This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tampilkan postingan dengan label HAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HAM. Tampilkan semua postingan

8/26/2013

Aktivis KNPB, Denny Hisage cs Bebas dari Penjara

 Jayapura, KNPBnews – Enam aktivis KNPB yang ditahan karena dugaan menyimpan amunisi, hari ini, Selasa (27/8) dibebaskan dari Penjara Indonesia, Abepura. Mereka menjalani persidangan selama 8 bulan tanpa saksi dan bukti pidana yang kuat.

Keenam aktivis KNPB yang dibebaskan adalah, Denny Imanuel Hisage (26), Anike Kogoya (23), Jhon Pekey (27), Rendy Wetapo (27), Jimmy Wea (26) dan Oliken Giay (27). Menurut dakwaan, mereka ditangkap karena menyimpan dan membeli amunisi, sehingga mereka diancam dengan Pasal 1 ayat 1 UU Darurat Nomor 12 tahun 1951 Pasal 56 ke I  KUHP.

Kepada situs KNPB, Denny Hisage menyatakan kekesalan terhadap Polisi yang asal main tangkap dan mengurung mereka tanpa bukti pidana yang jelas. “Polda Papua asal tangkap aktivis KNPB tanpa bukti jelas. Kami jalani penyiksaan yang sangat berat saat ditangkap, dan selama diinterogasi di Polda Papua”, ucap Denny siang ini saat keluar dari Penjara.
 
Sementara itu, puluhan aktivis KNPB masih mendekam di penjara-penjara kolonial di seluruh wilayah Papua, termasuk Ketua Umum KNPB, Victor Yeimo. Mereka dipenjara dengan tuduhan yang tidak dapat dibuktikan di Pengadilan

Terima Anda Sudah Kunjungi Blog Alternatif KNPB, Jika Tidak Keberatan Apa Tanggapan Atau komentar Anda Tentang Berita ini?

5/23/2013

Kapolda Papua Diminta Mundur


JAKARTA - National Papua Solidarity (Napas) mengecam keras sejumlah tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terus terjadi di Papua. 

Koordinator Napas, Zely Ariane, mengatakan sejak 30 April hingga 22 Mei 2013 ini, telah terhadi serangkaian kekerasan yang masif berupa penembakan, penghilangan paksa, pembunuhan, pelarangan dan pembubaran paksa massa aksi hingga penahanan yang disertai penuiksaan di Biak, Sorong, Timika dan Puncak Jaya.

Oleh karenanya, Zely melaporkan peristiwa tersebut ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). 

"Ini Kelanjutan dari minggu lalu kita ke Ombudsman. Kita ingin mengadukan Kapolda Papua, dan Kapolres Jayapura terhadap pelarangan aksi pada 1 mei dan 13 mei, termasuk pelarangan kegitan hari ini juga, 23 Mei," ungkap Zely kepada wartawan, di Kantor Kompolnas, Jakarta Selatan, Kamis (23/5/2013).

Zely menambahkan, penanganan yang represif dari aksi-aksi di beberapa tempat di Jayapura dan penangkapan-penangkapan dinilai tidak sesuai prosedur, serta ada 28 orang yang masih ada di tahanan atas tuduhan yang dianggapnya mengekang kebebasan berekspresi, juga akan dilaporkan kepada Kompolnas.

"Kami ingin mengadukan ini ke Kompolnas, agar ada tindakan terhadap cara penanganan dan prosedur yang menjadi wewenang Kompolnas," tegasnya. 

Meskipun Kompolnas tidak berwenang untuk mecopot Kapolda Papua Irjen Pol Tito Karnavian, namun, setidaknya pihaknya meminta pertanggungjawaban Tito terhadap warga sipil yang ditangkap, karena dari kronologis yang diketahui, mereka yang ditangkap ternyata tidak melanggar hukum.

"Kalau kami tegas, tindakan Kapolda Papua dan Kapolres Jayapura, sehingga seharusnya memang harus diganti, karena dibutuhkan seseorang yang memiliki pendekatan berbeda untuk menyelesaikan Papua," paparnya.

Dia menganggap kepemimpinan Tito selama ini di bumi cendrawasih tidak mencerminkan pendekatan yang soft untuk menyelesaikan konflik di Papua.

