This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tampilkan postingan dengan label UN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label UN. Tampilkan semua postingan

10/10/2019

HRW, Indonesia Selidiki Kerusuhan dan Izinkan PBB Masuk ke Papua

Pemerintah Indonesia didesak untuk melakukan penyelidikan independen terhadap kerusuhan Wamena, serta mengizinkan Komisi HAM PBB untuk masuk ke Papua memeriksa dugaan pelanggaran HAM di sana.
Desakan itu disampaikan oleh LSM Human Rights Watch (HRW) pekan ini, menyusul laporan tewasnya 33 orang serta 16.000 warga yang mengungsi akibat kerusuhan tersebut.
"Investigasi independen diperlukan untuk memeriksa peran aparat keamanan dan menuntut semua pihak yang bertanggung jawab dalam kerusuhan," kata Direktur HRW Asia Brad Adams dalam sebuah pernyataan.
Menurut dia, adanya pemantau independen "akan mencegah pelanggaran, baik oleh militan maupun aparat keamanan, sehingga akan menguntungkan semua warga Indonesia."
"Situasi di Wamena masih tegang, namun sulit untuk memverifikasi keadaan karena tidak ada wartawan yang bisa secara independen masuk ke sana untuk mewawancarai saksi mata," tambahnya.

satu-satunya solusi untuk Papua Adalah "REFERENDUM"

Ini adalah pernyataan editorial yang diterjemahkan dari Militan Indonesia, pertama kali diterbitkan pada 22 Agustus 2019 , pada awal gelombang demonstrasi massa di seluruh Indonesia dan Papua. Sejak itu, reaksi telah membesarkan kepalanya. Pemerintah Indonesia mengerahkan 6.000 personel polisi dan militer tambahan ke Papua. Internet diblokir. Seorang milisi pro-Indonesia dikerahkan untuk meneror orang Papua. Lusinan orang Papua telah terbunuh, dengan ratusan lainnya ditangkap.
Teror, kekerasan dan rasisme sekali lagi turun ke atas pemuda Papua yang sedang belajar di Indonesia, kali ini di Surabaya, Malang, Semarang dan Ternate. Berita tentang bagaimana pemuda ini diperlakukan seperti binatang memicu demonstrasi massa di seluruh Papua, karena massa tahu sepenuhnya dari pengalaman sehari-hari mereka sendiri apa yang dilalui pemuda ini, dicemooh sebagai “monyet” dan diperlakukan seperti itu.

Veronica Koman Bertemu Komisioner HAM PBB: Bicara soal Papua

 Aktivis dan pengacara hak asasi manusia (HAM) Veronica Koman bertemu dengan Komisioner HAM PBB Michelle Bachelet. Pertemuan itu diunggah Veronica dalam akun Twitternya, Kamis (10/10/2019).

Veronica yang saat ini diketahui berada Sydney, Australia tidak menjelaskan di mana dia bertemu dengan Bachelet.
Dia menjelaskan bahwa dia memberi informasi terbaru mengenai situasi Papua Barat kepada Bachelet.
“Saya memberi tahunya informasi terbaru tentang krisis saat ini yang mencengkeram Papua Barat: pendekatan keamanan, pemindahan warga sipil, pengekangan besar-besaran terhadap kebebasan berekspresi,” tulis Veronica.
Pada 23 September, Wamena dilanda kerusuhan hingga merenggut 31 jiwa. 

Veronica juga menceritakan pada Bachelet mengenai demonstrasi mahasiswa yang menuntut Revisi UU KPK dan sejumlah RUU KUHP.
Demonstrasi pada 26 September berujung ricuh, saat sejumlah pedemo menolak untuk membubarkan diri yang direspons oleh polisi dengan gas air mata dan meriam air.

7/13/2014

NGO Report Via UNHCR for Indonesia State

Papuan Activist
 Indonesia

6/15/2014

Pemantau PBB Didesak Untuk Diizinkan Masuk Provinsi Papua di Indonesia

Ringkasan ini tidak tersedia. Harap klik di sini untuk melihat postingan.

5/06/2013

Rakyat Papua mendukung, Indonesia Menolak, Terkait Kantor Free West Papua di Oxford.

Peresmian Kantor OPM / photo FWPC
Holandi News,- Benny Wenda sehabis Tour Dunia dari Eropa, Amerika Latin, US, Pasifik, Australia dan di inggris dalam agenda kampanye Free West Papua, Benny Kembali Mendirikan Kantor OPM. 

Tepat tanggal 26 April 2013, Wali kota Oxford Mohammed Abbasi, Mengunting Pita sebagai tanda peresmian Kantor Kampanye Free West Papua (FWPC) di London Inggris, Dalam acara itu banyak politisi dan pengacara internasional  turut mengambil bagian seperti Andre Smith (IPWP), mantan wali kota Oxpord, serta  Jennifer Robinson sebgai kuasa hukum Internasional Lawyer for West Papua (ILWP).

