This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tampilkan postingan dengan label Perempuan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perempuan. Tampilkan semua postingan

4/20/2013

Negara Indonesia Gagal Penuhi Hak Perempuan

"Di bidang ekonomi kebijakan ekonomi liberal yang diadopsi Indonesia terbukti memicu pemiskinan perempuan."

VHRmedia, Jakarta – Meski telah lampau seabad sejak Kartini hadir dalam pemikiran perjuangan hak-hak perempuan, kekerasan, diskriminasi dan pemiskinan masih tetap dialami perempuan Indonesia. Bahkan jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun.

Data Komnas Perempuan mencatat  ada 216.156 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2012, meningkat dari catatan tahun 2011 sebanyak 119.107 kasus.  Sedangkan kekerasan yang tercatat pada tahun 2010 sebanyak 105.103 kasus. 

Komnas Perempuan juga mencatat setidaknya 282 peraturan daerah mempunyai tendensi mendiskriminasi perempuan dengan Jawa Barat sebagai provinsi yang paling rajin menerbitkan perda diskriminatif.

Menurut Executive Director Yayasan Institut Perempuan, R Valentina Sagala diskriminasi perempuan berlangsung di setiap ranah kehidupan, ekonomi hingga kesehatan. Di ranah ekonomi, kebijakan ekonomi liberal yang diadopsi Indonesia terbukti menstimulus pemiskinan perempuan. 

Implementasi perjanjian pasar bebas seperti CAFTA atau China ASEAN Free Trade Agreement dan pemberlakuan UU Nomor  38 Tahun 2008 tentang Piagam Asean menyebabkan banjirnya produk impor dari Cina dan itu juga  menyebabkan pelaku ekonomi lokal tersingkir.

“Tumbuhnya pasar modern atau mini market, memarjinalkan dan bahkan menyebabkan perempuan pengusaha kecil bangkrut. Padahal 51,21 persen pekerja di sektor informal dan 60 persen adalah perempuan,” kata Valentina.

Dia lebih lanjut menyesalkan terbatasnya upaya pemerintah untuk memfasilitasi kapasitas perempuan pengusaha kecil, khususnya dalam mengembangkan usaha. Program yang dilakukan pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan perempuan dan tidak berkelanjutan. Perempuan pun masih terkendala mengakses kredit dan pinjaman modal dari bank seperti program Kredit Usaha Rakyat.  Perempuan tetap tak bisa mengakses sepenuhnya program tersebut.

“Koperasi yang menjadi pilihan yang ramah bagi perempuan miskin dan merupakan model ekonomi berasaskan kekeluargaan sesuai UUD 1945, pun pada akhirnya harus tunduk pada gelombang ekonomi pasar bebas, “ kata dia.

Kegagalan 'koperasi'

Sementara itu pemberlakukan UU Nomor  17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian pembentukan koperasi yang awalnya dibangun berdasarkan semangat kebersamaan dan kekeluargaan, telah berubah menjadi mengagungkan peranan modal besar. Dibolehkannya penyertaan modal dari luar yang tidak ada pembatasnya menjadikan anggota sebagai obyek pinjaman pemilik modal besar. “Diperbolehkannya pengurus dari non anggota dan pengawas sebagai superbodi akan mendorong swastanisasi koperasi,” katanya

Di ranah kesehatan, tingginya tingkat angka kematian ibu (AKI) yang masih sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup menunjukkan perempuan gagal mendapatkan perlindungan penuh oleh negara. Sedangkan target menurunkan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 terancam gagal. 

Tingginya AKI disebabkan beberapa faktor seperti masih terbatasnya jumlah tenaga kesehatan, bidan, dokter atau anestesi,  terbatasnya rumah tunggu, Puskesmas, rumah singgah, dan lain-lain. “Negara juga gagal melindungi perempuan Indonesia dari praktek diskriminatif sunat perempuan,” kata Valentina.

Sunat perempuan yang telah dilarang sejak 2006 dengan dikeluarkannya  Surat Edaran tentang Larangan Sunat Perempuan oleh Tenaga Kesehatan No HK.00.07.1.3.1047 Tahun 2006 oleh Dirjen Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan kembali dihidupkan oleh Pemerintah. 

