menyerukan perlindungan tenaga kerja membaik, dan meratifikasi Konvensi Pekerja Migran.
 
Namun, Indonesia telah secara konsisten gagal untuk mengendalikan agen perekrutan kasar yang mengirimkan TKI ke luar negeri. Banyak lembaga membebankan biaya tinggi yang pekerja meninggalkan mereka dililit hutang dan memberi mereka informasi yang menipu atau tidak lengkap tentang kondisi kerja mereka. Revisi hukum migrasi tetap tertunda.
 
Di Indonesia, sebuah RUU yang penting memperluas perlindungan kunci untuk pekerja rumah tangga telah mendekam di parlemen. Hukum perburuhan negara mengecualikan pekerja rumah tangga dari hak-hak dasar yang diberikan kepada pekerja formal, seperti upah minimum, upah lembur, batas jam kerja, hari istirahat mingguan, dan liburan. Ratusan ribu gadis, sebagian masih berusia 11 tahun, bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Banyak pekerjaan 14 sampai 18 jam sehari, tujuh hari seminggu, tanpa hari libur. Banyak majikan melarang pekerja rumah tangga anak meninggalkan rumah tempat mereka bekerja dan membayar sedikit atau tidak ada gaji mereka. Dalam kasus terburuk, anak perempuan secara fisik, psikologis, dan seksual oleh majikan mereka atau anggota keluarga majikan mereka.
 
Indonesia Tangkap dan menganiaya ribuan pencari suaka, termasuk anak-anak, dari Sri Lanka, Afghanistan, Burma, dan di tempat lain. Pencari suaka wajah penahanan, pelanggaran dalam tahanan, terbatasnya akses ke pendidikan, dan memiliki sedikit atau tidak ada bantuan dasar.
 
Pada bulan Februari 2012, pencari suaka Afghanistan meninggal akibat luka yang diduga ditimbulkan oleh penjaga di Pusat Penahanan Imigrasi Pontianak.
 
Indonesia bukan merupakan pihak pada Konvensi Pengungsi tahun 1951, dan tidak memberikan kesempatan yang paling migran untuk memperoleh status badan hukum, seperti untuk mencari suaka. Banyak migran mempertimbangkan bepergian ke Australia pada kapal diatur oleh penyelundup pilihan yang layak, meskipun risiko tenggelam di persimpangan laut yang berbahaya.
 
Human Rights Watch menjadi semakin peduli dengan nasib anak migran dan pencari suaka pada khususnya. Penelitian kami telah menemukan bahwa ratusan ditemani anak-lagi, orang-orang yang lari dari perang, kekerasan, dan kemiskinan di negara-negara yang jauh seperti Afghanistan, Sri Lanka, dan Burma-yang ditahan setiap tahun di Indonesia dan ditahan dalam kondisi mengerikan dan kekerasan, sering untuk bulan atau bahkan bertahun-tahun, tanpa akses ke pendidikan, dengan hak dasar mereka untuk mencari suaka diabaikan. Kami akan menerbitkan laporan tentang hal ini musim panas ini.
 
Terima kasih telah mengijinkan saya untuk bersaksi hari ini.

Published: 

Report Amnesty International | Working to Protect Human Rights In Indonesia


Annual Report 2013

The state of the world's human rights

  1. Background
  2. Police and security forces
  3. Freedom of expression
  4. Freedom of religion and belief
  5. Women’s rights
  6. Impunity
  7. Death penalty
  8. Amnesty International Reports
  9. Amnesty International Visits

Security forces faced persistent allegations of human rights violations, including torture and other ill-treatment and excessive use of force and firearms. At least 76 prisoners of conscience remained behind bars. Intimidation and attacks against religious minorities were rife. Discriminatory laws, policies and practices prevented women and girls from exercising their rights, in particular, sexual and reproductive rights. No progress was made in bringing perpetrators of past human rights violations to justice. No executions were reported.

Background

In May, Indonesia’s human rights record was assessed under the UN Universal Periodic Review. The government rejected key recommendations to review specific laws and decrees which restrict the rights to freedom of expression and thought, conscience and religion. In July, Indonesia reported to the CEDAW Committee. In November, Indonesia adopted the ASEAN Human Rights Declaration, despite serious concerns that it fell short of international standards.
Indonesia’s legislative framework remained inadequate to deal with allegations of torture and other ill-treatment. Caning continued to be used as a form of judicial punishment in Aceh province for Shari’a offences. At least 45 people were caned during the year for gambling, and being alone with someone of the opposite sex who was not a marriage partner or relative (khalwat).