Kempanye Benny Wenda yang hidup pengasingan inggris sebagai aktor utama dalam diplomasi internasional atas kampanye kemerdekaan papua. 

Reaksi Rakyat Papua
Victor Yeimo dan Buctar Tabuni

Dengan berdirinya kantor Free West Papua di London, Rakyat papua menyambut dengan genbira dan mendukung penuh aktivitas Benny wenda sebagai kordinator diplomat internasional, kata Victor di sela-sela peringatan 1 mei sebagai hari aneksasi papua dalam NKRI oleh UNTEA kepada Indonesia. 1/05/13 jayapura,papua.

Lanjutnya, "Pendirian kantor FWPC di london ini, bagian dari perjuangan rakyat papua untuk penentuan nasib sendiri. "Dengan berdirinya kantor FWPC ke depan kita bekerja lebih berlelusa dan di harapkan negara-negara solidaritas akan segera menyusul katanya dengan sambutan yang meriah dalam acara tersebut."

Aksi Tuntut Rakyat papua

"Ketua PNWP, Buctar tabuni juga mengatakan, "Kami berharap di dalam negeri juga akan mendirikan kantor Parlement papua, agar rakyat papua bisa menyalurkan aspirasi melaui kentor resmi katanya.

Ketua Parlemen Nasional West Papua (PNWP), Buchtar Tabuni. Mengatakan, pemerintah Indonesia jangan terlalu emosi dan bereaksi berlebihan menanggapi hal tersebut. Pemerintah Inggris menghargai penentuan nasib sendiri dan ini mekanisme yang yang harus dihormati.

“Kecuali ada kantor OPM, dan Papua langsung merdeka, itu yang luar biasa. Memang betul pemerintah tidak bisa mendukung kedaulatan, namun negara-negara yang menghargai demokrasi mendukung hak berdemokrasi. Misalnya kita bilang orang Papua self determination itu negara apapun harus menghormati. Memang pemerintah Inggris belum mendukung secara resmi, tapi secara demokrasi sesuai mekanisme mereka menghargai penentuan nasib sendiri,” kata Buchtar Tabuni, Senin (6/5).

Dikatakan, kantor OPM di Inggris bukan rahasia lagi. Pembinanya Walikota Oxford. Itu bagian dari kantor kampanye meski pemerintah Indonesi bereaksi dan menolak, namun di Inggris tak masalah karena itu hak demokrasi.“Hanya pemerintah Indoenesia yang belum hargai demokrasi orang sehingga merespon dengan emosional. Kalau negara yang menghargai demokrasi itu hal biasa. Mereka mengerti selama tidak merugikan negara itu sendiri
 
Dalam spandukpun menuliskan "Rakyat Papua Dukung Penuh Kantor Free West Papua di London" jelasnya.

Di tahun 2011, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Benny Wenda sebagai buronan internasional (Daftar Merah Interpol), Namun Interpol internasional menghapus Benny wenda  dengan alasan tidak menemukan kejahatan benny dalam hal tertentu dan unsur politis lebih dominan terhadap wenda.

Indonesia Protes

Presiden indonesia SBY, melalui staf khusus mengatakan SBY prihatin dan menyesalkan peresmian kantor Free west papua di oxford  SBY menyakini posisi pemerintah inggris tetap mendukung integritas papua dalam NKRI katanya di kutip media kompas.

Merlu Indonesia Marty Natalegawa, “Protes keras pemerintah RI ke pemerintah Inggris, sekaligus meminta penjelasan resmi terkait insiden pembukaan kantor Free West Papua di Oxford, Inggris.

Merlu RI Marty Natalegawa
Pemerintah Indonesia akan memanggil Duta Besar Inggris di Jakarta, Mark Canning, Apa yang terjadi sangat bertolak belakang dengan pernyataan komitmen mereka selama ini, dan tentunya juga bertentangan dengan posisi masyarakat internasional atas integritas dan kedaulatan wilayah RI," ujar Marty. Di kutip berbagai media di Indonesia.

Marty lebih lanjut juga meminta pemerintah Inggris membuktikan komitmen mereka atas kedaulatan dan integritas wilayah Indonesia, termasuk di Papua, dengan menjauhkan diri dan kebijakan mereka dari kebijakan dewan Kota Oxford.

Komisi I dari Fraksi Partai Hanura, Nuning Kertopati " “Inggris Harus Tutup Kantor Free West Papua”  Dewan Perwakilan Rakyat menuntut penutupan kantor Free West Papua di Oxford, Inggris. Pemerintah perlu mendesak hal itu karena pendirian Free West Papua bisa mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI.