"Memang kalau bentuk arogansi tidak terlalu kongkrit, tapi sebetulnya tidak ada kemauan untuk menyelesaikan konflik Papua dengan pendekatan yang lebih pro perdamaian. Kalau terus represif, maka ini bisa bertambah buruk," tutupnya

4/18/2013

Hanya Dialog Setiga yang Bisa Redam Konflik Papua

Jayapura Ketua Solidaritas Hukum, HAM dan Demokrasi Rakyat Papua (SHDRP), Usama Yogoby mengatakan, isu yang sementara ramai diperbincangkan yaitu dialog Jakarta – Papua, harus dimediasi oleh pihak yang netral.
 
“Kalau mau dialog ya harus ada pihak ketiga. Yang punya masalah, keduanya duduk bersama," ujar Usama di Abepura, Kota Jayapura, Kamis (18/4).

Menurut dia, dialog yang dimaksud, yaitu dialog antara pemerintah pusat dengan masyarakat asli Papua yang berseberangan dengan pemerintah (pro Papua merdeka). “Dialog denganpemerintah Indonesia, siapa wasitnya? Itu baru bisa berjalan normal,”ungkapnya.

Sebelumnya, Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP), Pastor Neles Tebay, pada Senin (15/4) lalu mengatakan, di  Papua masih ditemukan indicator yang terjadi selama ini yaitu, masih adanya pengibaran Bendera Bintang Kejora, adanya tuntutan referendum, adanya tuntuan Papua Merdeka, stigma separatis terhadap orang Papua dan berbagai kekerasan.

Untuk meredamkan indicator di atas, pemerintah telah menggunakan metode pendekatan hukum, kekerasan, dan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus). Namun ia menilai, ketiga pendekatan di atas belum mampu menuntaskan konflik yang terjadi di Papua.sehingga pada kesempatan itu dia menyarankan adanya dialog damai yang melibatkan pihak lain.

4/03/2013

Indonesia keberatan terhadap HAM Sebagai Syarat Perjanjian Perdagangan senjata di PBB

Merlu RI Marty Natalegawa
Jakarta,-- Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan pada hari Rabu bahwa keputusan Indonesia untuk abstain untuk persetujuan Majelis Umum PBB mengenai perjanjian perdagangan senjata global, Indonesia keberatan untuk rancangan perjanjian, katanya yang dibutuhkan eksportir untuk menilai catatan hak asasi manusia dari pembeli potensial mereka.

"Posisi Indonesia dalam masalah ini jelas. Kami mendukung gagasan tentang perlunya sebuah perjanjian untuk mengelola atau mengatur perdagangan internasional senjata, "kata Marty di Istana Negara.

"Tapi masalahnya adalah, perjanjian draft yang dibawa ke Majelis Umum PBB untuk pemungutan suara kemarin berisi konsep persyaratan di mana senjata eksportir harus menilai hak kondisi manusia di negara-negara pembeli," tambahnya.

Namun, Marty membantah bahwa Indonesia khawatir tentang persepsi internasional terhadap catatan hak asasi manusia di negara itu termasuk kami (RI) katanya, dan bahwa hal ini bisa menghambat pengadaan senjata dengan mitra dagangnya.

"Perhatian kami adalah bahwa rancangan perjanjian akan memungkinkan negara-negara eksportir secara sepihak menilai apakah suatu negara menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan mereka akan menggunakannya untuk menentukan kelayakan negara untuk membeli senjata. Hal ini sangat sepihak, "kata Merlu RI.

Menurut Marty, wewenang untuk membuat penilaian semacam itu hanya akan menjadi milik "kelompok netral yang berisi orang-orang terkemuka dengan keahlian yang relevan untuk penilaian".

Marty mengatakan Indonesia berharap bahwa perjanjian bisa mengakomodasi pembentukan sebuah kelompok netral.

Resolusi, yang mengatur perdagangan internasional senjata konvensional, menerima 154 suara setuju. Tiga negara anggota - Iran, Korea Utara, dan Suriah - memilih menentang keputusan tersebut. Indonesia bergabung dengan 22 negara lain yang abstain.

3/26/2013

Kekerasan di Paniai Berlanjut, SKP Minta Perhatian Publik

Kasus kekerasan aparat di paniai (photo jb)
Jayapura OneNews,-- Ketegagan antara Aparat Keamanan Indonesia dan Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM)  di Paniai Pasca pembubaran Markas TPN-OPM Pimpinan Jhon Yogi, Cs di Eduda pada Oktober 2012 lalu dinilai masih terus berlanjut. Situasi ini belum menjadi perhatian publik lokal, nasional dan internasional. 
 