Kapolda Papua Diminta Mundur


JAKARTA - National Papua Solidarity (Napas) mengecam keras sejumlah tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terus terjadi di Papua. 

Koordinator Napas, Zely Ariane, mengatakan sejak 30 April hingga 22 Mei 2013 ini, telah terhadi serangkaian kekerasan yang masif berupa penembakan, penghilangan paksa, pembunuhan, pelarangan dan pembubaran paksa massa aksi hingga penahanan yang disertai penuiksaan di Biak, Sorong, Timika dan Puncak Jaya.

Oleh karenanya, Zely melaporkan peristiwa tersebut ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). 

"Ini Kelanjutan dari minggu lalu kita ke Ombudsman. Kita ingin mengadukan Kapolda Papua, dan Kapolres Jayapura terhadap pelarangan aksi pada 1 mei dan 13 mei, termasuk pelarangan kegitan hari ini juga, 23 Mei," ungkap Zely kepada wartawan, di Kantor Kompolnas, Jakarta Selatan, Kamis (23/5/2013).

Zely menambahkan, penanganan yang represif dari aksi-aksi di beberapa tempat di Jayapura dan penangkapan-penangkapan dinilai tidak sesuai prosedur, serta ada 28 orang yang masih ada di tahanan atas tuduhan yang dianggapnya mengekang kebebasan berekspresi, juga akan dilaporkan kepada Kompolnas.

"Kami ingin mengadukan ini ke Kompolnas, agar ada tindakan terhadap cara penanganan dan prosedur yang menjadi wewenang Kompolnas," tegasnya. 

Meskipun Kompolnas tidak berwenang untuk mecopot Kapolda Papua Irjen Pol Tito Karnavian, namun, setidaknya pihaknya meminta pertanggungjawaban Tito terhadap warga sipil yang ditangkap, karena dari kronologis yang diketahui, mereka yang ditangkap ternyata tidak melanggar hukum.

"Kalau kami tegas, tindakan Kapolda Papua dan Kapolres Jayapura, sehingga seharusnya memang harus diganti, karena dibutuhkan seseorang yang memiliki pendekatan berbeda untuk menyelesaikan Papua," paparnya.

Dia menganggap kepemimpinan Tito selama ini di bumi cendrawasih tidak mencerminkan pendekatan yang soft untuk menyelesaikan konflik di Papua.

"Memang kalau bentuk arogansi tidak terlalu kongkrit, tapi sebetulnya tidak ada kemauan untuk menyelesaikan konflik Papua dengan pendekatan yang lebih pro perdamaian. Kalau terus represif, maka ini bisa bertambah buruk," tutupnya

5/22/2013

PNWP Peace Action Will Be Supporting Members West Papua MSG

Buctar Tabuni Aksi demo 2012

Jayapura, 22/5 (Jubi) - Buchtar Tabuni, Chairman of the West Papua National Parliament said it will conduct peaceful protests in June 2013 to support a member of the Melanesian Spearhead Papua Groups (MSG). 

"PNWP commissioned the West Papua National Committee (KNPB) called on the Papuan People either abroad or in the Land of Papua to immediately mobilize to support West Papua registration process as an official member of the MSG in the city of Noumea, New Caledonia," said Buchtar Tabuni in a release received tabloidjubi.com, Wednesday (22/5). 

Currently Papua remained under Dutch control, the relationship between the Land of Papua with the countries in the South Pacific has always been a concern. Mark W. Kaisiepo three times led the delegation of West Papua following the Conference of the States in the South Pacific. After integration with Indonesian Papua, this relationship was finally broken. 

"These countries have started to initiate a meeting in Canberra that led to the 1947 Canberra.Articles of formation of the South Pacific in accordance with the agreement Canberra on February 6, 1947 was established the South Pacific Commission (South Pacific Commission) includes the self-governing island that has not been in the South Pacific, which is located at the start of the equator including the provinces of Papua and West Papua, "said Tabuni tell you a little history of MSG in releasenya. 