Angggota Komisi I dari Fraksi Partai Golkar, Tantowi Yahya, menilai pembukaan kantor Free West Papua adalah aksi strategis dari OPM. Meski cita-cita untuk memerdekakan Papua masih jauh, tapi Tantowi melihat pembukaan kantor tersebut sudah menciptakan resonansi yang hebat. "Buktinya kita semua membahas soal itu.

Jawaban Pemerintah Inggris

Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Mark Canning, mengatakan, pembukaan kantor Free West Papua di Oxford tidak mencerminkan Pandangan Pemerintah Inggris terkait masalah Papua
Dubes Inggris Untuk Indonesia Mark Canning

Canning melanjutkan bahwa Dewan Kota Oxford seperti halnya dewan-dewan lainnya di Inggris bebas mendukung tujuan apa pun yang mereka inginkan. Namun, dewan-dewan kota itu bukan bagian dari pemerintah. "Segala bentuk tindakan mereka tidak ada hubungannya dengan Pemerintah Inggris.

"Kami menghargai Papua sebagai bagian dari Indonesia dan kami ingin Papua mencapai kesejahteraan dan perdamaian, sama seperti provinsi-provinsi lainnya di seluruh Indonesia."

Katanya, "Namun, kami juga sependapat dengan pernyataan perwakilan Komisi HAM PBB Navi Pilay pada Jumat (3/5/2013) lalu yang mengatakan bahwa masih ada beberapa keprihatinan dugaan pelanggaran HAM di Papua yang harus ditangani. 
Namun, saya juga menyadari bahwa ada usaha-usaha yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan ini, seperti halnya untuk mengatasi masalah ekonomi dan pembangunan sosial dan kami sepenuhnya mendukung usaha-usaha tersebut.

Benny Wenda Aktor Pendirian Kantor OPM

Benny Wenda, Adalah putra asli papua, saat ini tinggal di inggris sebagai pengasingan, Awalnya dia lari dari penjara indonesia atas tunduhan mengorganisir masa rakyat papua dalam insiden abepura berdarah. saat itu dia sebagai aktivis dan pimpinan mahasiswa dalam melakukan aksi protes dan menuntut indonesia untuk kemerdekaan papua.
Benny Wenda Bertemu PM Inggris D. Cameron

Beberapa tahun silam Benny Wenda bersama anggota Parlement inggris dan kuasa hukum inggris meluncurkan organisasi Internasiona Parlement for West Papua (IPWP) dan Internasional Lawyer for West Papua (ILWP).

Tanggapan atas IPWP dan ILWP, Pemerintah RI juga melakukan protes terhadap pemerintah inggris dan jawabannya sama pula yakni. "Pemerintah Inggris Mendukung Kedaulatan NKRI atas Papua"

Editor: Admin Ikuti kami disini: Twitter.com

5/03/2013

UN rights chief asks RI to open Papua to int’l journalists

Papuan Protest
The latest violence carried out by the security forces in Papua and West Papua provinces on April 30 and May 1, 2013, have been met with a strong response from the United Nations. Among other things, the UN has asked Indonesia to allow international journalists to enter the country’s easternmost province.

The UN's high commissioner for human rights, Navi Pillay, expressed deep concern on Thursday over a police crackdown on demonstrators in Papua and West Papua in recent days that reportedly left several people dead.

"These latest incidents are unfortunate examples of the ongoing suppression of freedom of expression and the excessive use of force in Papua," Pillay said in a statement received by tabloidjubi.com.

Media reports state that police shot and killed two protesters in the city of Sorong, West Papua, who were preparing to mark the 50th anniversary of Papua becoming part of Indonesia, while at least 20 demonstrators were arrested in the cities of Biak and Timika on May 1, the statement said.

"There has not been sufficient transparency in addressing serious human rights violations in Papua," Pillay said, urging Indonesia to allow international journalists and UN observers into the province. 

Head of the Papua branch of the Alliance of Independent Journalists (AJI), Victor Mambor, said earlier that there was no judicial regulation to prevent foreign journalists from entering Papua.

In practice, however, they are always refused entry by a number of ministries, such as the Foreign Ministry and the Coordinating Political, Legal and Security Affairs Ministry.

“This is strange. There is no judicial regulation, but the government prevents them [foreign journalists] entry with a variety of reasons, like visa and security issues,” Victor said.

“If a few happen to enter Papua, they go undercover as tourists or with a tight escort from the security apparatus, such as BIN” he said, referring to the National Intelligence Agency.