Demikian dikatakan Aktivis Sekretariat Perdamaian dan Keadilan (SKP) Keuskupan Timika, Provinsi Papua, Marko Okto Pekei melalui Pers Release yang dikirimkan kepada majalahselangkah.com, Senin, (25/3/13) 

3/19/2013

U.S. Try referendum for West Papua!

Mantan Merlu AS Hilary Clinton
Jakarta worry: "I would suggest that Indonesian Foreign Minister sent a letter of protest to the U.S. government for intervention by the Indonesian nation's sovereignty," he explained.

Onepapua,-- Government of Indonesia through the Ministry of Foreign Affairs Marty Natalagewa have protested the statement of U.S. Secretary of State Hillary Clinton are worried about the human rights situation in Papua.
 
"Hillary's statement was the U.S. intervention in Indonesia," said intelligence analysts as reported by AC Manullang indonesiatoday.in, Monday, November 14, 2011.
 
According to AC Manullang, the U.S. Government has been implementing a strategy to release Papuan Human Rights of the Republic of Indonesia (Republic of Indonesia). "Human rights will be the reason the United States filed a referendum for the people of Papua," he explained.
 
Manullang said, due to the statement of Hillary, European countries as well as support groups in various countries of Papua will urge Indonesia to conduct a referendum for Papua.
 
"In the international world are of opinion, the need for a referendum for Papua because many human rights violations," said Manullang.
 
Fears of Indonesia

In response to a statement by U.S. Secretary, said Manullang, the Government of Indonesia must be firm with the United States.
 
"I would suggest that Indonesian Foreign Minister sent a letter of protest to the U.S. government having to intervene Nation sovereignty of Indonesia," he explained.
 
He continued, assertiveness Indonesia will be a boost for the government of SBY recently had popular support continues to decline.
 
"If the government of SBY act firmly against the United States, the people of Indonesia will support it," added Manullang.
 
Earlier, the United States Government, through the Secretary of State, Hillary Clinton responded to the turmoil that continues in Papua. Hillary Clinton, on Friday, 11 November 2011, expressed concern about the state of human rights in Papua.  
Former U.S. first lady's call for a dialogue to meet the aspirations of the people in the conflict areas.
 

1/03/2013

AWPA: 50 tahun Pelanggaran HAM berlangsung, tak ada perbaikan di Papua

JAKARTA: The Australia West Papua Association menilai kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terus berlangsung selama 50 tahun di Papua sejak diambil alih pemerintah Indonesia dari United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 1963.
AWPA, organisasi pemantau HAM yang berbasis di Sydney, Australia, mengatakan pelanggaran HAM, operasi militer dan eksploitasi sumber daya alam di Papua masih berlangsung hingga kini. Organisasi itu menuturkan manfaat sumber daya alam di sana sedikit sekali manfaatnya bagi orang Papua.
AWPA menyatakan masalah di Papua Barat tidak akan selesai dengan mengirimkan lebih banyak pasukan atau operasi militer. "Pada 2013, sudah 50 tahun pemerintah Indonesia mengambil alih pemerintahan Papua Barat dari UNTEA. Orang-orang Papua hingga kini masih berjuang untuk keadilan dan penentuan nasib mereka sendiri," tulis AWPA dalam laporan HAM 2012 pada situsnya yang dikutip Jumat (04/01/2013).
Organisasi itu mendesak agar pemerintah Indonesia menerima tawaran dialog dari perwakilan orang-orang Papua untuk menuntaskan masalah yang dihadapi selama ini. Selain itu, AWPA menyatakan, pihaknya mendesak agar seluruh pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pasukan keamanan diselidiki dan dituntut.
Pada Oktober 1962, UNTEA didirikan sebagai administrator dan juga membawa misi perdamaian melalui pengamatan militer. Hal itu dilakukan karena Papua, yang saat itu bernama Western New Guinea, menjadi objek sengketa politik antara Belanda dan Indonesia. Berdasarkan Wikipedia, UNTEA juga memediasi keduanya dengan perjanjian New York yang akhirnya menetapkan penyerahan wilayah itu ke Indonesia pada Mei 1963. Western New Guniea akhirnya berubah menjadi Irian Barat dan kemudian Irian Jaya.
"Tak ada perbaikan dalam situasi HAM di Papua pada 2012. Bahkan situasinya terus memburuk dengan ditargetkannya para pembela HAM dan demonstran damai oleh pasukan keamanan Indonesia," demikian AWPA.
AWPA mencatat sejumlah kekerasan yang terjadi di Papua di antaranya adalah penembakan dan bentrok antara kelompok bersenjata.  Namun, reaksi pasukan keamanan terhadap hal itu adalah melakukan operasi militer yang membuat orang-orang lokal menjadi traumatis. Sejumlah aktivis Papua juga diadili karena dianggap makar namun polisi yang menyerang demonstrasi damai tak pernah dihukum, melainkan hanya dikasih peringatan.
AWPA juga mencatat sejumlah penembakan yang terjadi di Papua masing-masing terjadi pada 9 Januari, 2 Februari, 7 Februari, 9 Februari, 8 Maret, 26 Maret, 8 April, 14 April, 17 Mei, 29 Mei, 5 Juni, 7 Juli, 29 Agustus, 10 September, 14 September dan 28 Desember.  Di sisi lain, AWPA juga mendesak pemerintah Australia untuk meningkatkan perhatiannya terhadap pelanggaran HAM di Papua. Tak hanya itu, organisasi itu juga meminta agar Australia memikirkan ulang kebijakannya terjait dengan militer Indonesia.
"Papua Barat adalah tetangga terdekat kami. Orang-orang di sana menghadapi tantangan besar, termasuk pelanggaran HAM yang tengah berlangsung, eksploitasi sumber daya alam, minoritas di tanah mereka sendiri hingga wabah HIV/AIDS," kata AWPA.
Pada Juni lalu, Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua mendesak agar Perserikatan Bangsa-Bangsa  segera mengirimkan pelapor khusus ke Papua untuk menyelidiki kekerasan dan pelanggaran HAM yang kian mencuat serta menimbulkan korban jiwa. Badan itu menyatakan para penembak lebih berkuasa dan terus mendominasi suasana di Papua dengan menghilangkan nyawa manusia. Hasil pemantauan persekutuan gereja-gereja itu memaparkan telah terjadinya kejahatan kemanusiaan yang menyebabkan korban jiwa maupun korban luka periode Mei-Juni 2012. (arh)