Commission chose the capital of New Caledonia, a French colony where bermarkasnya South Pacific Commission in which the commission was formed when the countries in the South Pacific is not yet independent, still colonized countries the Netherlands, the UK, France and Australia. Since then, these countries began meeting regularly to discuss the future of the South Pacific region. 

Conferences I, 1950 at Suva, capital of Fiji, the colonies of England. Conference II, 1953 in Noumea, New Caledonia, French colonies. Conference III, 1956 in Suva, the capital of Fiji. Conference IV, 1959 in Rabaul, Papua New Guinea. V Conference, 1962 in the capital of Samoa Pago-pago East, the colonies of the United States."Therefore, in Papua should be peaceful action, worship and free speech in church or open field on June 18, 2013," the appeal Tabuni in releasenya. 

For VI Conference 1965 is planned at Hollandia, now Jayapura but was canceled because of the region to the territory of the Republic of Indonesia. (Jubi / Aprila wiring)

5/21/2013

Buchtar: Kami Tetap Berjuang Papua Merdeka

Bucthar Tabuni
JAYAPURA—Mantan Ketua Umum Komite Nasional  Papua Barat  (KNPB) Bucthar Tabuni menegaskan pihaknya tetap berjuang untuk kemerdekaan Papua Barat berpisah dari Negara Kesatuan Republik (NKRI). 

“Kami juga  tak akan mentaati aturan yang dibuat pemerintah Indonesia dan tetap melakukan demo apapun resikonya,” tukas Buchtar   sebagaimana disampaikan Kapolda  Papua  Irjen (Pol) Drs. M. Tito Karnavian, MA,PhD ketika dikonfirmasi usai acara Coffee Morning bersama tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan dan tokoh pemuda dalam rangka sosialisasi UU Nomor 9 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum di Aula Rupatama Polda Papua, Jayapura, Selasa (21/5)

Bucthar Tabuni menyatakan, pihaknya   tak setuju aturan dalam UU  Nomor 9 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Sebaliknya akan terus-menerus menyuarakan perjuangan untuk kemerdekaan Papua Barat terpisah dari NKRI. 

Kapolda Papua  Irjen (Pol)  Drs. M, Tito Karnavian, MA.PhD menandaskan, ada bebeberapa poin yang bisa dipetik. Salah satunya, tak harus ada kesepakatan dan yang lebih penting adanya komunikasi serta saling memahami antara satu dengan yang lain.

“Kalaupun semua memiliki pendapat masing-masing kenapa tidak, toh bebas menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan,” tuturnya.

Dimana dalam poin pertama, terang Kapolda, aparat penegak hukum tetap berpatokan dalam UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, selagi masih ada hukum positif, maka akan ditegakkan.

Sementara  itu, dalam coffee morning itu Jubir KNPB Wim R. Medlama menuturkan pihaknya bersikeras akan tetap melanggar aturan, menggelar demo di Tanah Papua, meski pihak kepolisian tak akan menerbitkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP), dikarenakan  KNPB tak terdaftar di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Papua, sebab  mendaftarkan diri di Kesbangpol itu tidak perlu bagi KNPB.

Wim Rocky Medlama juga  menuding selama ini konflik antara pendemo dan kepolisian yang terjadi di lapangan saat aksi demo KNPB, bukan disebabkan simpatisannya, melainkan dari aparat kepolisian yang tengah mengamankan jalannya unjukrasa.

Menanggapi penyampaian Jubir KNPB, Direktur Intel  Polda Papua Kombes (Pol) Yakobus Marzuki menegaskan, sesuai aturan perundang-undangan bahwa pihak kepolisian akan  mengeluarkan STTP kepada organisasi yang terdaftar pada Kesbangpol. Artinya, harus organisasi yang jelas yang diperbolehkan menggelar aksi unjukrasa.

Terkait tudingan KNPB yang menyebutkan aparat kepolisian pemicu konflik di lapangan, Kapolres  Jayapura Kota AKBP Alfred Papare, SIK demo  yang digelar KNPB maupun Bucthar Tabuni telah berjalan dengan koordinasi yang baik. Bahkan, kepolisian juga memberikan kebebasan, tapi disaat demo berjalan koordinasi antara massa atau koordinator putus, akibatnya massa tak terkendali, bahkan anarkis.

