This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tampilkan postingan dengan label Free West Papua. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Free West Papua. Tampilkan semua postingan

8/06/2014

Wanimbo: Jangan Kriminalisasikan TPN/OPM, Kami Berperang Dengan Pasukan TNI/Polri.

TPN/OPM
Jayapura, Sudah hari ke lima Perang gerilya antara TPN/OPM vs TNI/Polri yang sedang berlangsung di pirime kab. Lanny jaya,
Ketika media ini tanyakan via telp! Tentang motip di balik penembakan ini.

Kom.Enden wanimbo dengan tegas katakan bahwa, kami bukan aksi kriminal atau teroris, kami perang gerilya, kami lawan pasukan indonesia, kami tembak bukan warga sipil namun aparat TNI/Polri, ini perang, kami baku lawan senjata dengan senjata, kami bukan sipil bersenjata, kami juga anggota Tentara Pembebasan Nasioanl (TPN) Papua barat, kata Enden. Wanimbo 03/08 yang di hubungi blog ini via telp.

6/15/2014

Pemantau PBB Didesak Untuk Diizinkan Masuk Provinsi Papua di Indonesia

Ringkasan ini tidak tersedia. Harap klik di sini untuk melihat postingan.

3/09/2014

Oceania Interrupted, Dari Bangsa Maori Untuk Perjuangan Bangsa Papua Barat

  
Jayapura, 9/3 (Jubi) – Sebuah aksi intervensi masyarakat Maori di New Zealand untuk mendukung perjuangan Rakyat Papua Barat dilakukan ditengah Festival Pasifika di Auckland.

Aksi yang disebut Oceania Interrupted Action 3 Free Pasifika – Free West Papua ini dilakukan oleh 14 orang perempuan Maori, yakni Marama Davidson, Ruiha Epiha, Talafungani Finau, Leilani Kake, Moe Laga-Fa’aofo, Genevieve Pini, Amiria Puia-Taylor, Leilani Salesa, Luisa Tora, Mele Uhamaka, Asenaca Uluiviti, Leilani Unasa, Julie Wharewera-Mika, Elyssia Wilson-Heti.

Aksi ini, menurut salah satu penampil, dilakukan sebagai intervensi publik dalam Festival Pasifika ini, untuk memberi dukungan bagi perjuangan rakyat Papua menentukan nasibnya sendiri.

“Mulut kami yang ditutup dengan bendera Bintang Kejora adalah simbol pembungkaman di Papua Barat.” kata Marama Davidson, salah satu penampil, kepada Jubi. Minggu  (9/3) melalui sambungan telepon.

Keempatbelas perempuan Maori ini memang menutup mulut mereka dengan Bendera Bintang Kejora ukuran kecil dan mengenakan pakaian adat Maori.

“Kebebasan kami sebagai orang Māori dan perempuan Pasifik di Aotearoa, Selandia Baru terikat dengan saudara-saudara Pacific kami di Papua Barat.” tambah Julie Wharewera-Mika, penampil lainnya.

Menurut Julie dan Marama, tangan mereka yang terikat melambangkan terkekangnya kebebasan rakyat Papua Barat.
 

Dalam aksi ini, para penampil hanya bergerak secara minim dan tanpa suara. Ini untuk melambangkan kurangnya kebebasan berekspresi dari pendapat politik, kurangnya akses ke sumber daya yang adil dan merata, kurangnya akses ke media yang bebas dan independen yang dialami rakyat Papua Barat. Sementara tubuh para perempuan Maori ini dihiasi dengan warna hitam untuk merayakan eksistensi perempuan sekaligus sebagai simbol berkabung

Aksi Oceania Interrupted Action 3 Free Pasifika – Free West dilakukan Sabtu, 8 Maret kemarin di Western Springs Lakeside Park, Auckland. Ribuan orang datang ke Auckland untuk menyaksikan Festival Pasifika yang dipusatkan di Western Springs Lakeside Park. (Jubi/Victor Mambor)
 
Terima Anda Sudah Kunjungi Blog Alternatif KNPB, Jika Tidak Keberatan Apa Tanggapan Atau komentar Anda Tentang Berita ini?

5/18/2013

Lobi Papua merdeka 'digalakkan' di luar Indonesia

Benny Wenda menuturkan lobi untuk memerdekakan Papua semakin intensif dan dikoordinasikan melalui kantor baru kelompok separatis Free West Papua di Oxford.

Sejak namanya dicabut dari daftar Red Notice Interpol pada 2012, pemimpin kelompok Papua Merdeka itu melakukan lobi ke berbagai negara, antara lain Australia, Selandia Baru, negara-negara lain di Pasifik dan awal pekan depan dijadwalkan berkunjung ke Amerika Serikat.

Ia menyebut kunjungannya ini sebagai tur dunia untuk menggalang dukungan.

"Secara politik kami harus merdeka dari bangsa Indonesia. Itu tujuan dari perjuangan saya, karena selama 50 tahun bersama Indonesia kami dibunuh, kami dipenjarakan, kami diintimidasi, kami dipukul," kata Benny Wenda dalam wawancara telepon dengan BBC pada Sabtu (18/05).

Pihak-pihak yang ia temui, lanjutnya, meliputi pemerintah, anggota parlemen, lembaga swadaya masyarakat maupun individu yang bersimpati.

Koordinasi di kantor baru

Ketika ditanya bagaimana ia menggalang dukungan sementara di Papua terdapat berbagai kelompok, Benny Wenda mengakui berbagai organisasi di Papua bergerak dengan cara dan gaya mereka sendiri.
"Karena di situ kami ada semua kesepakatan teman-teman, juga busy (sibuk) dan saya sendiri juga busy perjalanan. Saya sendiri juga baru kembali kemarin malam jadi saya tidak ada waktu." Benny Wenda

"Untuk internasional, bagaimana saya harus melakukan lobi-lobi secara damai untuk menyampaikan ke dunia bahwa perjuangan kami ini, kami menuntut hak kami secara damai supaya melihat kembali akar persoalan," jelasnya.

Prinsipnya ia berpendapat integrasi Papua ke wilayah Indonesia melalui penentuan pendapat pada 1969 adalah cacat karena hanya diwakili segelintir penduduk Papua.

Kampanye, menurut Benny Wenda, kini diharapkan dapat dikoordinasikan melalui kantor barunya yang dibuka pada 28 April lalu di Oxford, Inggris. Pembukaan kantor Free West Papua antara lain dihadiri oleh walikota setempat dan seorang anggota parlemen.

Pembukaan itu sontak menuai kecaman di Indonesia. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa sampai merasa perlu Klik memanggil Duta Besar Inggris Mark Canning.

Akses BBC ditolak

Menlu menyatakan pembukaan kantor kelompok yang mendukung Papua merdeka berlawanan dengan hubungan persahabatan Indonesia dan Inggris. Namun Duta Besar Inggris mengatakan negaranya mendukung kedaulatan Indonesia dan tidak mendukung aksi kelompok yang berupaya untuk memerdekakan Papua.

BBC menyampaikan permintaan untuk melakukan wawancara dan memotret di kantor Free West Papua di Oxford, tetapi permintaan akses tersebut ditolak.