1/02/2013

Warga Papua Trauma Penanganan Konflik

"Stigma separatis seolah menjadi pembenaran aparat untuk melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap aktivis pro kemerdekaan Papua."

Foto:Demo KNPB di Manokwari (VHRmedia/ Jerry Omona)
VHRmedia, Jayapura – Aliansi Demokrasi untuk Papua menuntut aparat keamanan tidak menggunakan cara kekerasan untuk menangani konflik di Papua.

Menurut Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua, Anum Siregar, penanganan konflik saat ini cenderung represif dan menimbulkan trauma warga. Tidak tertutup kemungkinan, kekerasan yang dilakukan aparat justru memicu serangan balik yang lebih besar. 

“Kekerasan bukan saja terjadi di tempat terpencil tapi juga di tengah kota. Aksi itu menyebabkan kematian, menggunakan cara-cara yang menimbulkan ketakutan, dendam, dan trauma yang luar biasa,” kata Anum Siregar di Jayapura, Rabu (2/1)

Aliansi Demokrasi untuk Papua mencatat, terjadi peningkatan jumlah dan skala kekerasan di Papua sejak Juni hingga Desember 2012. Kasus tersebut antara lain, penyerangan pos kepolisian di Pireme, Kabupaten Lanny Jaya, pembakaran rumah adat di Wamena, dan penembakan 4 nelayan di Raja Ampat pekan lalu.

Cara penanganan yang dilakukan polisi juga terkesan represif. Aparat keamanan sering melekatkan stigma residivis, separatis, atau anggota Komite Nasional Papua Barat untuk aktivis pro kemerdekaan Papua. 

“Seolah dengan stigma tersebut perlakuan sewenang-wenang dapat dibenarkan. Seperti pembunuhan Timo Ap di Manokwari dan kasus kematian tahanan politik Hubert Mabel di Wamena,” ujar Anum Siregar.

Kemampuan polisi untuk mengungkap kasus kekerasan di Papua juga dipertanyakan. Polisi hingga sekarang belum mampu mengungkap pelaku dan motif sejumlah aksi kekerasan di Papua. 

Padahal kata Anum Siregar, kegagalan aparat mengungkapkan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM akan menghilangkan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang tertib hukum.

Penembakan Nelayan Raja Ampat

Terkait penembakan 4 nelayan di Kabupaten Raja Ampat yang diduga dilakukan personel TNI, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy menilai, kasus tersebut sebagai pelanggaran berat HAM.