Kapolres berpandangan dalam aksi unjukrasanya KNPB tak pernah menyampaikan aspirasinya kepada lembaga-lembaga yang ada, misalnya kepada DPRP maupun MRP, melainkan hanya menggelar orasi-orasi  berpontensi separatis, makar dan mengganggu kepentingan umum.

“Soal sejarah Papua perlu dibahas dengan para pelaku sejarah, karena tak bisa mengklim versi diri sendiri sebagai sejarah yang paling  benar,” imbuhnya.

Sumber: http://bintangpapua.com/

Protesters shot, radio host arrested in West Papua, Indonesia

Pacific Freedom Forum ,-- Shooting peaceful protesters in West Papua and arresting a radio host for comments made on a talkback show are clear attacks on human rights by Indonesia, says the Pacific Freedom Forum.

"Indonesia is showing little progress towards answering serious and long-running concerns about human rights abuses in West Papua," says PFF Chair Titi Gabi.

In this case, the right to peaceful protest as a freedom of expression was again denied through the use of lethal force and arbitrary arrest."

Two protesters were reportedly killed and three seriously wounded in the district of Sorong as police and security forces cracked down on peaceful protests on 1 May across West Papua, marking 50 years of Indonesian rule.

An unconfirmed number were arrested.

In a separate incident since then, police also arrested a radio journalist hosting a talkback show where callers criticised the performance of a local official.

PFF supports comments from the UN High Commissioner for Human Rights, Navi Pillay, who expressed serious concerns over the crackdown on mass demonstrations across Papua.

In a UN statement, Pillay said: "These latest incidents are unfortunate examples of the ongoing suppression of freedom of expression and excessive use of force in Papua. I urge the government of Indonesia to allow peaceful protest and hold accountable those involved in abuses."

Her office reported receiving 26 alerts since May 2012 on human rights abuses, including 46 killings and cases of torture, "many" involving state officials.

PFF also supports comments reported from Independent Journalist Alliance, AJI, that any complaints against journalists should be handled under the press laws.

PFF co-Chair Monica Miller praised work by AJI and civil society networks in exposing continual human rights abuses in West Papua.

"Without their calm work in often hostile environments, the outside world may never get to hear of historic and ongoing killings, torture and arrest."

"These latest incidents illustrate the dismal failure by authorities in Jakarta to ensure constitutional equality across the republic."

PFF calls for the withdrawal of charges against the journalist, and his immediate release.

PFF also calls for an independent review of the process by which security forces deal with freedoms of expression, including peaceful protests. 

5/18/2013

Lobi Papua merdeka 'digalakkan' di luar Indonesia

Benny Wenda menuturkan lobi untuk memerdekakan Papua semakin intensif dan dikoordinasikan melalui kantor baru kelompok separatis Free West Papua di Oxford.

Sejak namanya dicabut dari daftar Red Notice Interpol pada 2012, pemimpin kelompok Papua Merdeka itu melakukan lobi ke berbagai negara, antara lain Australia, Selandia Baru, negara-negara lain di Pasifik dan awal pekan depan dijadwalkan berkunjung ke Amerika Serikat.

Ia menyebut kunjungannya ini sebagai tur dunia untuk menggalang dukungan.

"Secara politik kami harus merdeka dari bangsa Indonesia. Itu tujuan dari perjuangan saya, karena selama 50 tahun bersama Indonesia kami dibunuh, kami dipenjarakan, kami diintimidasi, kami dipukul," kata Benny Wenda dalam wawancara telepon dengan BBC pada Sabtu (18/05).

Pihak-pihak yang ia temui, lanjutnya, meliputi pemerintah, anggota parlemen, lembaga swadaya masyarakat maupun individu yang bersimpati.

Koordinasi di kantor baru

Ketika ditanya bagaimana ia menggalang dukungan sementara di Papua terdapat berbagai kelompok, Benny Wenda mengakui berbagai organisasi di Papua bergerak dengan cara dan gaya mereka sendiri.
"Karena di situ kami ada semua kesepakatan teman-teman, juga busy (sibuk) dan saya sendiri juga busy perjalanan. Saya sendiri juga baru kembali kemarin malam jadi saya tidak ada waktu." Benny Wenda

"Untuk internasional, bagaimana saya harus melakukan lobi-lobi secara damai untuk menyampaikan ke dunia bahwa perjuangan kami ini, kami menuntut hak kami secara damai supaya melihat kembali akar persoalan," jelasnya.