"Karena di situ kami ada semua kesepakatan teman-teman, juga busy (sibuk) dan saya sendiri juga busy perjalanan. Saya sendiri juga baru kembali kemarin malam jadi saya tidak ada waktu," kata Benny Wenda dalam wawancara lewat telepon. 

Ia juga menolak memberikan gambaran rinci mengenai kantornya dan hanya menyebutkan kantor dioperasikan oleh tujuh orang staf ditambah relawan.

5/10/2013

Kantor OPM di Oxford Tidak Bisa Ditutup

Marinus: Kecuali Benny Wenda CS Lakukan Tindakan Merugikan Negara Inggris

Photo ilustrasi Free West Papua
JAYAPURA - Sudah hampir seminggu belakangan ini, pendirian kantor Perwaklan OPM di Oxford, Inggris, masih terus menjadi perbincangan hangat, tidak hanya di tingkat nasional, namun juga di Papua.

Menyusul pernyataan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua, Stevanus Siep,SH, bahwa penderian Kantor Perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Kota Oxford-Inggris tidak memiliki legalitas hukum yang jelas, mendapat tanggapan serius dari Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik Universitas Cenderawasih, Marinus Yaung.

Dosen Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Uncen Jayapura ini mengatakan, Kantor Perwakilan OPM di Kota Oxford Inggris tidak bisa ditutup. Alasannya, pertama, Benny Wenda dan kawan-kawannya sebelum mendirikan Kantor Perwakilan OPM tersebut, mereka telah membentuk dan mendirikan satu badan hukum yang bernama Free West Papua.

Ditegaskannya, di Inggris suatu pendirian sesuatu yang berbadan hukum, pengurusan surat ijinnya rumit dan memakan waktu yang lama. Kalau badan hukumnnya adalah lembaga yang memperjuangkan kepentingan warga di Inggris sendiri, surat ijinnya cukup dikeluarkan oleh pemerintah lokal dengan mendapatkan persetujuan parlamen lokal, dan waktu pengurusannya paling lama tiga bulan.

Tetapi kalau badan hukumnnya dengan tujuan didirikannya untuk memperjuangkan kepentingan warga Negara asing di luar Inggris seperti Badan Hukum Free West Papua, itu prosesnya harus mendapat surat ijin pemerintah lokal dan parlamen lokal, kemudian disampaikan ke pemerintah Inggris dan parlamen Inggris untuk mendapatkan persetujuan waktu yang dibutuhkan dalam proses pendirian badan hukum seperti Free West Papua ini paling lama dua tahun.

“Jadi kalau sampai KBRI Indonesia di London tidak mengetahui proses pendirian Kantor Perwakilan ini, berarti itu sangat keterlaluan dan kegagalan besar dalam diplomasi Indonesia,” ungkapnya kepada Bintang Papua, di kediamannya, Jumat, (9/5).

Bahkan disini, jika ada yang bilang dasar legalitas hukum Kantor Perwakilan OPM ini tidak jelas, itu bahasa yang keliru dan tidak memahami sistem politik dan pemerintahan di Inggris. Dan jika dikatakan tidak mempunyai dampak yang kuat terhadap perjuangan Papua menuju kemerdekaan, dirinya perlu mengingatkan bahwa politik Internasional mengenal satu gaya politik yang paling ditakuti yakni politik domina atau domino effect. Yakni kalau kartu yang satu sudah jatuh, misalnya kartu AS atau Joker, maka kartu-kartu domino lain akan jatuh juga.

Politik semacam ini berakar dan bermula dari Inggris, kemudian dikembangkan oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Kissinger dalam strategi perang dingin dengan Uni Siviet-Inggris. Dengan demikian, sesungguhnya kartu AS atau Joker dalam perjuangan Papua Merdeka.

Alasan lainnya adalah Benny Wenda dan kawan-kawannya yang mendirikan Kantor Perwakilan OPM adalah warga Negara Inggris, bukan penduduk ilegal. Karena status warga Negara seperti itu, maka tentunya Pemerintah Inggris tidak bisa mencampuri aktivitas ekonomi, politik, sosial dan aktivitas keseharuan warga negaranya.

Pemerintah Inggris hanya bisa mencampuri aktivitas pribadi warga negaranya apabila diminta oleh bersangkutan atau yang bersangkutan melakukan extra ordinary crime yang merugikan Negara secara luas. Jadi selama Benny Wenda dan kawan-kawannya beraktivitas dengan Kantor OPM, pemerintah Inggris tidak bisa mencampuri aktivitas mereka karena pemerintah akan dianggap melanggar hukum yang dibuatnya sendiri.

“Jarang di Inggris kita melihat pemerintahnya melanggar hukumnya sendiri. Tapi kalau di Negara kita, itu hal yang lumrah karena di Indonesia, hukum dibuat untuk dilanggar sendiri oleh pembuatnya. Jadi aktivitas OPM, kantornya akan tetap berjalan di Inggris. Bisa tutup apabila teman-teman OPM di Inggris melakukan tindakan kekerasan, pemboman, sabotase dan lainnya yang merugikan Negara,” tukasnya.

“Selama seperti itu, maka kantor OPM tetap beroperasi, dan Kota Oxford perlu pembaca ketahui bahwa selain Kantor OPM, juga Kantor Perwakilan Perjuangan orang-orang Skotlandia dan Kantor Perjuangan orang-orang Irlandia Utara yang ingin merdeka dari Inggris,” sambungnya.

Berikutnya, mereka yang mensponsori atau berada di belakang pendirian Kantor Perwakilan OPM di Inggris adalah LSM-LSM Internasional yang tersebar di beberapa Negara Eropa, Amerika, Australia dan individu-individu yang berpengaruh di dunia seperti Pdt. Desmond Tutu dari Afrika Selatan.

Kekuatan Sponsorship di balik Benny Wenda inilah yang menurut hematnya bahwa mendatangkan beban moral terhadap pemerintah Inggris agar ikut juga merasakan dan memahami suasana kebatinan orang-orang di Tanah Papua yang masih hidup dibawah penindasan dan penderitaan yang berkepanjangan seperti Afrika Selatan di masa penerapan politik Apartheid.

Karena beban psikologis inilah yang kemungkinan pemerintah Inggris tidak bertindak mencegah pembukaan Kantor Perwakilan OPM dan tidak mungkin juga untuk menutupi operasional Kantor OPM dimaksud.(nls/don/l03)

Sumber: Bintang Papua
 

5/07/2013

West Papua: Indonesia uses soldier deaths to escalate conflict

 
Free Papua Movement members. Eight Indonesian soldiers were killed on February 21 in West Papua. The attacks were claimed by the armed wing of the Free Papua Movement (TPN-OPM).

The attacks came after a series of violent crackdowns by Indonesian authorities on a growing movement of peaceful protest by Papuans calling for end to Indonesian occupation and for self-determination. 

In the first attack, a military post in Tingginambut, Puncak Jaya, was raided. One soldier was killed and another injured. 