4/29/2013

NAPAS Condemning the Ban to Commemorate the 50th anniversary of the transfer of administration of West New Guinea from UNTEA to Indonesia on 1 May 1963

National Papua Solidarity (NAPAS)  No. 17/NAPAS/stat/eks /IV/13

For Immediate Release

NAPAS Condemning the Ban to Commemorate the 50th anniversary of the transfer of administration of West New Guinea from UNTEA to Indonesia on 1 May 1963

National Papua Solidarity (NAPAS) condemns the Papuan police decision to ban the plan to organise public demonstration in Papua to commemorate the transfer of administration of then West New Guinea (now Papua) from UNTEA to Indonesia on 1 May 1963. This decision, which was also explicitly endorsed by the Governor of Papua, breached the freedom of _expression_ and association which is enshrined by the 1945 Indonesian Constitution. 
The ban also represents a reactive, paranoid and discriminative approach of the Indonesian government that limits the exercise of the civil and political rights of Papuans. Furthermore, the decision would undermine the existing processes and initiatives to find a peaceful solution for Papua conflicts. Finally, the ban to commemorate the 50th anniversary event illustrates the Indonesian government position that aims to monopolies the interpretation of Papuan history for the sake of the state, not for Papuans.

According to the 1962 New York Agreement, the Netherlands transferred the administration over West New Guinea territory to the United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), which then passed it on to Indonesia on 1 May 1963. The four main points of the New York Agreement that we would like to highlight during this 50th anniversary are as follows:

  1. The transfer was limited to “full administration responsibility,” not the transfer of sovereignty (Article XIV);
  2. During the transition period, Indonesia held the primary duty to undertake “further intensification of the education of the people, of the combating of illiteracy, and of the advancement of their social, cultural and economic development” (Article XV);
  3. At the end of 1969, under the supervision of the UN Secretary General, the act of free choice would be held for Papuans in order to determine its political status “whether they wish to remain with Indonesia; or whether they wish to sever their ties with Indonesia” (Article XVIII);
  4. Indonesia “will honor those commitments” (Article XXII para 3) to guarantee fully the rights of Papuans, including the rights of free speech and freedom of movement and of assembly (Article XII para 1).

Reflecting this historic moment of our history, we regrettably highlight the fact that Papuans were never invited to participate in any process of the formulation and implementation of the New York Agreement either by the Netherlands, Indonesia or the United Nations. We question the extent by which the Indonesian government has fulfilled its duty to provide high quality of education, health and other public services as stipulated by the New York Agreement. Furthermore, Papuans’s rights of free speech and freedom of movement and of assembly were not fully guaranteed and protected as documented in various historical reports around this transition period.

When both the Governor of Papua and the Chief of Police of Papua deliberately ban any activities of Papuans to commemorate this historic moment, history repeats itself. Papuans’s rights of free speech of free speech and freedom of movement and of assembly were not protected and guaranteed then and now. Therefore, we question both the local authorities in Papua and the national authorities of Indonesia whether they treat Papuans as citizens or just inhabitants.

Regardless of the ban, in Jakarta, NAPAS will organize the Papuan cultural night festival “One Papua, One Struggle” to mark this anniversary. We are well aware that suppressing our memory of the past not only denies our rights and freedom but more importantly, our existence. The historical reports have already revealed that the current and ongoing Papua conflicts are rooted in the very historical date, 1 May 1963, when UNTEA transferred Papua into Indonesia. But the launching of “One Papua” has a deeper meaning. After fifty years Papuans remain divided, not united, and have not developed a strong sense of solidarity among the oppressed. Taking into account this reality, the cultural night will be an opportunity for NAPAS to reflect on the ways to unify Papua’s struggle for its liberation and to strengthen solidarity among the oppressed Papuans as well as to mark 1 May as the day to unify Papuan solidarity.


Media Contact: Zely Ariane, Coordinator of NAPAS (Mobile +62- 8158126673)

4/03/2013

Indonesia keberatan terhadap HAM Sebagai Syarat Perjanjian Perdagangan senjata di PBB

Merlu RI Marty Natalegawa
Jakarta,-- Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan pada hari Rabu bahwa keputusan Indonesia untuk abstain untuk persetujuan Majelis Umum PBB mengenai perjanjian perdagangan senjata global, Indonesia keberatan untuk rancangan perjanjian, katanya yang dibutuhkan eksportir untuk menilai catatan hak asasi manusia dari pembeli potensial mereka.

"Posisi Indonesia dalam masalah ini jelas. Kami mendukung gagasan tentang perlunya sebuah perjanjian untuk mengelola atau mengatur perdagangan internasional senjata, "kata Marty di Istana Negara.

"Tapi masalahnya adalah, perjanjian draft yang dibawa ke Majelis Umum PBB untuk pemungutan suara kemarin berisi konsep persyaratan di mana senjata eksportir harus menilai hak kondisi manusia di negara-negara pembeli," tambahnya.