Prinsipnya ia berpendapat integrasi Papua ke wilayah Indonesia melalui penentuan pendapat pada 1969 adalah cacat karena hanya diwakili segelintir penduduk Papua.

Kampanye, menurut Benny Wenda, kini diharapkan dapat dikoordinasikan melalui kantor barunya yang dibuka pada 28 April lalu di Oxford, Inggris. Pembukaan kantor Free West Papua antara lain dihadiri oleh walikota setempat dan seorang anggota parlemen.

Pembukaan itu sontak menuai kecaman di Indonesia. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa sampai merasa perlu Klik memanggil Duta Besar Inggris Mark Canning.

Akses BBC ditolak

Menlu menyatakan pembukaan kantor kelompok yang mendukung Papua merdeka berlawanan dengan hubungan persahabatan Indonesia dan Inggris. Namun Duta Besar Inggris mengatakan negaranya mendukung kedaulatan Indonesia dan tidak mendukung aksi kelompok yang berupaya untuk memerdekakan Papua.

BBC menyampaikan permintaan untuk melakukan wawancara dan memotret di kantor Free West Papua di Oxford, tetapi permintaan akses tersebut ditolak.

"Karena di situ kami ada semua kesepakatan teman-teman, juga busy (sibuk) dan saya sendiri juga busy perjalanan. Saya sendiri juga baru kembali kemarin malam jadi saya tidak ada waktu," kata Benny Wenda dalam wawancara lewat telepon. 

Ia juga menolak memberikan gambaran rinci mengenai kantornya dan hanya menyebutkan kantor dioperasikan oleh tujuh orang staf ditambah relawan.

5/13/2013

Ini Fhoto dan Kronologis Penangkapan Victor Yeimo Bersama 3 Aktivis

Ketua KNPB Victor Yeimo Orasi Sebelum ditangkap Polisi
Jayapura— Empat aktivis Papua yang ditangkap aparat keamanan adalah Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Viktor Yeimo, Sekertaris West Papua National Authorithy (WPNA), Marthen Manggaprou,  Yongky Ulimpa (23), Mahasiswa Universitas Cenderawasih, dan Elly Kobak (17), Mahasiswa Universitas Cenderawasih. 

Keempat aktivis tersebut ditangkap tepat di depan pintu Gerbang Kampus Universitas Cenderawasih (Uncen) baru, Perumnas III, Waena, Papua, pada Senin (13/5/2013), sekitar pukul 10.30 Waktu Papua. 
Rocky Wim Medlama, Juru Bicara (Jubir) KNPB menjelaskan, “Awalnya, sekitar pukul 09.30 Waktu Papua, kami bersama dengan kawan-kawan dari Badan Eksekutif Mahasiswa  Uncen melakukan pemalangan kampus, dan melakukan orasi-orasi Politik di depan pintu Gerbang kampus.”

Aparat Kepolisian Resort Kota Jayapura, yang dipimpin langsung oleh Kapolresta Jayapura, AKBP Alfred Papare, kemudian mendatangi lokasi mahasiswa menyampaikan orasi-orasi Politik.

“Termasuk ada aparat Brimob dari Polda Papua, yang dibantu oleh aparat Pengendali Masyarakat (Dalmas). Mereka turun dengan kekuatan penuh, kemudian memblokade jalan dengan mobil Polisi, truck, hingga motor-motor milik aparat kepolisian,” cerita Medlama.

Kemudian, Medlama bersama beberapa pimpinan aksi melakukan negosiasi dengan Kapolresta Jayapura agar mereka dapat diijinkan melaksanakan aksi long march, dengan jaminan keamanan akan dijaga oleh massa aksi.

“Kapolresta tidak mengijinkan demo, sehingga massa diangkut dengan dua truck menuju Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk menyampaikan sikap dan tuntutan di Kantor MRP. Mobil komando juga ikut dalam rombongan terebut,” cerita Medlama.