Yan Christian Warinussy meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyelidiki kasus tersebut. itu. “Ini kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujarnya.

Panglima Kodam XVII Cenderawasih, Mayjen TNI Christian Zebua mengatakan, pihaknya akan menjatuhkan sanksi jika terbukti pelaku penembakan adalah anggota TNI. 

Pada 20 Desember 2012, empat nelayan asal Pulau Buaya tewas ditembak di perairan Pulau Papan, Distrik Misoll, Kabupaten Raja Ampat. Korban tewas adalah La Huni (70 tahun), La Jaka (30 tahun), La Idi (22 tahun), dan La Diri (30 tahun). 

Sedangkan 2 korban selamat La Anu (20 tahun) dan La Udin (30 tahun) masih dirawat di RSUD Kota Sorong. Polisi dan TNI masih menyelidiki pelaku dan motif penembakan ini. (E1)

1/01/2013

KNPB: Kenapa Baru Dituduh Teroris

Aksi demonstrasi KNPB menuntut referendum untuk Papua, (12/03). Foto: suarabatis
MAJALAH SELANGKAH – Jayapura Komite Nasional Papua Barat (KNPB) mempertanyakan mengapa negara menuduh gerakan politik aktivis KNPB sebagai gerakan teroris.

“Kenapa baru sekarang kami dituduh teroris? Mengapa tidak sejak tahun 1961?,”kata Juru Bicara KNPB Wim Mendlama kepada majalahselangkah.com,(Jumat, 21/12).

“Rakyat Papua bukan baru berjuang. Kami berjuang dengan ideologi Papua merdeka berdasarkan sejarah. Perjuangan kami telah dimulai sejak tahun 1961. Label-label seperti ini biasalah, mulai dari pengacau, kriminal, dan sekarang teroris,”kata Wim.

Kata dia, sikap militan dan radikal dalam memperjuangkan hak  kemerdekaan bangsa Papua Barat itulah alasannya menuduh KNPB sebagai teroris.  “Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Terorisme itu bukan lahir tahun 2012. Undang-Undang itu lahir tahun 2003 to. Dan, ingat gerakan kami ada jauh sebelum itu,” kata dia.

“Negara mulai bertindak brutal dan semakin ganas menghadapi gerakan perlawanan KNPB. Tapi, kami tetap pada ideologi Papua merdeka. Kami digiring sebagai teroris tetapi kami akan terus bertahan. Kami ini gerakan kemerdekaan,”kata dia tegas.

Lebih lanjut kata dia, KNPB adalah gerakan sipil rakyat Papua. Gerakan bersenjata adalah TPN/OPM di hutan. Label buruk yang dialamatkan tanpa bukti itu dimulai dari peristiwa tertembaknya Mako Tabuni pada 14 Juni oleh Densus 88 Polda Papua. Lalu, katanya, penembakan ketua militan kota KNPB, Hubertus Mabel itu balas demdam atau upaya memenuhi rasa keadialan korban 3 aparat kepolisian di Pirime yang ditembak mati oleh TPN/OPM pimpinan Okiman Wenda,” katanya.

Kata Wim, Hubertus dibunuh dan dikaitkan sebagai pelaku penyerangan polsek Pirime adalah tidak benar. Hubertus berada jauh dari tempat kejadian, yaitu di Kurulu kampung halamannya. Hubertus dimandati untuk melakukan konsolidasi anggota militan KNPB untuk pengamanan internal.

“Dalam perjalanannya Hubertus tidak ada hubungan dengan penyerangan yang dipimpin Okiman Wenda. Huber juga dalam posisi merayakan natal bersama keluarga di Kurima, kampung halamannya,”jelasnya. (Yermias Degei/MS)