Namun, Marty membantah bahwa Indonesia khawatir tentang persepsi internasional terhadap catatan hak asasi manusia di negara itu termasuk kami (RI) katanya, dan bahwa hal ini bisa menghambat pengadaan senjata dengan mitra dagangnya.

"Perhatian kami adalah bahwa rancangan perjanjian akan memungkinkan negara-negara eksportir secara sepihak menilai apakah suatu negara menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan mereka akan menggunakannya untuk menentukan kelayakan negara untuk membeli senjata. Hal ini sangat sepihak, "kata Merlu RI.

Menurut Marty, wewenang untuk membuat penilaian semacam itu hanya akan menjadi milik "kelompok netral yang berisi orang-orang terkemuka dengan keahlian yang relevan untuk penilaian".

Marty mengatakan Indonesia berharap bahwa perjanjian bisa mengakomodasi pembentukan sebuah kelompok netral.

Resolusi, yang mengatur perdagangan internasional senjata konvensional, menerima 154 suara setuju. Tiga negara anggota - Iran, Korea Utara, dan Suriah - memilih menentang keputusan tersebut. Indonesia bergabung dengan 22 negara lain yang abstain.

3/12/2013

Organisasi HAM menyerukan kepada HAM PBB Masalah Eskalasi kekerasan di Papua Barat

Dewan HAM PBB di Jenewa / Foto Vmision
Oleh: Christopher Dinding
The Dewan HAM PBB di Jenewa / Foto: Amerika Serikat Mission Jenewa, melalui Wikimedia Commons
Geneva NewsToday-- Termasuk VEM dan Papua Barat network - Dalam sebuah pernyataan kepada Dewan HAM PBB hari ini, berbagai organisasi hak asasi manusia telah menyatakan keprihatinan mereka pada eskalasi kekerasan di Papua Barat." 
"Di bawah kedok anti-terorisme strategi sejak musim panas lalu ada gelombang penganiayaan terhadap aktivis politik dan pembela HAM dan pembela, kebebasan berpendapat. Dengan penangkapan sewenang-wenang dan tanpa dasar hukum dan Mereka mempertanyakan dan harus dihentikan. yang di kutip http://www.vemission.org/   selasa 13/03/13."

Penyiksaan di penjara
"Pada tanggal 21 Januari 20 tahanan di penjara Abepura terkenal, di mana para tahanan politik ditahan banyak orang Papua dan telah disiksa. Dia telah dipukuli dengan Elektrojabeln. Meskipun itu adalah hal yang baik bahwa dalam episode setidaknya Gefängsnisleitung itu telah ditangguhkan".  

"Namun, dalam rangka untuk mengakhiri iklim impunitas di Papua Barat pada prinsipnya, perlu bahwa pelaku akan bertanggung jawab dan dengan mereka semua yang lain yang menyiksa, pelecehan, mengintimidasi atau bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia".

Berdasar tuduhan
"Berada di kasus lain 15 Februari menangkap tujuh di Papua Depapre dan dibawa ke kantor polisi di ibukota provinsi Jayapura. Bahkan para tahanan yang dituduh kontak dengan aktivis terendam telah disiksa selama interogasi. Lima dari mereka yang ditangkap dibebaskan keesokan harinya, Daniel Gobay dan Matan Klembiab tidak berdasar tetapi kepemilikan senjata tajam didakwa".

Pastor ditangkap"Pada tanggal 2 Maret adalah pastor Gobai Yunus, mantan kepala Kingmi Nabire Gereja Maranatha, di Pania kabupaten dipukuli oleh polisi dan ditangkap. Meskipun menurut template Asian Human Rights Commission ada tuduhan bahwa polisi telah menuntut masih satu juta rupee (sekitar 80 euro) untuk pembebasannya".

Kekerasan Mematikan
"Yang bertanda organisasi menyayangkan eskalasi terus kekerasan di Papua Barat. Pada tahun lalu telah terjadi kasus kekerasan antara pasukan keamanan Indonesia, milisi dan warga sipil, di mana beberapa kematian di semua sisi".  
"Pemerintah Indonesia diminta sehingga untuk menerima proses perdamaian penuh dan setara, dalam rangka untuk memutus siklus kekerasan. Dalam konteks ini perlu disambut bahwa Presiden Indonesia telah menyatakan beberapa kali untuk berdialog dengan orang Papua".