About an hour later, another armed group ambushed Indonesian soldiers. Seven soldiers and four civilians being escorted by them were reported killed. 

The Jakarta Globe reported that Papua Police Chief Tito Karnavian said Goliat Tabuni, head of TPN-OPM, had personally claimed responsibility for the killings in a phone call, linking the attacks to the recent district elections. The election ballots were due to be counted two days after the attacks. 

The TPN-OPM, however, released a statement that day denying any link to the elections. The statement, signed by Teryanus Satto, claimed the shooting of soldiers in Puncak Jaya was carried out by the TPN-OPM under its commander, General Goliat Tabuni, and had nothing to do with the district's elections or anywhere else in Papua.

However, it said the TPN-OPM “do reject the programs of the Indonesian government, including the district elections in Puncak Jaya or elsewhere in Papua land”. 

In a statement to West Papua Media, TPN-OPM spokesperson Nikolas Tabuni said the area of the new military post is “formally claimed to be owned by the TPN OPM” and is “under indigenous customary law of the indigenous community of that area”. 

Tabuni said the Indonesian military ignored TPN-OPM’s letter asking for the post to be abandoned, leading to the attack.

The Jakarta Globe reported newly elected governor Lukas Enembe saying the problems in the province were as much due to high unemployment, poverty, and underdevelopment, as pro-independence and anti-government sentiments.

The paper said the Central Statistics Bureau found the poverty rate in Papua province was 31% as of September last year. More than 1.1 million people in the territories two provinces live below the poverty line.
Enembe said: “As long as Papua is still seen as a land to make profit, the problems here will not go away.” 

He also drew attention to rampant corruption impeding development. The Jakarta Post reported that this was raised by the Regional Representatives Council (DPD). Papua DPD member Ferdinanda Ibo Yatipay said: “Ten years after the granting of special autonomy status [to West Papua], no new infrastructure in the transportation, education and health sectors has been built, while the largest chunk of special autonomy funds has been used to finance the bureaucracy or been stolen by corrupt local elites and powerful officials from Jakarta.” 

DPD deputy chairperson Laode Ida also urged the withdrawal of non-garrison, elite troops from West Papua as essential to stopping the violence, saying, “Their presence and their irregular operations have triggered attacks on garrison troops and innocent civilians”.

Indeed, the Jakarta Post reported Indonesian Military (TNI) commander Admiral Agus Suhartono acknowledging that the soldier killed in Tingginambut was a member of the army's Special Forces Command (Kopassus). This unit’s activities have drawn condemnation from human rights groups for atrocities committed throughout Indonesia, as well as West Papua.

However, Suhartono denied that Kopassus' presence at the military post meant the force had been carrying out special operations in the region, saying: “The slain Kopassus member had been stationed there for quite a long time.”

The Jakarta Globe reported that President Susilo Bambang Yudhoyono told a cabinet meeting that the government would seek to improve the living standards of Papuans and would not use a military approach to restore peace in the affected provinces. 

However, Djoko Suyanto, the coordinating minister for political, legal and security affairs, said in a press conference that the government is prepared to send more weapons and made it clear that the government has “a clear and firm stance on any party who is trying to disrupt public security or refuses to acknowledge the sovereignty of the unitary state of Indonesia in Papua”.

Despite the president's words, Indonesia's devotion to protecting its "unitary state" despite the wishes of the Papuan people who were forcibly incorporated into Indonesia in a fraudulent "act of free choice" in 1969 means the wishes of the Papuan people will continue to go unheeded.

In its statement on its attacks, the TPN-OPM said it was, “not asking for anything from the government of Indonesia. TPN-OPM demands the political rights of the Papua nation for independence and to be fully sovereign so that they sit equal with other countries in the world.”

West Papua Regional Legislative Council deputy chairperson Jimmy Demianus Ijie said in the Jakarta Globe: “We've never enjoyed Indonesia's independence. What we have is only blood and tears.

“Let's talk about our unity. Why is the government afraid of opening a dialogue with Papua? Today, there are many military personnel in plain clothes in Papua, as if a big war is happening here.” 

He said the Papuan people love Indonesia, but want to be freed from poverty and to look after the interests of future generations.

Ijie calls for dialogue and equality within the Indonesian state, but reports of a huge military operation in the areas of the shootings shows why many Papuans support independence as the solution to the conflict. 

West Papua Media said that at least 1000 TNI troops are occupying villages around Puncak Jaya, searching for suspects to the shootings. Villagers are being forced to hand over food and subjected to interrogation.

It seems that Yudhoyono’s benevolent words are not being realised on the ground. According to WPM sources, as of February 26, at least 18 houses, five churches, two schools and a library have been razed by the combined police/TNI forces.

Animals and food gardens are also being destroyed, sparking fears of an impending humanitarian disaster. Thousands of local people have already fled their homes. The occupied villages could potentially be used as staging posts for destroying the TPN.

Harsono: Ini Cerita Antara Negara Vs Pemerintah Terkait Kantor Free West Papua Dibuka di Inggris

Peresmian kantor Free West Papua / Photo FWPC
Holandia News,-- Koordiantor Diplomasi Internasional Papua Merdeka, Benny Wenda bersama para simpatisan membuka kantor Free West Papua di Oxford pada 26 April 2013 lalu. Pembukaan kantor itu mendapatkan reaksi keras dari berbagai pihak di Jakarta.

Secara resmi Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa memanggil Duta Besar Inggris Mark Canning untuk menyampaikan keprihatinan dari pemerintah Indonesia atas pembukaan kantor itu.

Nah, mengapa Benny Wenda dan simpatisan Papua Merdeka di Inggris secara bebas bisa membuka kantor Free West Papua di Oxford dengan dihadiri Wali Kota Oxford, Mohammad Niaz Abbasi; anggota Parlemen Inggris, Andrew Smith; dan mantan Walikota Oxford, Elise Benjamin?

Ini ceritanya.

Andreas Harsono dari Human Rights Watch, lewat wawancara telepon dari Brussels, kepada majalahselangkah.com, Selasa, (07/05/13) mengatakan, banyak pihak di Indonesia, termasuk politisi dan jurnalis, belum memahami perbedaan antara negara dan pemerintah dalam demokrasi. Negara Britania, termasuk Inggris maupun negara-negara Eropa lain, dibedakan tegas antara Negara dan Pemerintah.

"Di sana, tugas pemerintah membuat program dan mengawasi pengawai negeri dalam kerja. Negara mempunyai tugas melindungi warga-negara-nya dari berbagai kejahatan seperti kekerasan, kemiskinan, diskriminasi dan lainnya. Pemerintah bekerja menjalankan program sesuai undang-undang," jelasnya.

Harsono memberi dua contoh di mana negara dan pemerintah bisa bertentangan serta pegawai negeri bisa menolak menjalankan program pemerintah yang bertentangan dengan hukum.

