1/02/2013

Warga Papua Trauma Penanganan Konflik

"Stigma separatis seolah menjadi pembenaran aparat untuk melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap aktivis pro kemerdekaan Papua."

Foto:Demo KNPB di Manokwari (VHRmedia/ Jerry Omona)
VHRmedia, Jayapura – Aliansi Demokrasi untuk Papua menuntut aparat keamanan tidak menggunakan cara kekerasan untuk menangani konflik di Papua.

Menurut Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua, Anum Siregar, penanganan konflik saat ini cenderung represif dan menimbulkan trauma warga. Tidak tertutup kemungkinan, kekerasan yang dilakukan aparat justru memicu serangan balik yang lebih besar. 

“Kekerasan bukan saja terjadi di tempat terpencil tapi juga di tengah kota. Aksi itu menyebabkan kematian, menggunakan cara-cara yang menimbulkan ketakutan, dendam, dan trauma yang luar biasa,” kata Anum Siregar di Jayapura, Rabu (2/1)

Aliansi Demokrasi untuk Papua mencatat, terjadi peningkatan jumlah dan skala kekerasan di Papua sejak Juni hingga Desember 2012. Kasus tersebut antara lain, penyerangan pos kepolisian di Pireme, Kabupaten Lanny Jaya, pembakaran rumah adat di Wamena, dan penembakan 4 nelayan di Raja Ampat pekan lalu.

Cara penanganan yang dilakukan polisi juga terkesan represif. Aparat keamanan sering melekatkan stigma residivis, separatis, atau anggota Komite Nasional Papua Barat untuk aktivis pro kemerdekaan Papua. 

“Seolah dengan stigma tersebut perlakuan sewenang-wenang dapat dibenarkan. Seperti pembunuhan Timo Ap di Manokwari dan kasus kematian tahanan politik Hubert Mabel di Wamena,” ujar Anum Siregar.

Kemampuan polisi untuk mengungkap kasus kekerasan di Papua juga dipertanyakan. Polisi hingga sekarang belum mampu mengungkap pelaku dan motif sejumlah aksi kekerasan di Papua. 

Padahal kata Anum Siregar, kegagalan aparat mengungkapkan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM akan menghilangkan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang tertib hukum.

Penembakan Nelayan Raja Ampat

Terkait penembakan 4 nelayan di Kabupaten Raja Ampat yang diduga dilakukan personel TNI, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy menilai, kasus tersebut sebagai pelanggaran berat HAM.

Yan Christian Warinussy meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyelidiki kasus tersebut. itu. “Ini kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujarnya.

Panglima Kodam XVII Cenderawasih, Mayjen TNI Christian Zebua mengatakan, pihaknya akan menjatuhkan sanksi jika terbukti pelaku penembakan adalah anggota TNI. 

Pada 20 Desember 2012, empat nelayan asal Pulau Buaya tewas ditembak di perairan Pulau Papan, Distrik Misoll, Kabupaten Raja Ampat. Korban tewas adalah La Huni (70 tahun), La Jaka (30 tahun), La Idi (22 tahun), dan La Diri (30 tahun). 

Sedangkan 2 korban selamat La Anu (20 tahun) dan La Udin (30 tahun) masih dirawat di RSUD Kota Sorong. Polisi dan TNI masih menyelidiki pelaku dan motif penembakan ini. (E1)

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Waktu Anda Untuk Berkomentar atas Berita ini