Bukannya menghapus sunat perempuan, Pemerintah justru mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor  1636/MENKES/PER/XI/2010 yang memberi legitimasi praktik mutilasi kelamin perempuan dan memberi otoritas pada pekerja medis tertentu, seperti dokter, bidan dan perawat, untuk melakukan sunat perempuan.

Valentina menyebut Peraturan Menteri Kesehatan ini mendefinisikan praktek ini sebagai tindakan menggores kulit yang menutupi kulit bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Peraturan ini jelas bertentangan dengan CEDAW dan tidak sejalan dengan seruan World Health Organization (WHO) untuk mengakhiri sunat perempuan. 

Dan di ranah pendidikan, data menunjukkan perempuan cenderung tidak melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Menurut BPS (2011), angka partisipasi murni (APM) perempuan jenjang SD 90,37, APM perempuan jenjang SMP 69,19, APM perempuan jenjang SMU 48,19. “Selain itu, masih terdapat perempuan berusia 15 tahun ke atas yang melek huruf  sebesar 90,07 persen, bandingkan dengan laki-laki melek huruf 95,59 persen,” katanya.

Dalam konteks pekerja rumah tangga (PRT) pun perlindungan negara masih minim. Data JALA PRT menunjukkan 92 persen pekerja migran adalah PRT (2012). Menurut BNP2TKI, pada 2011 terdapat 2.209 pelecehan atau kekerasan seksual dan 535 orang perempuan pekerja migran kembali dalam keadaan hamil. 
Jumlah PRT migran diprediksi akan terus meningkat jika dihubungkan dengan ketersediaan pekerjaan bagi perempuan miskin. Hingga Maret 2012, tingkat kemiskinan di Indonesia adalah 11.96  persen atau 29.13 juta orang.

“Mencermati kondisi di atas, maka pada momen hari Kartini kami menyerukan, pertama, Pemerintah harus membangun ekonomi yang adil dan berlandaskan Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945 dan melakukan evaluasi terhadap  perjanjian perdagangan bebas yang telah diikatkan sebelumnya,” kata Valentina.

Selain itu pemerintah harus melancarkan program pemberdayaan bagi perempuan yang cocok dengan kebutuhan perempuan dan menjalankan langkah-langkah kongkrit menurunkan angka kematian ibu. 

Pemerintah juga harus mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/MENKES/PER/ XI/2010 dan memberikan perlindungan menyeluruh bagi PRT dan PRT migran, serta menyusun RUU tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dan Anggota Keluarganya dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. “Tentunya  dengan mengakomodir hak dan perlindungan PRT dan PRT migran sesuai instrumen HAM internasional,” ujar Valentina.

Pemerintah mesti mengusut kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan menyediakan layanan bagi korban kekerasan. Menurut Valentina, masyarakat, tak terkecuali tokoh masyarakat dan tokoh agama harus  mengambil peran menghentikan kekerasan terhadap perempuan.(E2)

11/25/2012

Antara Penguasa dan Dikuasa di Pspus Barat

Oleh: Honaratus Pigai
 
Kemarginalan Orang asli Papua.

Orang asli Papua benar-benar terpinggirkan dan dikuasai dari tanah leluhurnya sendiri. Hal ini, dapat dilihat dari contoh, mama-mama pedagang asli Papua yang hingga kini berjualan di pinggir jalan dan emperan-emperan tokoh. Mereka menahan hantaman teriknya matahari dan derasnya hujan dengan beralaskan lantai tanah dan beratap langit. Hanya demi mencari nafkah hidup sehari-hari. Begitu banyak kebijakan dari pemerintahan pusat hingga daerah pun belum dan bahkan tidak menyentuh kehidupan pasar mama-mama Papua.

Untuk menanggapi hak hidup mereka, Solidaritas Pedagang Asli Papua (SOLPAP), yang terdiri dari organisasi-organisasi telah berupaya untuk menuntut hak hidup mama-mama ini. SOLPAP berjuag ke pemerintah dan meminta pembangunan pasar yang layak bagi mama-mama Papua, namun sampai saat ini pasar tersebut belum jadi. Pihak yang berwenang, dalam hal ini pemerintah Indonesia di Papua (Gubernur, DPRP, Walikota Jayapura dan jajarannya) tak pernah menanggapi usulan ini secara serius. Malah usaha yang dilakukan tim SOLPAP seringkali mendapat tantangan. Karena antara pihak pemerintah sendiri saling melempar dan mengaburkan. Janji-janji pun tidak terjawab dan bahkan kadang-kala janji itu hanya bohong. Akibatnya, mama-mama Papua masih berdagang di tempat yang tidak layak.