Dalam negosiasi, aparat juga meminta agar motor tidak mendahului mobil komando, namun berada di belakang. “Kami jalan sesuai dengan kesepakatan, walau kami rasa ini benar-benar suatu ancaman untuk kami,” kata Medlama.

Namun, dalam dalam perjalanan, sekitar pukul 10.30 Waktu Papua, beberapa massa aksi yang tidak ikut saat dilangsungkan negosiasi berjalan mendahului mobil komanda, ‘Saat itulah aparat bertindak membubarkan massa aksi, menabrak beberapa motor, termasuk menangkap empat aktivis Papua termasuk Ketua Umum KNPB,” ujar Medlama.

“Mereka yang ditangkap dipukul, ditampar, dan diangkut naik ke mobil, kami semua yang ada disitu melihat perlakukan aparat keamanan terhadap keempat rekan kami,” kata Wim.

Beberapa truck Dalmas dan Brimob yang berada dibelakang mobil komando kemudian melaju kedepan, menabrak  beberapa motor, dan beberapa massa aksi juga jatuh, dan saat itu aparat turun dan melakukan pemukulan, penangkapan, hingga melakukan tindakan brutal lainnya.

“Ada satu massa aksi yang tangan patah, yakni Markus Giban, mahasiswa Uncen, saat ini sedang dirawat di Rumah Sakit Abepura, dan beberapa lagi menderita luka parah karena dipukul,” ujar Medlama.
Hingga berita ini diturunkan, keempat aktivis itu masih ditahan oleh Kepolisian Daerah Papua.

“Tiga aktivis Papua, yakni, Marthen Manggaprou,  Yongky Ulimpa, dan Elly Kobak ditahan di Polda Papua. Sementara ketua KNPB sudah dibawah ke Lembaga Pemasyarkatan Abepura, sekitar pukul 18.30 Wakut Papua,” ujar Medlama.

ARNOLD BELAU - Suara Papua

 Photo Kronologis Penangkapan (knpb photo)















 

5/12/2013

Jayapura, Empat Aktivis Papua Kembali Ditangkap Polisi

Polisi Bersiaga expo waena jayapura/phot0 SP
PAPUAN, Jayapura — Siang tadi, Senin (13/5/2013), sekitar pukul 10.30 Wit, empat orang aktivis Papua kembali ditangkap aparat Kepolisian Resort Kota Jayapura, saat akan melakukan long march ke Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) di Kotaraja, Jayapura, Papua.

Keempat orang yang ditangkap adalah Yongky Ulimpa (23) mahasiswa, Ely Kobak (17) mahasiswa, Marten Manggaprouw (30) aktivis West Papua National Authority (WPNA), dan Victor F Yeimo (30), Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB). 

“Benar, aparat tadi menangkap empat orang di Perumnas III, dekat putaran taxi. Aparat turun dengan truck Polisi, menabrak dan merusak beberapa motor juga, kemudian menangkap mereka. Saat ini mereka sedang dibawah ke Polda Papua. Kami mohon advokasi,” ujar Wim Medlama, Jubir KNPB, ketika dihubungi suarapapua.com, siang.

Menurut Medlama, aparat sudah menghalau massa aksi saat sedang orasi di depan Gapura kampus Universitas Cendrawasih Papua, ketka massa long march sekitar 100 meter dari Gapura Uncen, aparat kemudian melakukan penghadangan, disertai pemukulan dan penangkapan secara brutal.

“Kami mau ke MRP untuk meminta pertanggung jawaban pemerintah dan aparat keamanan terkait korban tewas di seluruh tanah Papua, terutama yang terjadi di Aimas, Sorong, pada saat demo hari integrasi Papua tanggal 1 Mei 2013 lalu,” kata Medlama.

Wartawan suarapapua.com di Jayapura, Arnol Belau melaporkan, aparat dengan truck Polisi, beberapa mobil panser dan water canon, serta motor-motor Polisi terus menjaga seluruh sudut-sudut kota Jayapura untuk membatalkan rencana aksi yang dilakukan massa rakyat Papua.

Sampai berita ini diturunkan, situasi Jayapura dan sekitarnya masih tegang. Aparat berencana membatalkan aksi demo damai yang digelar massa rakyat Papua.

Kabid Humas Polda Papua, AKBP I Gede Sumerta, S.Ik, ketka dihubungi media ini mengaku belum mendapatkan informasi lengkap dari lapangan.

