JAKARTA: The Australia West Papua Association menilai kekerasan dan
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terus berlangsung selama 50 tahun di
Papua sejak diambil alih pemerintah Indonesia dari United Nations
Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 1963.
AWPA, organisasi pemantau HAM yang berbasis di Sydney, Australia,
mengatakan pelanggaran HAM, operasi militer dan eksploitasi sumber daya
alam di Papua masih berlangsung hingga kini. Organisasi itu menuturkan
manfaat sumber daya alam di sana sedikit sekali manfaatnya bagi orang
Papua.
AWPA menyatakan masalah di Papua Barat tidak akan selesai dengan
mengirimkan lebih banyak pasukan atau operasi militer. "Pada 2013, sudah
50 tahun pemerintah Indonesia mengambil alih pemerintahan Papua Barat
dari UNTEA. Orang-orang Papua hingga kini masih berjuang untuk keadilan
dan penentuan nasib mereka sendiri," tulis AWPA dalam laporan HAM 2012
pada situsnya yang dikutip Jumat (04/01/2013).
Organisasi itu mendesak agar pemerintah Indonesia menerima tawaran
dialog dari perwakilan orang-orang Papua untuk menuntaskan masalah yang
dihadapi selama ini. Selain itu, AWPA menyatakan, pihaknya mendesak agar
seluruh pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pasukan keamanan diselidiki
dan dituntut.
Pada Oktober 1962, UNTEA didirikan sebagai administrator dan juga
membawa misi perdamaian melalui pengamatan militer. Hal itu dilakukan
karena Papua, yang saat itu bernama Western New Guinea, menjadi objek
sengketa politik antara Belanda dan Indonesia. Berdasarkan Wikipedia,
UNTEA juga memediasi keduanya dengan perjanjian New York yang akhirnya
menetapkan penyerahan wilayah itu ke Indonesia pada Mei 1963. Western
New Guniea akhirnya berubah menjadi Irian Barat dan kemudian Irian Jaya.
"Tak ada perbaikan dalam situasi HAM di Papua pada 2012. Bahkan
situasinya terus memburuk dengan ditargetkannya para pembela HAM dan
demonstran damai oleh pasukan keamanan Indonesia," demikian AWPA.
AWPA mencatat sejumlah kekerasan yang terjadi di Papua di antaranya
adalah penembakan dan bentrok antara kelompok bersenjata. Namun, reaksi
pasukan keamanan terhadap hal itu adalah melakukan operasi militer yang
membuat orang-orang lokal menjadi traumatis. Sejumlah aktivis Papua
juga diadili karena dianggap makar namun polisi yang menyerang
demonstrasi damai tak pernah dihukum, melainkan hanya dikasih
peringatan.
AWPA juga mencatat sejumlah penembakan yang terjadi di Papua
masing-masing terjadi pada 9 Januari, 2 Februari, 7 Februari, 9
Februari, 8 Maret, 26 Maret, 8 April, 14 April, 17 Mei, 29 Mei, 5 Juni, 7
Juli, 29 Agustus, 10 September, 14 September dan 28 Desember. Di sisi
lain, AWPA juga mendesak pemerintah Australia untuk meningkatkan
perhatiannya terhadap pelanggaran HAM di Papua. Tak hanya itu,
organisasi itu juga meminta agar Australia memikirkan ulang kebijakannya
terjait dengan militer Indonesia.
"Papua Barat adalah tetangga terdekat kami. Orang-orang di sana
menghadapi tantangan besar, termasuk pelanggaran HAM yang tengah
berlangsung, eksploitasi sumber daya alam, minoritas di tanah mereka
sendiri hingga wabah HIV/AIDS," kata AWPA.
Pada Juni lalu, Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis
Papua mendesak agar Perserikatan Bangsa-Bangsa segera mengirimkan
pelapor khusus ke Papua untuk menyelidiki kekerasan dan pelanggaran HAM
yang kian mencuat serta menimbulkan korban jiwa. Badan itu menyatakan
para penembak lebih berkuasa dan terus mendominasi suasana di Papua
dengan menghilangkan nyawa manusia. Hasil pemantauan persekutuan
gereja-gereja itu memaparkan telah terjadinya kejahatan kemanusiaan yang
menyebabkan korban jiwa maupun korban luka periode Mei-Juni 2012. (arh)
Source: http://www.bisnis.com/news
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Waktu Anda Untuk Berkomentar atas Berita ini