Sementara orang BBMJ (Bugis, Buton, Makasar dan Jawa) mendapatkan tempat yang layak. Mereka benar-benar menikmati fasilitas pemerintah Indonesia di Papua dalam kerangka Otsus di Papua. Itu wajar, karena orang asli Papua bukan orang Indonesia, sehingga fasilitas yang disiapkan Indonesia dinikmati oleh rakyat Indonesia yang berada di negri Papua ini. Katanya para pendatang dan Otsus memberdayakan orang asli Papua. Realitasnya tidak seperti itu. 
Kaum non Papua dan Otsus menjadi penguasa yang menguasai orang asli Papua dengan segala macam trik. (Socratez Sofyan Yoman, Pintu Menuju Papua Merdeka: Pejanju=ian New York 15 Agustus 1962 dan PEPERA 1969 Hanya Sandiwara Politik Amerika, Indonesia, Belanda dan PBB, 2000)

Dengan termarginalnya rakyat asli Papua di tanahnya sendiri adalah tidak mendapatkan fasilitas yang layak, namun tetap semangat berjualan di berjualan di tempat yang seadanya. Ini merupakan penindasan dan tidak adanya keadilan juga pemerataan. Apakah ini kalah saing? (Yoman, 2000).
Bukan hanya dalam hal ekonomi saja, melainkan dalam segala segi kehidupan; politik, kebudayaan, sosial, dan sebagainya. Orang asli Papua mendapatkan tekanan mental maupun fisik yang dahsyat. Mereka diperlakukan tidak adil dan benar. Sampai diperbodohi secara licik dengan berbagai strategi yang dimaikan. Yang membuat orang asli Papua “bimbang” dan bahkan tidak percaya kepada pemerintah yang selalu manipulatif. Dalam hal ini pemerintah semacam “latihan lain main lain”. Pemerintah sering berjanji akan berikan ini atau itu, tetapi tidak terlaksana. Inilah janji yang membohongi dan janji-janji palsu yang sering terdengar dari mulut pemerintah.

Contoh singkat janji bohong yang dialami mama-mama Papua bisa disimak seperti berikut: Bapak kita, yang mulia Barnabas Suebu, pernah berjanji dengan mulutnya sendiri bahwa mulutnya adalah SK. Ia pernah berjanji akan membangun pasar mama-mama tetapi sampai kini hal itu tidak pernah terjawab.

Sekarang juga mulai muncul masalah ketidak jelasan dana awal pembangunan yang dijanjikan Pjs. Hatari sebesar 10 milyar. Dana tersebut oleh badan keuangan provinsi pendahkan ke PU provinsi untuk pekerjaan pembangunan pasar, sementara lokasi yang mau direncanakan untuk pembangunan itu belum dibereskan secara tuntas. Sementara kantanya ada 15 milyar untuk membereskan lokasi tersebut, padahal pada bulan juni lalu pemerintah berjanji akan bereskan lokasi pembangunan tersebut. Maka di sini ada sikap pembiaran dan terkesan pemerintah yang adalah orang asli Papua sedang mempermainkan mama-mama Papua dengan janji-janji yang tidak benar.

Kesenjangan Antara Penguasa dan Dikuasa

Kesenjangan ini dinilai sebagai potensi kebohongan dan ketidakadilan. Ini merupakan ketimpangan yang cukup serius di Papua. Pembangunan di Papua umumnya mengarah ke ketimpangan ini. Orang mulai membedakan antara penguasa dan dikuasa. Sang penguasa mulai menari-nari di atas mimbar, atas tingkahlaku yang konyol. Ia merasa berhasil bahwa bisa menguasa manusia, alam dan kekayaan yang ada di Papua. Lebih sadis, sikap otoriter dan membunuh bila ada yang menyeleweng dari padanya.