“Tunggu saya cek dulu yah,” tulis Kabid Humas singkat melalui sambungan telepon selulernya dari Jayapura, Papua.

OKTOVIANUS POGAU - Suara Papua

Victor Yeimo : KNPB Tetap Turun Jalan

Victor Yeimo ditangkap saat Pimpin Demo 2012
PAPUAN, Jayapura— Viktor Yeimo, Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) mengatakan Kapolda Papua tidak menerbitkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) aksi karena ia adalalah salah satu pelaku kejahatan di tanah Papua. 

“Kapolda tidak mau kejahatannya dibongkar sehingga melarang kami untuk melakukan aksi pada senin mendatang. Namun, kami akan tetap turun untuk aksi karena kami sudah beritahu ke MRP dan pihak MRP sudah setuju,” kata Yeimo, ketika dihubungi suarapapua.com melalui sambungan telepon selularnya, Sabtu (11/5/2013) di Jayapura, Papua.

Menurut Yeimo, pelarangan aksi demonstrasi damai yang disampaikan Kapolda Papua adalah sangat tidak wajar, sekaligus sebuah tindakan yang melawan UU yang berlaku, karena kebebasan ekspresi di muka umum dijamin oleh UU di negara Indonesia.

“Kapolda melarang ini adalah bagian dari pembungkaman ruang ekspresi yang terus dibungkam di tanah Papua ini. Pada prinsipnya kami akan tetap turun,” ujar Yeimo.

Rocky Wim Medlama, Jubir KNPB mengatakan, sikap Polda Papua sangat keliru karena membatasi rakyat berekspresi menyampaikan aspirasi di muka umum.

Pelarangan itu disampaikan Kapolda Papua, melalui Kabid Humas Kombes Polda Papua, I Gede Sumerta, S.Ik yang menyatakan untuk tidak menertbitkan surat izin aksi demo damai.

“Tugas pendemo hanya memberitahukan saja. Mau kawal atau tidak, rakyat Papu akan tetap turun jalan dan jalankan aksi,” tegas Medlama.

Sekedear info, rencana aksi yang akan dilakukan pada tanggal 13 mendatang akan dimediasi oleh KNPB, Gerakan rakyat demokratik Papua (Garda-P) dan West Papua Nasional Autorithy (WPNA) dengan sasaran aksi kantor MRP.

 ARNOLD BELAU - Suara Papua

5/10/2013

Kantor OPM di Oxford Tidak Bisa Ditutup

Marinus: Kecuali Benny Wenda CS Lakukan Tindakan Merugikan Negara Inggris

Photo ilustrasi Free West Papua
JAYAPURA - Sudah hampir seminggu belakangan ini, pendirian kantor Perwaklan OPM di Oxford, Inggris, masih terus menjadi perbincangan hangat, tidak hanya di tingkat nasional, namun juga di Papua.

Menyusul pernyataan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua, Stevanus Siep,SH, bahwa penderian Kantor Perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Kota Oxford-Inggris tidak memiliki legalitas hukum yang jelas, mendapat tanggapan serius dari Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik Universitas Cenderawasih, Marinus Yaung.

Dosen Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Uncen Jayapura ini mengatakan, Kantor Perwakilan OPM di Kota Oxford Inggris tidak bisa ditutup. Alasannya, pertama, Benny Wenda dan kawan-kawannya sebelum mendirikan Kantor Perwakilan OPM tersebut, mereka telah membentuk dan mendirikan satu badan hukum yang bernama Free West Papua.

Ditegaskannya, di Inggris suatu pendirian sesuatu yang berbadan hukum, pengurusan surat ijinnya rumit dan memakan waktu yang lama. Kalau badan hukumnnya adalah lembaga yang memperjuangkan kepentingan warga di Inggris sendiri, surat ijinnya cukup dikeluarkan oleh pemerintah lokal dengan mendapatkan persetujuan parlamen lokal, dan waktu pengurusannya paling lama tiga bulan.

