"Stigma separatis seolah menjadi pembenaran aparat untuk melakukan
tindakan sewenang-wenang terhadap aktivis pro kemerdekaan Papua."
Foto:Demo KNPB di Manokwari (VHRmedia/ Jerry Omona) |
VHRmedia, Jayapura – Aliansi Demokrasi untuk Papua menuntut
aparat keamanan tidak menggunakan cara kekerasan untuk menangani konflik di Papua.
Menurut Direktur
Aliansi Demokrasi untuk Papua, Anum Siregar, penanganan konflik saat ini
cenderung represif dan menimbulkan trauma warga. Tidak tertutup kemungkinan, kekerasan
yang dilakukan aparat justru memicu serangan balik yang lebih besar.
“Kekerasan bukan
saja terjadi di tempat terpencil tapi juga di tengah kota. Aksi itu menyebabkan kematian,
menggunakan cara-cara yang menimbulkan ketakutan, dendam, dan trauma yang luar
biasa,” kata Anum Siregar di Jayapura, Rabu (2/1)
Aliansi Demokrasi
untuk Papua mencatat, terjadi peningkatan jumlah dan skala kekerasan di Papua sejak
Juni hingga Desember 2012. Kasus tersebut antara lain, penyerangan pos
kepolisian di Pireme, Kabupaten Lanny Jaya, pembakaran rumah adat di Wamena, dan
penembakan 4 nelayan di Raja Ampat pekan lalu.
Cara penanganan
yang dilakukan polisi juga terkesan represif. Aparat keamanan sering melekatkan
stigma residivis, separatis, atau anggota Komite Nasional Papua Barat untuk aktivis
pro kemerdekaan Papua.
“Seolah dengan
stigma tersebut perlakuan sewenang-wenang dapat dibenarkan. Seperti pembunuhan Timo
Ap di Manokwari dan kasus kematian tahanan politik Hubert Mabel di Wamena,” ujar
Anum Siregar.
Kemampuan polisi
untuk mengungkap kasus kekerasan di Papua juga dipertanyakan. Polisi hingga sekarang
belum mampu mengungkap pelaku dan motif sejumlah aksi kekerasan di Papua.
Padahal kata Anum
Siregar, kegagalan aparat mengungkapkan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM akan
menghilangkan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang
tertib hukum.
Penembakan Nelayan Raja Ampat
Terkait penembakan
4 nelayan di Kabupaten Raja Ampat yang diduga dilakukan personel TNI, Direktur
Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum
(LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy menilai, kasus tersebut sebagai pelanggaran
berat HAM.
Yan Christian
Warinussy meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyelidiki kasus tersebut.
itu. “Ini kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujarnya.
Panglima Kodam XVII
Cenderawasih, Mayjen TNI Christian Zebua mengatakan, pihaknya akan menjatuhkan
sanksi jika terbukti pelaku penembakan adalah anggota TNI.
Pada 20 Desember
2012, empat nelayan asal Pulau Buaya tewas ditembak di perairan Pulau Papan,
Distrik Misoll, Kabupaten Raja Ampat. Korban tewas adalah La Huni (70 tahun),
La Jaka (30 tahun), La Idi (22 tahun), dan La Diri (30 tahun).
Sedangkan 2 korban
selamat La Anu (20 tahun) dan La Udin (30 tahun) masih dirawat di RSUD Kota
Sorong. Polisi dan TNI masih menyelidiki pelaku dan motif penembakan ini. (E1)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Waktu Anda Untuk Berkomentar atas Berita ini