12/11/2012

Socratez: In Papua There Interests Economics and Politics

Rev. Socratez Sofyan Yoman Leaders PGBP
OneNews,-- Wamena (11/12) - Chairman of the Fellowship of Baptist Churches in Papua (PGBP) Socratez Rev. Sofyan Yoman said the high intensity of violence and stigmatization against People and Peace (OAP) in Papua, due to economic and political interests that the use of security forces in papua.
"Because there are economic and political interests in Papua so that the State uses the security forces (military / police) in Papua separatist stigma-stigma, Makar, OPM," said Pastor Socratez told reporters in Wamena, Papua, on Tuesday (11/12) afternoon.
According Yoman, violence should not be seen as partial, but as a whole. Therefore, he continued, the central government should have reflection, not even 'pretend'. He said violators of Human Rights (HAM) never punished.
"The state created conflict everywhere in Papua, put bombs everywhere, so that Mobile Brigade (Brigade Mobil) and Detachment 88 (Detachment) to cash. Later, bombs were discovered everywhere. It was not made of indigenous Papuans, "said Pastor Socratez
Violence in Papua, he said, created by certain people to mendaptkan position and money. Because he said, had been Papuan struggle is the struggle of peace, and dialogue.
"The struggle of people of Papua truth, criminalized the security forces. Therefore, the church asserts, engineering-engineering security forces must be stopped., "He stated.
Socratez meeragukan all kinds of violence in Papua. In Parliament office Jayawijaya 8 September 2012 terror bomb was found and discovered Jayawijaya Then Post 18 September 2012.
"How could disrupt OAP own homeland? It does not make sense to us. Many errors, many of which make a mess in Papua, "said Socratez.  

Editor Source: www.tabloidjubi.com

12/04/2012

Ratusan Prajurit TNI Disiapkan Untuk Dikirim Ke Papua

Provinsi Papua yang berbatasan langsung dengan Papua New Guinea hingga kini masih bergejolak terkait pelbagai permasalahan dan ancaman. Permasalahan tersebut diupayakan dapat tuntas dengan cara menyiagakan personel prajurit TNI di wilayah itu. 

Ratusan prajurit yang tergabung dalam Yonif 726/Tamalatea, ikut ambil bagian. Mereka memeroleh kepercayaan untuk melaksanakan tugas operasi di daerah perbatasan Papua tersebut.
Namun, sebelum mereka dikirim ke sana, ratusan prajurit ini harus menjalani serangkaian latihan khusus di Yonif 726/Tamalatea. Kasdam VII/Wrb Brigjen TNI Heri Mulyono memimpin langsung pembukaan latihan pra tugas tahap dua dan tiga, Sabtu pagi, 1 Desember. Heri Mulyono bertindak sebagai inspektur upacara dan didampingi oleh Danyonif 726/Tamalatea Mayor Inf Heny Setyono selaku komandan upacara.
Heri mengatakan, latihan pra tugas tahap dua dan tiga ini merupakan lanjutan dari latihan pra tugas tahap pertama. Latihan pra tugas lanjutan ini bertujuan untuk lebih memantapkan materi-materi yang telah diperoleh pada latihan sebelumnya. Para prajurit yang ditempa dengan pelbagai latihan ini, diharapkan dapat memiliki kemampuan taktik dan teknik tempur, kemampuan intelijen, binter serta mampu memberikan pelayanan dukungan administrasi sesuai tuntutan tugas yang akan dihadapi di daerah penugasan.
"Lebih baik mandi keringat dalam latihan dari pada mandi darah di daerah operasi," kata Heri Mulyono dihadapan 650 prajurit peserta latihan.
Danyonif 726/Tamalatea Mayor Inf Heny Setyono menambahkan, dalam kehidupan militer, tugas operasi ini merupakan suatu kebanggaan dan kehormatan bagi prajurit. Prajurit yang dilatih sebelum berangkat ke medan operasi, tidak hanya dilatih seputar teknik dan latihan militer. Namun, prajurit juga akan mendapatkan pembekalan masalah tentang pertanian.
"Di tempat tugas mereka nanti, tentu akan menemukan wilayah perkampungan yang dihuni oleh masyarakat. Jadi tugas mereka tidak hanya menjaga keamanan, tapi juga melakukan pembinaan teritorial kepada masyarakat, antara lain, menjadi tenaga pendidik, atau mengajarkan kepada masyarakat yang belum mengetahui cara bercocok tanam," jelas Heny, Minggu, 2 Desember.

Rencananya, lanjut Heny, 650 prajurit Yonif 726/Tamalatea ini akan diberangkatkan pada awal tahun depan. Mereka akan bertugas selama enam bulan disana. Dalam upacara kemarin, hadir pula Danrem 141/TP dan para Dandim Jajaran Korem 141/TP serta para Kabalak Kodam VII/Wrb. (yuk/bas)

Sumber : www.fajar.co.id/

11/23/2012

Pendeta di Tembak TNI di Papua Terdapat Bayi ada dalam kandungan.