Misalnya dalam segi ekonomi, bila dibandingkan dengan negara lain, Indonesia tergolong miskin. Pertumbuhan ekonomi telah melahirkan kesenjangan sosial antara penguasa dan dikuasa. Kebijaksanaan pembangunan yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi belum berhasil meningkatkan keberhasilan yang memadai. Sehingga seantero daerah di negara kesatuan republik Indonesia mengalami upah buruk.

Di Papua khususnya. Bagi orang lain, Papua dipandang kaya. Namun, yang kaya bukan orang asli Papua, tapi alam Papua. Alam Papua memang terkenal kaya, tapi alam Papua memperkaya orang non Papua yang ada di Papua. Orang asli Papua sendiri miskin di atas kekayaannya. Antara penguasa dan dikuasa memainkan peran, sehingga yang dikuasa mengalami nasip buruk atas ulah penguasa yang tidak adil dan bijaksana. Orang asli Papua mengalami situasi dikuasa oleh yang penguasa. Mereka bagaikan seorang penonton atas pengurasan kekayaan alamnya. Mulut mereka ditutup rapat-rapat. Mereja mau menurunkan penguasa dari mimbar kekayaan, tetapi semuanya ditanggapi dengan ancaman.
Otonomi Khusus (Otsus) misalnya, yang diberlakukan di Papua sejak 2001, diharapkan dapat menjadi pedang yang memberantas kesenjangan ini dan dapat menyamakan antara penguasa dan dikuasa. Namun tidak mencapai harapan itu. Malah dengan adanya Otsus menimbulkan kesenjangan yang lebih besar. Sehingga penguasa tetap menari terus-menerus di mimbar kekayaan dan yang dikuasa meratap atas kekayaan yang semakin hari hilang dibawa.

Kebanyakan orang asli Papua yang menyuarakan bahwa Otus gagal, karena tidak menjawab kebutuhan rakyat yang dikuasa adalah pernyataan yang sesungguhnya benar. Atas realitas di Papua pernyataan ini tidak dapat dibantah, oleh seribu satu kebohongan. Papua sedang berada dalam penguasaan raja negara. Semena-mena ia mengatur segalanya, sampai melupakan yang tidak seharusnya dilupakan. UP4B sekalipun hanya kebijkan semu dan hanya mau mendatangkan malapetaka.
Ketika orang asli Papua menyampaikan pendapatnya atas nasib hidupnya. Tidak ditanggapi serius. Pemerintah menganggap bahwa yang dikuasa tidak perlu mengangkat suara banyak. Yang mengangkat suara harus ditindas dan dianiaya. Karena yang dikuasa tidak dapat mengatur penguasa.
Salah seorang teman (JB) pernah mengatakan dalam diskusi tentang realitas kehidupan mama-mama Papua, bahwa “orang kaya menjadi tetap kaya dan orang miskin tetap menjadi miskin”. Rasanya ungkapan ini benar. Realitas Papua sedang menuju ke arah itu. Orang yang kaya menjadi penguasa, sedangkan orang miskin menjadi yang dikuasa. Sehingga orang kaya tidak peduli lagi dengan orang miskin. Dibiarkan seorang miskin merana mencari kebutuhan tiap harinya, dengan mengumpulkan barang-barang bekas (botol aqua, fanta, cocacola, besi tua dan sebagainya). Apakah ini sikap adil dan memanusiakan manusia? Atau melihat manusia sebagai “sampah/binatang”?

Perlu Kesadaran

Antara penguasa dan dikuasa adalah dua subjek, yang sama-sama manusia. Tidak satu pun yang melebihi yang lain. Keduanya memiliki martabat yang sama yakni manusia. penguasa juga manusia dan yang dikuasa pun manusia. Ini sebenarnya harus menjadi modal dasar untuk saling membangun dan melengkapi kekurangan antar sesama manusia.
Label penguasa dan dikuasa seharusnya dihapuskan dan harus saling melengkapi sebagai manusia. maka pemerintah seharusnya mendengar dan sadar bahwa rakyat sedang membutuhkan sesuatu sehingga harus melengkapi kebutuhan umum yang dibutuhkan. Bukan membohongi dengan berbagai macam tindakan dan ungkapan yang berujung pada merugikan yang lain. Seharusnya pemerintah yang adalah orang asli Papua sendiri harus sadar dan mendukung kebutuhan umum dari mama-mama Papua ini. pasar yang diminta bukan untuk pribadi dan lembaga yang sedang berjuang, melainkan demi kepentingan dan kehidupan mama-mama pasar.