Rekomendasi oleh Hak Asasi ManusiaOrganisasi HAM merekomendasikan kepada Dewan HAM PBB untuk mendesak pemerintah Indonesia untuk:
  1. Aktif untuk dialog damai dengan penggunaan Papua bawah iringan netral, sebagai aktivis perdamaian dan non-pribumi penduduk permintaan Papua Barat, sehingga ada solusi yang berkelanjutan bagi masyarakat di Papua Barat".
  2. "Untuk memungkinkan pergerakan bebas untuk Papua, tidak hanya untuk wisatawan, tetapi juga bagi wartawan asing, sebagai pengamat independen telah menyerukan untuk beberapa waktu. Hanya sebagai pelaporan independen mungkin - wartawan lokal hidup melalui laporan kritis dalam bahaya konstan".
  3. Semua tahanan politik dibebaskan, sehingga membuat dialog yang tulus dan partisipatif dengan semua kelompok yang relevan bisa.
Published News: http://www.vemission.org/


2/20/2013

Asian Human Rights Commission to call on UN over alleged torture in West Papua

Papuan freedom activist
The Asian Human Rights Commission says it is writing to the UN Special Rapporteur on Torture about the arbitrary arrest and torture of seven West Papuans.

The arrests took place near Jayapura, the capital of Indonesia’s Papua province late last week.

The group of seven were stopped in traffic by police looking for two pro-independence activists.

The Commission says the Papuans were brought to the police station where they were further questioned on the whereabouts of the activists.

They were severely beaten, kicked and electrocuted before being five of them were released without charge the next day, with two reportedly still in police custody.

The Commission has called on Indonesian authorities to investigate and for medical assistance to be directed to the group who were arrested for the injuries they sustained.

News Content © Radio New Zealand International

12/07/2012

Sejarah Akan Memerdekakan Rakyat Papua ( 95% orang Papua mau merdeka)


Duta Besar Pemerintah Amerika Serikat untuk Indonesia, pada bulan Juni 1969 kepada anggota Tim PBB, Dr. Fernando Ortiz Sanz, secara rahasia mengakui: “ 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua.” (Sumber Dok: Jack W.Lydman’s Report, Juli 18, 1969, in AA). Sedangkan, Dr. Fernando Ortiz Sanz, perwakilan PBB untuk mengawasi pelaksanaan PEPERA 1969 melaporkan: “Penjelasan orang-orang Indonesia atas pemberontakan Rakyat Papua sangat tidak dipercaya. Sesuai dengan laporan resmi, alasan pokok pemberontakan rakyat Papua yang dilaporkan administrasi lokal sangat memalukan. Karena tanpa ragu-ragu, penduduk Irian Barat dengan pasti memegang teguh berkeinginan merdeka” (Laporan Resmi Hasil PEPERA 1969 Dalam Sidang Umum PBB, alinea 164, 260). Lebih tegas, Fernando Ortiz Sanz, menyatakan: “Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran Negara Papua Merdeka.” ( Dokumen resmi PBB, Annex I, A/7723, alinea, 243, hal. 47).

Sementara kesaksian pelaku dan saksi sejarah yang dikirim oleh Pemerintah Indonesia untuk memenangkan PEPERA 1969, Piter Sirandan (alm), pada awal Desember 2009 setelah membaca buku saya: “Permusnahan Etnis Melanesia” (2007) dan “Suara Bagi Kaum Tak Bersuara” (2009) menyatakan penyesalannya kepada saya: “ Pak Yoman, saya tiba di Jayapura, 1 Desember 1964.

Kami orang Indonesia benar-benar menipu orang-orang Papua yang mau berkata benar pada waktu itu. Kami benar-benar menipu orang Papua. Kami benar-benar menindas orang Papua. Kami benar-benar merugikan masa depan orang Papua. Kami benar-benar tidak menghargai hati nurani orang Papua untuk benar-benar mau merdeka. Kami mengetahui bahwa pada waktu pelaksanaan PEPERA 1969 itu, orang-orang Papua benar-benar mau merdeka. Saya mengetahui bahwa 100% orang Papua mau merdeka. Impian dan harapan mereka, benar-benar kami hancurkan. Pada waktu itu, saya mendapat hadiah uang sebesar Rp 7.000.000; dari Pemerintah Indonesia karena saya dianggap berhasil menipu orang Papua dan memenangkan PEPERA 1969. Karena itu, sekarang saya sangat mendukung perjuangan orang Papua untuk merdeka” ( baca: Dumma Socratez Sofyan Yoman: Integrasi Belum Selesai: 2010: hal.91-92, dan Socratez Sofyan Yoman: Gereja dan Politik di Papua Barat: 2011, hal. 21)

Bertolak dari kutipan laporan resmi PBB ini dan pengakuan pelaku sejarah di atas, pertanyaan yang perlu saya ajukan di sini adalah: Pertama, apakah sejak 1963-2012 dalam kurun waktu 49 tahun pendudukan pemerintahan Indonesia di Papua telah menurunkan jumlah keinginan rakyat Papua mau merdeka dari 95% atau jumlah mayoritas itu ke level 10 % atau sebaliknya justru dari 95% telah meningkat tajam melebihi 95% untuk keinginan merdeka dan berdiri sendiri? Kedua, Apakah benar hanya segelintir orang asli Papua yang mendukung Papua merdeka dan mayoritasnya mendukung dan memperkuat pendudukan dan penjajahan pemerintah Indonesia di Tanah Papua?

Kita menjawab pertanyaan ini dengan fakta, bukti atau realitas bukan ilusi dan imajiner.
Contoh-contoh realitas. Pertama, Pada Konferensi Perdamaian Papua pada 5-7 Juli 2011 di Auditorium Uncen Jayapura yang diselenggarakan oleh Jaringan Damai Papua (JDP). Para pembicara adalah Menkopolhukam, Gubernur, Kapolda, Pangdam XVII Cenderawasih, Uskup Dr. Leo Laba Ladjar, OFM., Dr. Tonny Wanggai, Dr. Pdt. Benny Giay dan Saya (Socratez Sofyan Yoman). Pada saat giliran dari perwakilan KODAM XVII untuk menyampaikan materi, pembicara diberikan kesempatan dan mengambil tempat di podium oleh moderator. Sebelum pembicara menyampaikan materi, ada komanda seperti ini: “Saudara-saudara, kalau saya sebut kata “Papua”, saudara-saudara peserta menyahut dengan kata “Damai”. Pembicara dari Kodam ini sebut Papua dan peserta menjawab dengan Merdeka. Pembicara sebut Papua: Peserta menjawab: Merdeka. Dan terakhir ketiga kalinya: Pembicara sebut Papua dan peserta menyambut dengan kata Merdeka.

Kedua, Pada tanggal 17-19 Oktober 2011, Rakyat Papua berkumpul di lapangan sepak bola Zakeus Padang Bulan Abepura dan menyatakan merdeka dan berdiri sendiri sebagai bangsa berdaulat di atas tanah leluhurnya.
Ketiga, Pada tanggal 10 Januari 2012, saya dengan Pendeta Marthen Luther Wanma mengadakan pertemuan dengan rakyat Manokwari di Gereja GKI Effata Manokwari untuk memberikan penjelasan hasil pertemuan kami dengan bapak Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono, di Cikeas, 16 Desember 2011. Sebelum kami memberikan penjelasan, saya mengajukan satu pertanyaan sebagai seorang gembala umat kepada umat atau domba-domba yang hadir. Pertanyaan saya sebagai berikut: “ Saudara-saudara, siapa-siapa yang mau merdeka di atas tanah leluhur orang Melanesia ini?” Seluruh rakyat yang hadir serentak berdiri dan angkat tangan dan mengatakan merdeka….merdeka…..merdeka….”. Yang tidak berdiri hanya 3 orang PNS, salah satunya adalah Bapak Sekda Kabupaten Manokwari.

Keempat, Pada tanggal 20 Januari 2012 pertemuan dengan rakyat di Sorong dengan tujuan yang sama. Pada pertemuan itu yang mewakili Danrem Sorong dan Kapolreta Sorong hadir untuk mengikuiti penjelasan itu. Saya mengajukan pertanyaan yang sama. Saudara-saudara, siapa-siapa yang mau merdeka di atas tanah leluhur orang Melanesia ini? “ Seluruh hadirin yang memenuhi ruangan itu berdiri dan angkat tangan dan mengatakan: merdeka… .merdeka…… merdeka…….. merdeka…..”. Yang tidak berdiri hanya bapak yang mewakili Danrem dan Kapolresta Sorong.

Apakah ini dikatakan segelintir orang? Ini masalah hak politik dan demi masa depan bangsa Papua. Kekuatan rakyat ini, tidak bisa kita bendung. Berapapun jumlahnya. Kita harus memberikan ruang untuk rakyat Papua. Karena sudah lama mereka menderita. Saudara-saudara, ini fakta. Ini bukti.Ini realitas. Ini di depan mata kita. Ini dibicarakan dalam era Otonomi Khusus yang GAGAL itu. Ini dibicarakan di tempat resmi. Ini disampaikan dengan jujur dan sopan kepada pejabat resmi. Tidak bicara ditempat sembunyi-sembunyi. Tidak dibicarakan di hutan-hutan. Ini bukti kejujuran. Ini bukti keterbukaan sebagai bangsa yang bermartabat. Pejabat Indonesia, Pemerintah dan aparat keamanan bukalah hati nuranimu sebagai manusia.

Para pembaca yang terhormat dan yang mulia, ijinkan saya mengutip kembali opini saya di Bintang Papua, Selasa, 14 Februari 2012, hal.5 dan Pasific Post, hal.12 ) dengan topik: PEPERA 1969, OTONOMI KHUSUS 2001, UP4B 2011. “ Para pembaca opini ini, Anda percaya atau tidak. Anda akui atau tidak. Anda suka atau tidak suka. Anda senang atau tidak senang. Saya TAHU, saya SADAR, saya MENGERTI, saya PERCAYA dengan IMAN, bahwa CEPAT atau LAMBAT nubuatan ini akan terwujud, hanyalah persoalan waktu. “Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi,dan marifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” (Pdt. Izaac Samuel Kijne, Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925).

Karena itu, solusi terbaik yang berprospek damai dan manusiawi yang saya usulkan sebagai bahan pertimbangan pemerintah Indonesia ialah: Pertama, Pemerintah Indonesia dengan jiwa besar harus mengakui kekagagalan dan kesalahan terhadap penduduk asli Papua sejak 1 Mei 1963 sampai hari ini dan harus mengakhiri pendudukan dan penjajahan di atas Tanah Papua. Kedua, Pemerintah Indonesia dan Rakyat Papua harus membuat perjanjian-perjanjian kerja sama dalam bidang : ekonomi, keamanan, politik dan bagaimana nasib orang-orang Melayu, Indonesia yang sudah lama berada di Papua dan termasuk penduduk Transmigrasi. Ketiga, saya ingatkan kepada pemerintah dan aparat keamanan, walaupun di Tanah Papua akan dibangun sejumlah infrastruktur milite di darat, dilaut dan di udara dan datangkan para pendatang tanpa terkendali di Tanah Papua untuk menekan orang asli Papua, tetapi saya katakan kepada Anda semua: “ Dunia tidak berada dalam pengawasan dan kontrol Indonesia. Indonesia sekarang sedang dipantau dan dikontrol dengan ketat setiap detik.” Ini awasan sejak dini dari seorang gembala umat, supaya Indonesia harus baik-baik dan perbaiki relasi yang manusiawi dengan penduduk asli Papua, pemilik tanah dan negeri ini. Supaya Indonesia diberkati dan dikasih oleh Tuhan.

Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan yang bertugas di Tanahnya orang Melanesia Papua ini diharapkan supaya mempelajari dan merenungkan nubuatan ini. ”Di Tanah ini, kita bekerja di antara satu bangsa (Papua) yang kita tidak tahu apa maksud TUHAN buat bangsa ini. Di Tanah ini, kita boleh pegang kemudi tetapi kita tidak menentukan arah angin, arus, dan gelombang di laut serta tujuan yang hendak kita capai di Tanah ini. Siapa yang bekerja dengan jujur, setia, dan dengar-dengaran pada Firman Allah di Tanah ini, maka ia akan berjalan dari satu pendapatan heran yang satu ke pendapatan heran yang lain” ( Pdt. Isaac Samuel Kijne, Holandia Binnen, Numbay/Abepura, 26 Oktober 1956).

Sebenarnya, Otonomi Khusus 2001 adalah kesempatan emas dan peluang terakhir bagi Indonesia untuk membangun kembali kepercayaan (trust) dan memulihkan hubungan harmonis dengan rakyat Papua, tapi sayang, OTSUS GAGAL. Pemerintah Indonesia selalu memakai kaca mata lama yaitu kecurigaan yang berlebihan kepada orang-orang asli Papua dengan memelihara stigma separastime selama ini, dan hasilnya bayi Papua merdeka terus bertumbuh dan berkembang di hati rakyat Papua.
Selama kurun waktu sejak 1 Mei 1963-2012 ini, hampir 49 tahun, Pemerintah Indonesia telah gagal meminimalisasi (menurunkan) atau setidaknya menghilangkan tuntutan rakyat Papua untuk merdeka yang mencapai 95% tahun 1969. Kurun waktu 49 tahun adalah waktu yang cukup panjang tapi Pemerintah Indonesia gagal dan hanya berhasil menunjukan wajah dan watak kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang suram terhadap penduduk asli Papua.
Pemerintah Indonesia telah gagal menjaga martabat dan kedaulatan manusia Papua sehingga tidak berhasil menurunkan tuntutan rakyat Papua dari mayoritas ke level minoritas atau segelintir orang. Pemerintah Indonesia hanya sukses mengintegrasikan ekonomi dengan kekuatan politik dan keamanan ke dalam Indonesia tapi manusia Papua disingkirkan dari tanah leluhur mereka dan dibantai seperti hewan dengan stigma anggota OPM dan pelaku makar. Akhirnya, ”…. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri.” Dan tergenapilah seperti Sudjarwo mengakui: “ banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia.” (Sumber: Laporan Resmi Sidang Umum PBB MM ex.1, alinea 126). Shalom. Selamat membaca. Tuhan memberkati.

CATATAN BUAT ALEX MEBRI; KAU BACA BIAR KAU PAHAM
Published By. Hakim Pahabol in AKunter www.Facebook.com/HakimPahabol