Seorang pendeta Pendeta Federika Metelmeti  (38) di Kabupaten Boven Digul, Papua, ditembak. Ia ditemukan dalam keadaan tewas tadi pagi, di Jalan Trans Asiki, Merauke, ternyata di temukan bayi dalam kandungannya.

Hal ini baru di ketahui setelah melakukan Otopsi di rumah sakit umu Bevendiegul papua, Awalnya dia ditemukan sudah tidak bernyawa.

Ibu yang mengabdi pengembalaan 10 tahun ini, telah meregang nyawa di tangan TNI sebagai aparat negara yang harusnya menjaga keutuhan rakyat indonesia secara keseluruhan.

Menurut, Polres  Boven Digul  telah bekerjasama  dengan RSUD  Boven Digul telah  membawa  organ  tubuh  dari  bayi  yang  ada di kandungan korban untuk  dites DNA  di salah-satu  rumah sakit di ibukota. 

Menurut  Kabid,  setelah dilakukan  otopsi ternyata  korban tengan berbadan dua (hamil) sekitar  5-6  bulan, diduga terlibat hubungan dengan  seorang  pelaku.  

“Dari hasil tes  DNA  baru dapat  ditelusuri, sebelum    meninggal   korban  pernah berhubungan dengan siapa, “ ungkap Kabid   Humas.   

Sebagaimana diwartakan,  korban  diduga  ditembak  oleh  teman dekatnya yang  merupakan seorang  oknum anggota TNI. Ditemukan  luka  tembak di  tubuh  korban yakni pada bagian kepala dan bahu  serta  beberapa  luka memar akibat  pukulan dan sabetan benda tajam.   

Hal ini diperkuat dengan  penemuan  sejumlah  alat  bukti di TKP berupa  peluru caliber 4,5, dua selongsong peluru, sebuah helm berwarna pink, sandal dan potongan kayu.


Lagi, Abang Becak di Tembak Aparat TNI di wamena

Nius Pahabol
LWPNews,-- Seorang Abang Becak Bernama Nius Pahabol di tembak aparat TNI saat demo damai di kantor bupati wamena 23/11.

"Awalnya semua abang-abang becak berkumpul untuk melakukan aksi damai, dengan tuntutan "Penertiban Becak dan Abang Ojek demi ketertiban kota wamena"

"Sesuai laporan dari warga menyatakan, saat berkumpul semua abang becak, Anggota TNI dengan persenyataan lengkap tiba di lokasi demo dan aparat TNI melakukan pembubaran paksa sehingga salah satu pendemo terpaksa di larikan RS wamena atas terkena tembakan aparat TNI di kepala".

Sampai berita ini di turunkan, sulit di perifikasi karena kejadian adalah daerah pedalaman papua,

"Kordinator aksi demo melakukan proses dan menyesalkan tindakan aparat TNI yang membatasi ruang demokrasi di papua."

Lanjutnya, TNI tidak perlu menanggani yang harusnya polisi yang harus mengamankan jalannya demo tersebut, namun aparat TNI sangat arogan dan bertindak di luar aturan.(tw)

11/20/2012

Rights abuse victims tell govt to end impunity

TheJakartapost,-- Victims of human rights abuses and rights advocacy groups are pushing the government to formally admit past human rights violations and apologize to families and survivors of the victims.

The pressure is being given as part of the International Day to End Impunity which falls on Nov. 23.

“We want the President, whoever he or she is [or was], to be willing to apologize to us, the victims of atrocities conducted by the state,” said Sri Sulistyawati in Jakarta on Monday.

The 72-year-old former journalist said she was forcefully arrested after the New Order administration suspected her of being a member of the outlawed Indonesian Communist Party (PKI). She was also imprisoned for 11 years without trial.

Sulistyawati and other victims of the 1965 purge, as well as victims of the 1984 Tanjung Priok riot, the 2003 Aceh incident and the 1998 May riot, have joined the Commission for Missing Persons and Victims of Violence (Kontras) and Amnesty International for a series of campaigns urging the government to end impunity.

The victims and NGOs are scheduled to meet with the National Commission on Human Rights (Komnas HAM), the National Commission on Violence against Women (Komnas Perempuan) and the Law and Human Rights Ministry to discuss human rights issues.

In addition, they are also holding a public lecture in a private university in Jakarta to raise awareness of human rights violations.

“Our specific aim is to remind university students of the serious human rights violations in the country,” said Sri Suparyati of Kontras.

Various parties, including the state-funded Komnas HAM, have outlined in reports and studies the gross human rights violations involving the state in the past. However, the government has not taken concrete actions to bring the perpetrators to justice.