Mungkin saja pemerintah masih meragukan untuk membangun pasar, dengan pertimbangan mama-mama Papua tidak akan merawat gedung dengan baik. Tetapi kita bisa mengambil contoh bahwa ketika mama-mama Papua sehabis jualan di penggir jalan mereka selalu membersihkan dan menata kembali tempat jualan mereka sebelum pulang ke rumah. Maka bagi saya ini bukan alasan yang mendasar. Atau kah mungkin ada alasan lain yang membuat pemerintah tidak ingin membangun pasar, padahal perjuangan mama-mama Papua untuk meminta pembangunan pasar sudah sejak 2004 lalu. Alasan-alasan yang membuat pemikiran pemerintah terganjal ini harus dihapuskan dari benak dan menyadari bahwa mama-mama Papua adalah mama-mama kita bersama. Merekalah yang melahirkan kita sehingga bisa menduduki jabatan-jabatan tinggi seperti demikian, maka seharusnya disadari oleh kita semua sebagai manusia yang terlahir dari mama-mama.

*Penulis adalah mahasiswa STFT ‘Fajar Timur’ Abepura-Papua.

11/24/2012

SBY Disak untuk memastikan perempuan mendapatkan kebenaran, keadilan dan reparasi

Dibawah kekuasaan otoriter Suharto dan pada periode transisi, Indonesia mengalami serangkaian konflik yang ditandai dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serius. Perempuan dan anak perempuan menjadi target pemerkosaan dan kejahatan kekerasan seksual lainnya oleh pasukan keamanan dan kelompok bersenjata.. Walau beberapa konflik ini sudah berakhir, kemajuan dalam menuntas dan mencegah kejahatan seksual masih lemah.

Banyak perempuan yang menjadi korban belum mendapatkan perawatan atau pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik itu medis, psikologis, atau kesehatan seksual dan reproduksi. Mereka menderita bukan hanya sebagai korban langsung konflik tapi juga secara tidak langsung sebagai anggota keluarga mereka yang terbunuh atau hilang.
Selain itu, upaya untuk membawa pelaku pemerkosaan dan kejahatan kekerasan seksual lainnya ke pertanggungjawaban hukum berlangsung secara tidak memadai dan bagi banyak perempuan, keadilan, kebenaran dan reparasi bagi kejahatan masa lalu itu tetap jauh dari kenyataan.Harapan telah muncul dengan laporan bahwa Presiden Indonesia telah menginstruksikan Dewan Pertimbangan Presiden untuk mengembangkan rencana untuk menuntaskan pelanggaran HAM serius masa lalu di Indonesia. Tindakan ini menyajikan kesempatan bagi kita semua untuk memberikan tekanan kepada pihak berwenang agar memastikan rencana itu berisi langkah-langkah untuk mengatasi situasi perempuan yang selamat dari konflik-konflik secara memadai.
Kami meminta anda untuk menandatangani petisi dibawah dan bergabung bersama korban yang selamat dan keluarga mereka dalam perjuangan meraih kebenaran, keadilan, dan reparasi. Tanda tangan anda akan dikirim ke Dewan Pertimbangan Presiden.
Yang terhormat Bapak Albert Hasibuan,Kami sangat khawatir dengan kondisi korban kekerasan seksual pada masa konflik di Aceh dan wilayah Indonesia lainnya, terus disangkal aksesnya ke keadilan, kebenaran, dan reparasi.Kami menyambut baik laporan bahwa Presiden telah menginstruksikan Dewan Pertimbangan Presiden untuk mengembangkan rencana untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM serius masa lalu di Indonesia, dan mendesak pihak berwenang Indonesia untuk secepatnya mengambil langkah-langka berikut untuk menyelesaikan situasi perempuan yang selamat dari konflik:
  • Membahas, mengesahkan dan mengimplementasikan pada kesempatan paling awal sebuah undang-undang baru tentang komisi kebenaran yang selaras dengan hukum dan standar internasional, memastikan kejahatan seksual dan kekerasan berbasis jender terhadap perempuan agar dituntaskan secara memadai.
  • Membentuk sebuah program nasional dalam menyediakan reparasi yang penuh, efektif dan transformatif (termasuk restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan dan penjaminan ketidakberulangan) kepada semua korban/ orang yang selamat atas pelanggaran HAM masa lalu.
  • Memastikan semua pelanggaran HAM masa lalu baik yang dilakukan oleh negara atau aktor non-negara, agar diinvestigasi secara menyeluruh dan secara efektif dituntut ke pengadilan.

11/23/2012

Pendeta di Tembak TNI di Papua Terdapat Bayi ada dalam kandungan.

Seorang pendeta Pendeta Federika Metelmeti  (38) di Kabupaten Boven Digul, Papua, ditembak. Ia ditemukan dalam keadaan tewas tadi pagi, di Jalan Trans Asiki, Merauke, ternyata di temukan bayi dalam kandungannya.

Hal ini baru di ketahui setelah melakukan Otopsi di rumah sakit umu Bevendiegul papua, Awalnya dia ditemukan sudah tidak bernyawa.

Ibu yang mengabdi pengembalaan 10 tahun ini, telah meregang nyawa di tangan TNI sebagai aparat negara yang harusnya menjaga keutuhan rakyat indonesia secara keseluruhan.

Menurut, Polres  Boven Digul  telah bekerjasama  dengan RSUD  Boven Digul telah  membawa  organ  tubuh  dari  bayi  yang  ada di kandungan korban untuk  dites DNA  di salah-satu  rumah sakit di ibukota. 

Menurut  Kabid,  setelah dilakukan  otopsi ternyata  korban tengan berbadan dua (hamil) sekitar  5-6  bulan, diduga terlibat hubungan dengan  seorang  pelaku.  

“Dari hasil tes  DNA  baru dapat  ditelusuri, sebelum    meninggal   korban  pernah berhubungan dengan siapa, “ ungkap Kabid   Humas.   

Sebagaimana diwartakan,  korban  diduga  ditembak  oleh  teman dekatnya yang  merupakan seorang  oknum anggota TNI. Ditemukan  luka  tembak di  tubuh  korban yakni pada bagian kepala dan bahu  serta  beberapa  luka memar akibat  pukulan dan sabetan benda tajam.   

Hal ini diperkuat dengan  penemuan  sejumlah  alat  bukti di TKP berupa  peluru caliber 4,5, dua selongsong peluru, sebuah helm berwarna pink, sandal dan potongan kayu.


11/19/2012

Yohana, Perempuan Papua Pertama Bergelar Profesor

Sejak Rabu (14/11) Yohana dosen FKIP Uncen menjadi perempuan Papua pertama bergelar profesor.

Rektor Universitas Cenderawasih, Festus Simbiak mengatakan, saat ini kampus tersebut telah memiliki dosen perempuan pertama asal Papua yang bergelar profesor, yakni Yohana Yembise.

"Jadi pada Rabu (14/11) kemarin, Yohana Yembise, dosen Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Uncen, Papua, saya kukuhkan sebagai guru besar bergelar profesor doktor bidang silabus desain dan material development di auditorium Uncen," kata Rektor Uncen, Festus Simbiak di Jayapura, Papua, hari ini.

Selain Yohana, lanjut Simbiak, rekan Yohana, Onnie Mentang Lumintang juga menjadi guru besar bergelar profesor doktor bidang sejarah.

Secara terpisah, Yohana Yembisa mengaku, bersyukur dan terima kasih atas pencapaian sebagai guru besar profesor yang diraihnya.

"Terima kasih dan bersyukur kepada Tuhan yang pada kemarin, saya bisa meraih gelar profesor di kampus Uncen. Semoga kepercayaan yang diberikan akan dijalankan dengan baik," kata Yohana.

Yohana mengungkapkan, ia mengabdi di Uncen karena ingin melayani masyarakat di provinsi itu.

Onnie Mentang Lumintang juga mengatakan hal yang sama. "Rasa syukur dan terima kasih saya berikan kepada keluarga yang selama ini mendukung, baik yang ada di Manado, Jakarta dan Nabire," katanya.