Di Berlin, ibukota Jerman, pada 2007, ada kaum Muslim hendak mendirikan masjid di daerah Heinersdorf. Mereka beli tanah dan urus izin. Ketika mulai bangun, masjid tersebut diprotes kalangan Kristen garis keras. Pihak pemerintah, karena dasarnya politisi, berada di pihak Kristen. Mereka bilang "Jerman Timur" belum siap menerima masjid pertama. Namun izin sudah dibikin sesuai hukum. Polisi dan birokrasi Berlin melindungi kaum Muslim. Akhirnya, protes juga reda, masjid dibangun dan Kristen garis keras juga sadar mereka harus tunduk pada hukum.

Di Belgia, perbedaan negara dan pemerintah sangat terasa ketika tahun 2009 hingga 2011, selama 541 hari, tak ada pemerintah yang bisa menang pemilihan umum dengan suara cukup. Artinya, tak ada perdana menteri, tak ada kabinet, tak ada pemerintah. Tapi birokrasi berjalan. Mereka jadi caretaker pemerintahan. Negara Belgia tetap menyediakan pendidikan, kesehatan, perbaikan jalan dan lain-lain.

"Menarik sekali di Belgia, karena ada hukum, pegawai negeri semua bekerja dan kehidupan berjalan damai. Bayangkan kalau di Jakarta tidak ada presiden selama 541 hari. Apa yang akan terjadi?" kata Harsono.

Harsono menyebut macam-macam kritik dari Pipit Rochijat, orang Sunda asal Tasikmalaya, warga Indonesia, sudah 30-an tahun tinggal di Berlin, kini bekerja sebagai pegawai negeri di Berlin, dan sering menulis soal pemilihan umum di Indonesia.

"Saya baru mengobrol dengan Pipit di rumahnya di Berlin. Pipit punya pendapat menarik soal negara dan pemerintah," kata Harsono.

Rochijat berpendapat di Indonesia "negara tidak kuat." Buktinya, di Indonesia, sesudah parlemen bikin undang-undang, masih dibikin Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan lainnya. Ini menciptakan peluang pemerintah menafsirkan undang-undang buatan parlemen dengan kemauan dan bias mereka sendiri.

Andreas Harsono mengambil contoh begitu banyak produk pemerintah yang bertentangan dengan UUD 1945 di Indonesia. Misalnya, PP No. 77 tahun 2007 yang melarang logo pemerintah daerah mirip dengan bendera Aceh Merdeka, Bintang Kejora (Papua) dan Republik Maluku Selatan. Di Jerman, tak ada Peraturan Pemerintah. Pegawai bekerja sesuai hukum buatan parlemen yang dipilih warga.

"Di Inggris, setiap warga punya hak yang sama dalam hukum. Nah, Benny Wenda dan kawan-kawannya di Oxford, adalah warga negara Inggris. Mereka mendirikan badan hukum bernama Free West Papua. Ia adalah tindakan sah, ia dilindungi oleh hukum," tuturnya.

Dikatakan, Pemerintah Britania, yang tak setuju dengan Papua berpisah dari Indonesia, tak bisa masuk ke ranah hukum. Mereka bisa dituduh melanggar hukum Britania.

"Jangan bilang Papua merdeka. Di Britania, Skotlandia ingin merdeka dari Britania, juga boleh kampanye terbuka, selama mereka tak pakai kekerasan."

"Apakah lantas membuka kantor Free West Papua di Oxford, Papua lantas merdeka? Tidak juga. Kalau Indonesia protes, tidak ada gunanya karena selama  Free West Papua, atau pendukung mereka di Papua, tak melakukan kekerasan, tak membom atau membunuh, hukum Britania juga tidak menganggap mereka pelanggar hukum," jelasnya.

Andreas Harsono memberi contoh lebih dekat lagi. Ini soal 43 warga Papua yang naik perahu dan minta suaka politik ke Australia pada tahun 2006. Mereka kritik Indonesia begitu tiba di Australia. Pemerintah Indonesia protes. Insiden tersebut sempat jadi kacau karena ada gambar kartun yang dianggap menghina Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Sebagai negara, policy luar negeri Australia tidak mengakui Organisasi Papua Merdeka tetapi orang-orang yang pergi cari suaka di sana, adalah persoalan lain. Tidak hanya dari Papua, dari mana saja boleh minta suaka. Bila hukum Australia membenarkan alasan mereka maka mereka diterima, "katanya.

Soal ancaman agar Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Britania, Harsono tak menganggapnya serius. Di Jakarta, masih ada orang yang cukup mengerti perbedaan "negara" dan "pemerintah."

5/06/2013

Isu Papua, Bangkitkan Kebencian Terhadap Inggris

Jakarta - Di kalangan aktivis muda, slogan lama ‘Inggris kita linggis’ seakan bergaung kembali sebagai bentuk protes pendirian kantor perwakilan Free West Papua di Oxford, London. Inilah pukulan berat Inggris terhadap Presiden SBY yang belum lama ini memperoleh gelar penghargaan dari Ratu Inggris Elizabeth II.

Sikap Pemerintah Inggris yang mengizinkan berdirinya kantor gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) dianggap melecehkan Pemerintah Indonesia era SBY dan merupakan sikap mendua London yakni satu kaki mendukung integrasi Papua sebagai bagian integral Indonesia, dan kaki lainnya mendukung Papua merdeka dari Jakarta.

Namun terlepas semua itu, titik pangkal masalah ini adalah karena Pemerintah Indonesia yang tak bisa menyelesaikan separatisme di tanah Papua.

Kejengkelan dan kemarahan di kalangan politisi parlemen amat terasa di mana mereka mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengembalikan gelar penghargaan dari Ratu Inggris Elizabeth II sebagai bentuk protes pendirian kantor perwakilan Free West Papua di Oxford. Hal ini perlu dilakukan karena Inggris bukan sekali ini saja melanggar komitmennya dalam mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pada Oktober 2012 silam, Presiden SBY menerima gelar penghargaan dari Ratu Elizabet II dengan gelar bernama "Knight Grand Cross in the Order of the Bath". Gelar itu merupakan kelas tertinggi dari Order of Bath. Penghargaan ini pertama kali diberikan oleh Raja George I pada tahun 1725. Penghargaan ini diberikan kepada mereka yang memiliki prestasi menonjol, baik dari kalangan militer maupun masyarakat sipil.

"Sebagai bentuk protes pemerintah Indonesia, sebaiknya Bapak Presiden mengembalikan gelar kebangsawanannya," kata anggota Komisi I dari Fraksi Partai Golkar, Nurul Arifin di Jakarta, Senin (6/5/2013).

Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq meminta pemerintah segera mengambil sikap tegas menanggapi permasalahan sensitif ini. Lebih jauh, dirinya juga mengimbau agar Pemerintah Indonesia dapat mendesak Pemerintah Inggris untuk tidak memberikan fasilitas dalam bentuk apa pun kepada OPM.

Dalam hal ini, Duta Besar Inggris di Jakarta, Mark Canning ketika dipanggil Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa sudah menjelaskan sikap Inggris bahwa pembukaan kantor Free West Papua tidak mencerminkan pandangan pemerintahnya terkait masalah Papua. Pandangan Dewan Kota Oxford, terutama visi Benny Wenda, warga Papua yang bermukim di Inggris, tidak mewakili pandangan di negara itu.

Canning menuturkan bahwa Dewan Kota Oxford seperti halnya dewan-dewan lain di Inggris bebas mendukung tujuan apa pun yang mereka inginkan. Namun, dewan-dewan kota itu bukan bagian dari pemerintah. Canning menegaskan pemerintah Inggris masih menghargai Papua sebagai bagian dari Indonesia.

Inggris memang ceroboh lantaran tidak mengkonfirmasi kepada Indonesia soal adanya gerakan kemerdekaan yang dimotori sekelompok separatis Papua di wilayahnya. Para politisi parlemen menuding bahwa sikap Inggris itu lantaran adanya faktor kekuasaan politik yang ingin menguasai sumber daya alam di Papua.

Walhasil, slogan lama era Bung Karno ‘Inggris kita linggis’ seakan kembali bergema di kalangan akivis nasionalis (bukan politisi), suatu pertanda relasi Jakarta-London sedang membara.

Dalam hal ini, para politisi di parlemen jelas tidak bakal bisa berbuat apa-apa sebab mereka sekadar politisi salon untuk menghadapi manuver negeri digdaya seperti Inggris. Artinya, kemarahan dan kejengkelan mereka sebatas slogan yang diumbar sekedarnya. [berbagai sumber]

Rakyat Papua mendukung, Indonesia Menolak, Terkait Kantor Free West Papua di Oxford.

Peresmian Kantor OPM / photo FWPC
Holandi News,- Benny Wenda sehabis Tour Dunia dari Eropa, Amerika Latin, US, Pasifik, Australia dan di inggris dalam agenda kampanye Free West Papua, Benny Kembali Mendirikan Kantor OPM. 

Tepat tanggal 26 April 2013, Wali kota Oxford Mohammed Abbasi, Mengunting Pita sebagai tanda peresmian Kantor Kampanye Free West Papua (FWPC) di London Inggris, Dalam acara itu banyak politisi dan pengacara internasional  turut mengambil bagian seperti Andre Smith (IPWP), mantan wali kota Oxpord, serta  Jennifer Robinson sebgai kuasa hukum Internasional Lawyer for West Papua (ILWP).

Kempanye Benny Wenda yang hidup pengasingan inggris sebagai aktor utama dalam diplomasi internasional atas kampanye kemerdekaan papua. 

Reaksi Rakyat Papua
Victor Yeimo dan Buctar Tabuni

Dengan berdirinya kantor Free West Papua di London, Rakyat papua menyambut dengan genbira dan mendukung penuh aktivitas Benny wenda sebagai kordinator diplomat internasional, kata Victor di sela-sela peringatan 1 mei sebagai hari aneksasi papua dalam NKRI oleh UNTEA kepada Indonesia. 1/05/13 jayapura,papua.

Lanjutnya, "Pendirian kantor FWPC di london ini, bagian dari perjuangan rakyat papua untuk penentuan nasib sendiri. "Dengan berdirinya kantor FWPC ke depan kita bekerja lebih berlelusa dan di harapkan negara-negara solidaritas akan segera menyusul katanya dengan sambutan yang meriah dalam acara tersebut."

Aksi Tuntut Rakyat papua

"Ketua PNWP, Buctar tabuni juga mengatakan, "Kami berharap di dalam negeri juga akan mendirikan kantor Parlement papua, agar rakyat papua bisa menyalurkan aspirasi melaui kentor resmi katanya.

Ketua Parlemen Nasional West Papua (PNWP), Buchtar Tabuni. Mengatakan, pemerintah Indonesia jangan terlalu emosi dan bereaksi berlebihan menanggapi hal tersebut. Pemerintah Inggris menghargai penentuan nasib sendiri dan ini mekanisme yang yang harus dihormati.

“Kecuali ada kantor OPM, dan Papua langsung merdeka, itu yang luar biasa. Memang betul pemerintah tidak bisa mendukung kedaulatan, namun negara-negara yang menghargai demokrasi mendukung hak berdemokrasi. Misalnya kita bilang orang Papua self determination itu negara apapun harus menghormati. Memang pemerintah Inggris belum mendukung secara resmi, tapi secara demokrasi sesuai mekanisme mereka menghargai penentuan nasib sendiri,” kata Buchtar Tabuni, Senin (6/5).

Dikatakan, kantor OPM di Inggris bukan rahasia lagi. Pembinanya Walikota Oxford. Itu bagian dari kantor kampanye meski pemerintah Indonesi bereaksi dan menolak, namun di Inggris tak masalah karena itu hak demokrasi.“Hanya pemerintah Indoenesia yang belum hargai demokrasi orang sehingga merespon dengan emosional. Kalau negara yang menghargai demokrasi itu hal biasa. Mereka mengerti selama tidak merugikan negara itu sendiri
 
Dalam spandukpun menuliskan "Rakyat Papua Dukung Penuh Kantor Free West Papua di London" jelasnya.

Di tahun 2011, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Benny Wenda sebagai buronan internasional (Daftar Merah Interpol), Namun Interpol internasional menghapus Benny wenda  dengan alasan tidak menemukan kejahatan benny dalam hal tertentu dan unsur politis lebih dominan terhadap wenda.

Indonesia Protes

Presiden indonesia SBY, melalui staf khusus mengatakan SBY prihatin dan menyesalkan peresmian kantor Free west papua di oxford  SBY menyakini posisi pemerintah inggris tetap mendukung integritas papua dalam NKRI katanya di kutip media kompas.

Merlu Indonesia Marty Natalegawa, “Protes keras pemerintah RI ke pemerintah Inggris, sekaligus meminta penjelasan resmi terkait insiden pembukaan kantor Free West Papua di Oxford, Inggris.

Merlu RI Marty Natalegawa
Pemerintah Indonesia akan memanggil Duta Besar Inggris di Jakarta, Mark Canning, Apa yang terjadi sangat bertolak belakang dengan pernyataan komitmen mereka selama ini, dan tentunya juga bertentangan dengan posisi masyarakat internasional atas integritas dan kedaulatan wilayah RI," ujar Marty. Di kutip berbagai media di Indonesia.

Marty lebih lanjut juga meminta pemerintah Inggris membuktikan komitmen mereka atas kedaulatan dan integritas wilayah Indonesia, termasuk di Papua, dengan menjauhkan diri dan kebijakan mereka dari kebijakan dewan Kota Oxford.

Komisi I dari Fraksi Partai Hanura, Nuning Kertopati " “Inggris Harus Tutup Kantor Free West Papua”  Dewan Perwakilan Rakyat menuntut penutupan kantor Free West Papua di Oxford, Inggris. Pemerintah perlu mendesak hal itu karena pendirian Free West Papua bisa mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI.

Angggota Komisi I dari Fraksi Partai Golkar, Tantowi Yahya, menilai pembukaan kantor Free West Papua adalah aksi strategis dari OPM. Meski cita-cita untuk memerdekakan Papua masih jauh, tapi Tantowi melihat pembukaan kantor tersebut sudah menciptakan resonansi yang hebat. "Buktinya kita semua membahas soal itu.

Jawaban Pemerintah Inggris

Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Mark Canning, mengatakan, pembukaan kantor Free West Papua di Oxford tidak mencerminkan Pandangan Pemerintah Inggris terkait masalah Papua
Dubes Inggris Untuk Indonesia Mark Canning

Canning melanjutkan bahwa Dewan Kota Oxford seperti halnya dewan-dewan lainnya di Inggris bebas mendukung tujuan apa pun yang mereka inginkan. Namun, dewan-dewan kota itu bukan bagian dari pemerintah. "Segala bentuk tindakan mereka tidak ada hubungannya dengan Pemerintah Inggris.

"Kami menghargai Papua sebagai bagian dari Indonesia dan kami ingin Papua mencapai kesejahteraan dan perdamaian, sama seperti provinsi-provinsi lainnya di seluruh Indonesia."

Katanya, "Namun, kami juga sependapat dengan pernyataan perwakilan Komisi HAM PBB Navi Pilay pada Jumat (3/5/2013) lalu yang mengatakan bahwa masih ada beberapa keprihatinan dugaan pelanggaran HAM di Papua yang harus ditangani. 
Namun, saya juga menyadari bahwa ada usaha-usaha yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan ini, seperti halnya untuk mengatasi masalah ekonomi dan pembangunan sosial dan kami sepenuhnya mendukung usaha-usaha tersebut.

Benny Wenda Aktor Pendirian Kantor OPM

Benny Wenda, Adalah putra asli papua, saat ini tinggal di inggris sebagai pengasingan, Awalnya dia lari dari penjara indonesia atas tunduhan mengorganisir masa rakyat papua dalam insiden abepura berdarah. saat itu dia sebagai aktivis dan pimpinan mahasiswa dalam melakukan aksi protes dan menuntut indonesia untuk kemerdekaan papua.
Benny Wenda Bertemu PM Inggris D. Cameron

Beberapa tahun silam Benny Wenda bersama anggota Parlement inggris dan kuasa hukum inggris meluncurkan organisasi Internasiona Parlement for West Papua (IPWP) dan Internasional Lawyer for West Papua (ILWP).

Tanggapan atas IPWP dan ILWP, Pemerintah RI juga melakukan protes terhadap pemerintah inggris dan jawabannya sama pula yakni. "Pemerintah Inggris Mendukung Kedaulatan NKRI atas Papua"

Editor: Admin Ikuti kami disini: Twitter.com

5/05/2013

MSG talks on West Papua

By, Tevita Vuibau

MSG member countries including Fiji will make a formal decision on the way forward in dealing with the situation in West Papua when they meet at the MSG leaders summit in June.

This was the word from the MSG Eminent Persons Group headed by former Fiji Minister for Foreign Affairs Kaliopate Tavola.

West Papua has been occupied by Indonesia for the past 50 years.
Human rights abuses and countless crimes by members of their armed forces attracted regional and international scorn.

The territory has also been pursuing full membership of the MSG and has received widespread support.

Mr Tavola said the MSG EPG had listened to the views expressed on the issue and noted that there was a lot of support for the West Papua case.

"We do also note that the West Papua case is problematic. There are a number of issues attached to it, for instance there is an application which I understand has been lodged with the chair of the MSG," Mr Tavola said.

"That will take its own process and the leaders will make a determination on that when they meet in June."

He explained that the issue of West Papua was complex and the EPG was taking note of new developments.

"We as a group take note of what is happening on the ground. The application has been lodged and it is likely that the leaders will make a determination in June that will determine the way forward on how we manage the West Papua case."

5/04/2013

Ini Pernyataan Duta Besar Inggris tentang pembukaan kantor Free West Papua di Oxford

Activist News,- Menanggapi instruksi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Bapak Joko Suyanto, untuk memanggil Dubes Inggris terkait isu Free West Papua, Duta Besar Inggris untuk Indonesia Mark Canning mengatakan:

"Saya berharap dapat menjelaskan posisi pemerintah Inggris terkait isu Free West Papua. Kami memahami kesensitifan isu ini bagi pemerintah Indonesia.

Seperti yang telah kami jelaskan kepada Duta Besar Indonesia untuk Inggris Bapak Hamzah Thayeb pada Jumat lalu (3/5/13) di London, pandangan Dewan Kota Oxford terlebih visi Benny Wenda, tidak mewakili pandangan pemerintah Inggris.

Dewan Kota Oxford seperti halnya dewan-dewan lainnya di Inggris, bebas mendukung tujuan apapun yang mereka inginkan. Mereka bukan bagian dari pemerintah. Segala bentuk tindakan mereka tidak ada hubungannya dengan pemerintah Inggris dalam hal ini.

Posisi pemerintah Inggris cukup jelas. Kami menghargai Papua sebagai bagian dari Indonesia dan kami ingin Papua mencapai kesejahteraan dan perdamaian, sama seperti provinsi-provinsi lainnya diseluruh Indonesia.

Namun kami juga sependapat dengan pernyataan perwakilan Komisi HAM PBB Navi Pilay yang pada Jumat lalu (3/5/13) mengatakan bahwa masih ada beberapa keprihatinan dugaan pelanggaran HAM di Papua yang harus ditangani. Tetapi saya juga menyadari bahwa ada usaha-usaha yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan ini, seperti halnya untuk mengatasi masalah ekonomi dan pembangunan sosial, dan kami sepenuhnya mendukung usaha-usaha tersebut.

Kami terus berkoordinasi dengan pihak-pihak yang ingin memajukan Papua termasuk Gubernur Papua yang baru, Bapak Lukas Enembe, yang minggu lalu saya temui".
 

 

Claims of deadly police crackdown in West Papua

West Papuan activist groups claim two people have been killed after police reacted violently to protests this week.

The West Papua Advocacy Team and the East Timor and Indonesia Action Network say a peaceful protest was held on May 1 to commemorate the 50th anniversary of Indonesian control over the province.

In a joint statement released on Saturday, the groups say police reacted violently to the protest, leaving two people dead, and many more wounded and detained.
The UN High Commissioner for Human Rights, Navi Pillay, has recently expressed serious concerns over the crackdown on mass demonstrations across Papua.

"These latest incidents are unfortunate examples of the ongoing suppression of freedom of expression and excessive use of force in Papua," she said in a statement.

"I urge the government of Indonesia to allow peaceful protest and hold accountable those involved in abuses."

Full Orginal News: http://www.abc.net.au/news

Press Statement by British Ambassador Mark Canning on Free West Papua

Protest Papuan
In response to the instruction by Coordinating Minister for Political and Security Affairs, Bapak Joko Suyanto, to summon British Ambassador to Indonesia over this issue, Ambassador Mark Canning said:

 “I look forward to explaining our position on a subject, which we recognise is a sensitive one to the Indonesian Government.

As we explained to the Indonesian Ambassador Mr Thayeb in London on Friday (3/5/13) the views of Oxford Council, and indeed Mr Wenda, should not be taken as reflecting those of the British Government.

The Council, like all councils in Britain, is free to support whatever causes it wishes. They are not part of government. They are not directed in any way by the government.

The views of the UK government are well known. We regard Papua as part of this country and want it to enjoy the same peace and prosperity as other parts of this nation.

We do, however, share the sentiment expressed by the UN High Commissioner for Human Rights Navi Pilay on Friday (3/5/13) when she said that there are human rights concerns which need to be addressed. I am of course aware that efforts are under way to try to improve this, as well as to address issues relating to economic and social development, and we fully support them. We keep in touch with all those who are trying to move Papua forward, including the new Governor, who I met last week."
 
Orginal Statement:  British Embassy Jakarta (Note)

4/17/2013

KNPB Timika Activist of West Papua in behind Bars make Message to International Community to Support.

Jayapura Onews,--  KNPB Timika activist Behind Indonesian Bars in Timika, West Papua.

We are KNPB activist in Timika, West Papua. Indonesia Police jailed us with no reason.
Indonesian police jailed Romario Yatipai, Steven Itlay, Yakonias Womsiwor, Paulus Marsyom, Alfred Marsyom and Yanto Awerkion since 19 October 2012 until now.

Indonesian police say that KNPB activist are criminal, terrorism, Makar, separatist and so on.

Actually, KNPB activist in Timika always makes peace Demonstrate with all westpapuans. We always make peace Demonstrate to demand Referendum is the best solution for West Papua.

We hope International community, Amnesty International, IPWP, ILWP support us and pressure Indonesia government, Indonesia Police in Papua and Timika.

West Papua activist and all west papuans Need UN Observer, UN Humanitarian and International Journalist now in West Papua
 
 
 

4/14/2013

Benny Wenda Menuntut Papua Merdeka

OnewsPapua,-- 50 tahun perjuangan Papua Barat ingin melepaskan diri dari Indonesia adalah satu diantara konflik terpanjang yang hingga kini masih terjadi di dunia. Aktivis di pengasingan Benny Wenda mencoba menarik perhatian dunia. 

Mengenakan kaos bermotif Papua, potongan Benny Wenda gampang dikenali di jalanan Melbourne. Kini dia sedang menjalani tur dunia terbaru, mencoba menarik perhatian dunia.

Ada perasaan hening penuh damai sekaligus keputusasaan saat dia menjelaskan situasi yang dialami rakyat Papua Barat.

“Anda tidak bisa berburu dan berkebun setiap hari, ke manapun anda pergi ada pos penjagaan militer, di mana-mana,“ kata dia. “Ke manapun anda pergi, intel mengawasi dan memonitor apa yang anda kerjakan.“

Papua Barat dulunya adalah bekas koloni Belanda, yang secara efektif diserahkan kepada pemerintah Indonesia pada tahun 1962 melalui perjanjian yang dibuat oleh Amerika. Melalui referendum kontroversial pada tahun 1962, Indonesia mengontrol penuh wilayah itu. Hingga sekarang konflik masih berlanjut antara Organisasi Papua Merdeka OPM dengan tentara Indonesia.

Bukan Tanpa Alasan

Wenda lahir di desa Baliem di pusat dataran tinggi Papua Barat pada tahun 1975. Dia mengatakan, dirinya secara terpaksa sejak muda menyaksikan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pasukan keamanan Indonesia.

“Bibi saya diperkosa di depan mata saya,“ kata dia.“Ibu saya dipukuli di depan saya. Saat itu saya berusia lima tahun. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya menangis.”

Ketika militer Indonesia membombardir desa Benny pada akhir 1970 an, keluarganya bersama ribuan orang lainnya dipaksa hidup bersembunyi di hutan.

Pengalaman inilah yang mengobarkan semangatnya untuk mencari kebenaran dan mencoba memerdekakan rakyatnya dari penindasan.

“Saat itulah saya berdiri dan mengatakan: ini tidak adil,” kata Wenda. ”Saya sekolah, belajar dan mulai berjuang untuk kemerdekaan rakyat saya.“

Wenda menjadi seorang pemimpin perwakilan sukunya pada tahun 1999, selama periode yang dikenal sebagai “Musim Semi Orang Papua,” masa ketika semakin banyak aksi damai menuntut kemerdekaan.

Tak lama kemudian dia dipenjara, ditangkap karena dituduh ikut merencanakan penyerangan sebuah kantor polisi dan membakar dua toko dalam kerusuhan tahun 2000. Dia menyebut penahanan itu bermotif politik dan pengadilan atas dirinya adalah pengadilan yang tidak adil. Organisasi Fair Trials International mendukung klaim Wenda.

Ketika di penjara, ia menulis sebuah lagu bagi para pendukungnya. Salah satu lirik lagu itu berisi: “Bagaimana sekarang saya bisa menolong rakyat jika saya terkurung?”

Setelah beberapa bulan dalam tahanan isolasi, Wenda berhasil melarikan diri. Dia kabur ke Papua Nugini dan kemudian dengan dibantu oleh LSM Eropa melakukan perjalanan ke Inggris, di mana ia kemudian mendapatkan suaka politik.

Kampanye Perubahan

Dalam pengasingan, Wenda mendirikan “Papua Barat Merdeka“ yang berkampanye menuntut penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua Barat dan diakhirinya pelanggaran HAM, yang kata dia semakin memburuk. Tahun lalu saja, 22 aktivis tewas dibunuh., tambah Wenda.

Beberapa kalangan memperkirakan sebanyak setengah juta orang Papua terbunuh sejak Indonesia mengambil alih wilayah itu, dan organisasi HAM terus menerima laporan mengenai pelanggaran yang dilakukan tentara Indonesia.

“Situasi HAM semakin memburuk setiap hari,” kata Wenda. ”Orang Papua Barat kini sekarat di atas jalanan di tangan polisi. Dengan membunuh orang Papua mereka mendapat pangkat dan promosi.”
Banyak kepentingan Indonesia dan dunia di Papua Barat yang didasari atas kekayaan alam wilayah itu, dengan mengeksploitasi emas, tembaga, minyak dan penebangan hutan. Kepentingan ekonomi ini, sejalan dengan kepentingan strategis banyak Negara, sehingga membuat isu Papua Barat jauh dari sorotan.

Menyebarkan Kata

Wenda kini mendorong akses lebih besar bagi media asing dan organisasi HAM agar bisa bekerja di Papua.

“Selama 50 tahun terakhir para wartawan (asing-red) dilarang masuk,“ kata dia. “Kenapa Indonesia takut membolehkan para wartawan? Apakah mereka sedang menyembunyikan sesuatu? Jika mengkampanyekan demokrasi, maka sebuah negara demokratis seharusnya boleh bagi wartawan manapun.”

Kedutaan Indonesia di Australia menolak permintaan Deutsche Welle untuk memberi komentar atas pernyataan Benny Wenda. Mengenai akses media ke Papua Barat mereka mengatakan tidak ada larangan bagi media asing, sambil menambahkan bahwa dua tahun terakhir ada enam wartawan yang diperbolehkan berkunjung ke sana.

Sebagai pemimpin politik di pengasingan, Benny Wenda terus menerima informasi dari para pemimpin di dalam Papua Barat dan dia menggunakan kampanye internasional untuk membawa pesan mereka kepada para politisi dan komunitas di seluruh dunia.
 