Komnas HAM has also officially submitted its findings and recommendations to the Attorney General’s Office (AGO), but the law enforcer has taken no action, arguing that the rights commission’s reports give inadequate legal proof for them to investigate past abuses,

Therefore, the government’s stance contradicts article 35 of Law no. 26/2000 on human rights courts, which stipulates that victims of human rights violation should receive rehabilitation, restitution and
compensation.

“I just want the government to fulfill my rights,” said Riyati Darwin, who lost her son in the 1998 May riot.

Up until the present day, she said, the government has shown no intention to look for the responsible parties that murdered her son.

“We want the government to rehabilitate us very soon because we have become old and we want our descendents to be no longer stigmatized. Death is just days away,” Sulistyawati said.

Besides working with the two NGOs, Riyati and Sulistyawati will also work hand-in-hand with Bosnian rights activist Jasna Zecevic to convince the government to solve human rights issues in the country.

“We cannot build a country until we solve the problems of the past,” said Zecevic, who is still struggling to raise the awareness of the Bosnian government about rights abuse issues. (riz)

Deklarasi HAM ASEAN Cuma Basa-basi Politik

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-21 yang diselenggarakan di Pnom Penh, 18-19 November, melahirkan produk politik baru, yaitu Deklarasi HAM ASEAN. Kemarin, Deklarasi HAM ASEAN resmi ditandatangani oleh kesepuluh negara ASEAN.

Bagi pemerintah negara-negara anggota ASEAN, Deklarasi ini dianggap sebagai capaian besar setelah pada 2009 ASEAN membentuk Badan HAM ASEAN. Tapi, mencermati proses dan hasil pembentukan Deklarasi ini, sesungguhnya menggambarkan bahwa ASEAN bukanlah arena dan sarana pemajuan HAM.

LSM pemerhati HAM nasional, Setara Institute, menyebutkan bahwa dalam Deklarasi tersebut dinyatakan bahwa hak-hak asasi akan dipertimbangkan dalam "konteks regional dan nasional". Artinya, penghormatan, promosi, perlindungan, dan pemenuhan HAM sangat bergantung pada pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh ASEAN secara kolektif dan oleh negara-negara anggota ASEAN secara sendiri-sendiri.

Dengan demikian, bukannya pemajuan HAM dengan standar universal yang diperoleh dari Deklarasi ini, tetapi justru pembatasan kolektif atas nama prinsip non interference (tidak mencampuri urusan nasional dalam negeri masing-masing).

Semestinya, menurut Setara, ASEAN belajar dari pengalaman kegagalan perlindungan HAM di beberapa negara anggota ASEAN. Myanmar adalah contoh yang paling sering mengalami krisis politik dalam negeri. Namun, atas nama prinsip non interference, intervensi kemanusiaan bahkan sulit dilakukan.

Harapan agar Badan HAM ASEAN menjadi mekanisme kawasan dan regional penegakan HAM juga pupus karena dengan prinsip non intervence dan disparitas penghormatan HAM antar satu negara dengan negara ASEAN lainnya, justru semakin menjauhkan harapan adanya mekanisme pertanggungjawaban negara dalam berbagai peristiwa pelanggaran HAM.

"Pendek kata, Deklarasi ini tiada guna bagi hak asasi manusia. Dengan model Deklarasi semacam ini, Badan HAM ASEAN hanya menjadi wadah persaudaraan dan tempat saling berkeluh kesah tentang kondisi hak asasi manusia di masing-masing negara," demikian tertulis di pernyataan tersebut, Senin (19/11).

Sebagai pernyataan dan peneguhan komitmen yang morally binding, Deklarasi ini semestinya memuat prinsip-prinsip dasar HAM dengan standar internasional. Selain atas dasar prinsip non interference, kualitas deklarasi yang demikian merupakan buah ketertutupan Badan HAM ASEAN dalam menyusun deklarasi ini dari masyarakat sipil.

"Tanpa mekanisme yang memungkinkan keadilan tercipta dan terlimpahkan bagi komunitas bangsa ASEAN, Deklarasi ini hanyalah basa-basi politik regional memikat dukungan politik internasional," tutup pernyataan tertulis itu. [ald]

Korban Desak Pemerintah Selesaikan Pelanggaran HAM Masa Lalu

Korban pelanggaran HAM beserta keluarga dan KontraS terus mendesak pemerintah untuk selesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu.