1/03/2013

AWPA: 50 tahun Pelanggaran HAM berlangsung, tak ada perbaikan di Papua

JAKARTA: The Australia West Papua Association menilai kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terus berlangsung selama 50 tahun di Papua sejak diambil alih pemerintah Indonesia dari United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 1963.
AWPA, organisasi pemantau HAM yang berbasis di Sydney, Australia, mengatakan pelanggaran HAM, operasi militer dan eksploitasi sumber daya alam di Papua masih berlangsung hingga kini. Organisasi itu menuturkan manfaat sumber daya alam di sana sedikit sekali manfaatnya bagi orang Papua.
AWPA menyatakan masalah di Papua Barat tidak akan selesai dengan mengirimkan lebih banyak pasukan atau operasi militer. "Pada 2013, sudah 50 tahun pemerintah Indonesia mengambil alih pemerintahan Papua Barat dari UNTEA. Orang-orang Papua hingga kini masih berjuang untuk keadilan dan penentuan nasib mereka sendiri," tulis AWPA dalam laporan HAM 2012 pada situsnya yang dikutip Jumat (04/01/2013).
Organisasi itu mendesak agar pemerintah Indonesia menerima tawaran dialog dari perwakilan orang-orang Papua untuk menuntaskan masalah yang dihadapi selama ini. Selain itu, AWPA menyatakan, pihaknya mendesak agar seluruh pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pasukan keamanan diselidiki dan dituntut.
Pada Oktober 1962, UNTEA didirikan sebagai administrator dan juga membawa misi perdamaian melalui pengamatan militer. Hal itu dilakukan karena Papua, yang saat itu bernama Western New Guinea, menjadi objek sengketa politik antara Belanda dan Indonesia. Berdasarkan Wikipedia, UNTEA juga memediasi keduanya dengan perjanjian New York yang akhirnya menetapkan penyerahan wilayah itu ke Indonesia pada Mei 1963. Western New Guniea akhirnya berubah menjadi Irian Barat dan kemudian Irian Jaya.
"Tak ada perbaikan dalam situasi HAM di Papua pada 2012. Bahkan situasinya terus memburuk dengan ditargetkannya para pembela HAM dan demonstran damai oleh pasukan keamanan Indonesia," demikian AWPA.
AWPA mencatat sejumlah kekerasan yang terjadi di Papua di antaranya adalah penembakan dan bentrok antara kelompok bersenjata.  Namun, reaksi pasukan keamanan terhadap hal itu adalah melakukan operasi militer yang membuat orang-orang lokal menjadi traumatis. Sejumlah aktivis Papua juga diadili karena dianggap makar namun polisi yang menyerang demonstrasi damai tak pernah dihukum, melainkan hanya dikasih peringatan.
AWPA juga mencatat sejumlah penembakan yang terjadi di Papua masing-masing terjadi pada 9 Januari, 2 Februari, 7 Februari, 9 Februari, 8 Maret, 26 Maret, 8 April, 14 April, 17 Mei, 29 Mei, 5 Juni, 7 Juli, 29 Agustus, 10 September, 14 September dan 28 Desember.  Di sisi lain, AWPA juga mendesak pemerintah Australia untuk meningkatkan perhatiannya terhadap pelanggaran HAM di Papua. Tak hanya itu, organisasi itu juga meminta agar Australia memikirkan ulang kebijakannya terjait dengan militer Indonesia.
"Papua Barat adalah tetangga terdekat kami. Orang-orang di sana menghadapi tantangan besar, termasuk pelanggaran HAM yang tengah berlangsung, eksploitasi sumber daya alam, minoritas di tanah mereka sendiri hingga wabah HIV/AIDS," kata AWPA.
Pada Juni lalu, Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua mendesak agar Perserikatan Bangsa-Bangsa  segera mengirimkan pelapor khusus ke Papua untuk menyelidiki kekerasan dan pelanggaran HAM yang kian mencuat serta menimbulkan korban jiwa. Badan itu menyatakan para penembak lebih berkuasa dan terus mendominasi suasana di Papua dengan menghilangkan nyawa manusia. Hasil pemantauan persekutuan gereja-gereja itu memaparkan telah terjadinya kejahatan kemanusiaan yang menyebabkan korban jiwa maupun korban luka periode Mei-Juni 2012. (arh)

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Waktu Anda Untuk Berkomentar atas Berita ini