“Saya sangat percaya bahwa kekuatan rakyat akan bisa mengubah keadaan, dan suatu hari rakyat saya akan bebas.“

Sumber: http://www.dw.de

4/10/2013

Fighting for a forgotten cause in West Papua

West Papua's 50-year struggle for independence from Indonesia is one of the world's longest-running conflicts. Exiled activist Benny Wenda is trying to draw attention to it, this time with a peaceful message.

Wearing his Papuan patterned shirt, Benny Wenda cuts an unmistakable figure on the streets of Melbourne, Australia. He's currently halfway through his latest global tour, trying to raise awareness for the issue of West Papua.
There is both a sense of peaceful resilience and some exasperation when he explains what the situation is like for West Papuans.

"Every single day you cannot go hunting or gardening, everywhere you go there is a military post, everywhere," he says. "Everywhere you go, intelligence is watching and intelligence monitor what you do."

West Papua is situated on the island of New Guinea, just north of Australia. Formerly a Dutch colony, the region was effectively transferred to Indonesian administration in 1962 under a treaty drafted by the United States. In a controversial 1969 vote, Indonesia was given full control. Since then, conflict has been ongoing between the militant Free Papua Movement organization and Indonesian troops.

A map of West Papua, also showing, Australia, Indonesia and Papua New Guinea West Papua is situated on the island of New Guinea at the eastern end of Indonesia
 
Standing up for a cause

Wenda was born in the Baliem Valley in the central highlands of West Papua in 1975. He says he was forced to witness human rights violations committed by Indonesian forces from a young age.
"My aunt was raped in front of my own eyes," he says. "My mum was beaten up in front of me. I was five years old. I couldn't do anything. I just cried."

When the Indonesian military bombed Benny's village in the late 1970s, his family, along with thousands of other highlanders, was forced to live in hiding in the jungle.

It was these experiences that fuelled his passion to search for the truth and to try to free his people from this oppression.

"That's when I stood up and said, 'This is not fair,'" Wenda explains. "I went to school, I studied and I started to fight back to free my people."

Wenda became a leader of his tribal assembly in 1999, during a period known as the "Papuan Spring," which saw an increase in peaceful demonstrations for independence.

Not long afterwards he landed in prison, arrested for supposedly planning an attack on a police station and burning two shops during rioting in 2000. He says his imprisonment was politically motivated and that the trial was unjust. The non-governmental organization Fair Trials International supports his claims.

While in jail he composed a song for his supporters. One of the lines of the song goes, "How can I help my people now that I am locked up?"

After months of solitary confinement, Wenda managed to escape. He fled to Papua New Guinea and was later assisted by a European NGO to travel to the UK, where he was granted political asylum.

Campaigning for change

In exile, Wenda set up the "Free West Papua" campaign, which seeks self-determination for West Papua and an end to human rights abuses, which he says are worsening. Twenty-two activists were killed last year alone, he adds.
A woman of the traditional, Dani tribe from Lembah Baliem stands by bead necklaces and traditional bags on October 10, 2009 in Wamena, West Papua, Indonesia. (Photo: Ulet Ifansasti) A Dani tribeswoman from West Papua stands beside bead necklaces and traditional bags called "noken"
 
Some estimates say that as many as 500,000 Papuans have been killed since Indonesia took control, and human rights organizations continue to receive reports of rights violations committed by Indonesian forces.

"The human rights situation is getting worse, everyday," Wenda says. "West Papuans are dying on the street at the hands of police. By killing Papuans they get rank and they get promotions."

Much of the Indonesian and global interest in West Papua is based on its vast natural resources, exploited for gold, copper, oil and logging. This economic interest, coupled with the strategic relationships many countries have with Indonesia, appears to help keep the issue of West Papua out of the spotlight.

Spreading the word

Wenda is now pushing for greater access for the foreign media and human rights organizations when working in West Papua.

"For the last 50 years journalists have been banned," he says. "Why is Indonesia scared of allowing journalists in? Are they hiding something? If they promote democracy, then a democratic country should be able to allow in any journalist."

The Indonesian embassy in Australia declined DW's request for comment on Benny Wenda. Regarding media access to West Papua they said there was no ban on foreign media, adding that six journalists were allowed to visit in the last two years.

As a political leader in exile, Benny Wenda continues to receive information from leaders inside West Papua and he uses his international campaign to bring their message to politicians and communities around the world.

"My message is simple," he says. "My people have been crying for freedom for the last 50 years. The world needs to open their eyes and listen to my people's cry for freedom."
"I strongly believe that people power will change things, and one day my people will be free."

4/09/2013

Likely Indonesia out, West Papua in

Vanuatu r, Moana Carcasses, 
holding the West Papua Freedom flag flanked 
by the West Papuan delegation (photo dailyVU)
 
If Vanuatu national leaders, and some top brass in the opposition, mean what they say of the support to the West Papuan cause, towards self-determination, Indonesia will likely be voted out, and West Papua will be voted in, as observer to the Melanesian Spearhead group at June 2013 MSG Meeting in New Caledonia.
On Wednesday last week, Vanuatu Prime Minister Moana Carcasses assured a West Papua delegation during a meeting in his office that he will support West Papua request to grant and admit West Papua as an observer status in the Melanesian Spearhead Group (MSG) Meeting at Noumea in June.

Former Deputy Prime Minister Ham Lini already pledged his support in the last government to move for Indonesia to be stripped off the MSG Status and West Papua to be granted the MSG Observer status.

The current Deputy Prime Minister and Minister of Foreign Affairs Edward Nipake Natapei also already publicly made his views clear on his stand on the issue. He told Daily Post two weeks ago that he will support West Papua to obtain MSG observer status in the upcoming June MSG Meeting in Noumea New Caledonia.

The Shefa Provincial Government came out loud and clear also supporting West Papuan cause.
Even the Pacific Conference of Churches’ recent Assembly in Honiara, Solomon Islands, was very vocal on the issue and declared it to the regional political and civic leaders as well as to the world that it supports the cry of the West Papua Melanesians.

The Chiefs in Vanuatu have, on a number of occasions called on Vanuatu governments to take up the issue of West Papua in the regional and international forums to pressure Jakarta to hand West Papua Melanesians their political freedom- and to stop the killings of the Melanesians in West Papua by the Indonesian military forces, as alleged in numerous media and independent reports around the region and beyond.

Then there’s the question of which side of the fence will the other MSG members are likely to support.
On March 6, 2013, Papua New Guinea National Capital District Governor, Powes Parkop, told West Papuan, Benny Wenda, at a concert in Port Moresby before a crowd of 3,000 people that: “There is no historical, religious, or moral justification for Indonesia’s occupation of West Papua.” 

Civil Society groups and activists in Melanesian countries have come out loud and clear on the issue- for Indonesia military to stop killing West Papuans and for the MSG Leaders to dispose Indonesia from MSG Observer status and accept West Papua instead.

While Daily Post could not get comment from the MSG Headquarters in Port Vila on the issue, DP understands that the issue of removing Indonesia from the MSG observer status and handing over the status to West Papua is likely to be high on the agenda.