Tetapi kalau badan hukumnnya dengan tujuan didirikannya untuk memperjuangkan kepentingan warga Negara asing di luar Inggris seperti Badan Hukum Free West Papua, itu prosesnya harus mendapat surat ijin pemerintah lokal dan parlamen lokal, kemudian disampaikan ke pemerintah Inggris dan parlamen Inggris untuk mendapatkan persetujuan waktu yang dibutuhkan dalam proses pendirian badan hukum seperti Free West Papua ini paling lama dua tahun.

“Jadi kalau sampai KBRI Indonesia di London tidak mengetahui proses pendirian Kantor Perwakilan ini, berarti itu sangat keterlaluan dan kegagalan besar dalam diplomasi Indonesia,” ungkapnya kepada Bintang Papua, di kediamannya, Jumat, (9/5).

Bahkan disini, jika ada yang bilang dasar legalitas hukum Kantor Perwakilan OPM ini tidak jelas, itu bahasa yang keliru dan tidak memahami sistem politik dan pemerintahan di Inggris. Dan jika dikatakan tidak mempunyai dampak yang kuat terhadap perjuangan Papua menuju kemerdekaan, dirinya perlu mengingatkan bahwa politik Internasional mengenal satu gaya politik yang paling ditakuti yakni politik domina atau domino effect. Yakni kalau kartu yang satu sudah jatuh, misalnya kartu AS atau Joker, maka kartu-kartu domino lain akan jatuh juga.

Politik semacam ini berakar dan bermula dari Inggris, kemudian dikembangkan oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Kissinger dalam strategi perang dingin dengan Uni Siviet-Inggris. Dengan demikian, sesungguhnya kartu AS atau Joker dalam perjuangan Papua Merdeka.

Alasan lainnya adalah Benny Wenda dan kawan-kawannya yang mendirikan Kantor Perwakilan OPM adalah warga Negara Inggris, bukan penduduk ilegal. Karena status warga Negara seperti itu, maka tentunya Pemerintah Inggris tidak bisa mencampuri aktivitas ekonomi, politik, sosial dan aktivitas keseharuan warga negaranya.

Pemerintah Inggris hanya bisa mencampuri aktivitas pribadi warga negaranya apabila diminta oleh bersangkutan atau yang bersangkutan melakukan extra ordinary crime yang merugikan Negara secara luas. Jadi selama Benny Wenda dan kawan-kawannya beraktivitas dengan Kantor OPM, pemerintah Inggris tidak bisa mencampuri aktivitas mereka karena pemerintah akan dianggap melanggar hukum yang dibuatnya sendiri.

“Jarang di Inggris kita melihat pemerintahnya melanggar hukumnya sendiri. Tapi kalau di Negara kita, itu hal yang lumrah karena di Indonesia, hukum dibuat untuk dilanggar sendiri oleh pembuatnya. Jadi aktivitas OPM, kantornya akan tetap berjalan di Inggris. Bisa tutup apabila teman-teman OPM di Inggris melakukan tindakan kekerasan, pemboman, sabotase dan lainnya yang merugikan Negara,” tukasnya.

“Selama seperti itu, maka kantor OPM tetap beroperasi, dan Kota Oxford perlu pembaca ketahui bahwa selain Kantor OPM, juga Kantor Perwakilan Perjuangan orang-orang Skotlandia dan Kantor Perjuangan orang-orang Irlandia Utara yang ingin merdeka dari Inggris,” sambungnya.

Berikutnya, mereka yang mensponsori atau berada di belakang pendirian Kantor Perwakilan OPM di Inggris adalah LSM-LSM Internasional yang tersebar di beberapa Negara Eropa, Amerika, Australia dan individu-individu yang berpengaruh di dunia seperti Pdt. Desmond Tutu dari Afrika Selatan.

Kekuatan Sponsorship di balik Benny Wenda inilah yang menurut hematnya bahwa mendatangkan beban moral terhadap pemerintah Inggris agar ikut juga merasakan dan memahami suasana kebatinan orang-orang di Tanah Papua yang masih hidup dibawah penindasan dan penderitaan yang berkepanjangan seperti Afrika Selatan di masa penerapan politik Apartheid.

Karena beban psikologis inilah yang kemungkinan pemerintah Inggris tidak bertindak mencegah pembukaan Kantor Perwakilan OPM dan tidak mungkin juga untuk menutupi operasional Kantor OPM dimaksud.(nls/don/l03)

Sumber: Bintang Papua