Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Jayapura, Sudah hari ke lima Perang gerilya antara TPN/OPM vs TNI/Polri yang sedang berlangsung di pirime kab. Lanny jaya,
Ketika media ini tanyakan via telp! Tentang motip di balik penembakan ini.
Kom.Enden wanimbo dengan tegas katakan bahwa, kami bukan aksi kriminal atau teroris, kami perang gerilya, kami lawan pasukan indonesia, kami tembak bukan warga sipil namun aparat TNI/Polri, ini perang, kami baku lawan senjata dengan senjata, kami bukan sipil bersenjata, kami juga anggota Tentara Pembebasan Nasioanl (TPN) Papua barat, kata Enden. Wanimbo 03/08 yang di hubungi blog ini via telp.
Marinus: Kecuali Benny Wenda CS Lakukan Tindakan Merugikan Negara Inggris
Photo ilustrasi Free West Papua
JAYAPURA
- Sudah hampir seminggu belakangan ini, pendirian kantor Perwaklan OPM
di Oxford, Inggris, masih terus menjadi perbincangan hangat, tidak hanya
di tingkat nasional, namun juga di Papua.
Menyusul pernyataan Ketua
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua, Stevanus Siep,SH, bahwa
penderian Kantor Perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Kota
Oxford-Inggris tidak memiliki legalitas hukum yang jelas, mendapat
tanggapan serius dari Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik
Universitas Cenderawasih, Marinus Yaung.
Dosen Program Studi
Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Uncen Jayapura ini mengatakan, Kantor Perwakilan OPM di Kota Oxford
Inggris tidak bisa ditutup. Alasannya, pertama, Benny Wenda dan
kawan-kawannya sebelum mendirikan Kantor Perwakilan OPM tersebut, mereka
telah membentuk dan mendirikan satu badan hukum yang bernama Free West
Papua.
Ditegaskannya, di Inggris suatu pendirian sesuatu yang
berbadan hukum, pengurusan surat ijinnya rumit dan memakan waktu yang
lama. Kalau badan hukumnnya adalah lembaga yang memperjuangkan
kepentingan warga di Inggris sendiri, surat ijinnya cukup dikeluarkan
oleh pemerintah lokal dengan mendapatkan persetujuan parlamen lokal, dan
waktu pengurusannya paling lama tiga bulan.
Tetapi kalau badan
hukumnnya dengan tujuan didirikannya untuk memperjuangkan kepentingan
warga Negara asing di luar Inggris seperti Badan Hukum Free West Papua,
itu prosesnya harus mendapat surat ijin pemerintah lokal dan parlamen
lokal, kemudian disampaikan ke pemerintah Inggris dan parlamen Inggris
untuk mendapatkan persetujuan waktu yang dibutuhkan dalam proses
pendirian badan hukum seperti Free West Papua ini paling lama dua tahun.
“Jadi kalau sampai KBRI Indonesia di London tidak mengetahui proses
pendirian Kantor Perwakilan ini, berarti itu sangat keterlaluan dan
kegagalan besar dalam diplomasi Indonesia,” ungkapnya kepada Bintang
Papua, di kediamannya, Jumat, (9/5).
Bahkan disini, jika ada yang
bilang dasar legalitas hukum Kantor Perwakilan OPM ini tidak jelas, itu
bahasa yang keliru dan tidak memahami sistem politik dan pemerintahan di
Inggris. Dan jika dikatakan tidak mempunyai dampak yang kuat terhadap
perjuangan Papua menuju kemerdekaan, dirinya perlu mengingatkan bahwa
politik Internasional mengenal satu gaya politik yang paling ditakuti
yakni politik domina atau domino effect. Yakni kalau kartu yang satu
sudah jatuh, misalnya kartu AS atau Joker, maka kartu-kartu domino lain
akan jatuh juga.
Politik semacam ini berakar dan bermula dari
Inggris, kemudian dikembangkan oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat
Kissinger dalam strategi perang dingin dengan Uni Siviet-Inggris. Dengan
demikian, sesungguhnya kartu AS atau Joker dalam perjuangan Papua
Merdeka.
Alasan lainnya adalah Benny Wenda dan kawan-kawannya yang
mendirikan Kantor Perwakilan OPM adalah warga Negara Inggris, bukan
penduduk ilegal. Karena status warga Negara seperti itu, maka tentunya
Pemerintah Inggris tidak bisa mencampuri aktivitas ekonomi, politik,
sosial dan aktivitas keseharuan warga negaranya.
Pemerintah Inggris
hanya bisa mencampuri aktivitas pribadi warga negaranya apabila diminta
oleh bersangkutan atau yang bersangkutan melakukan extra ordinary crime
yang merugikan Negara secara luas. Jadi selama Benny Wenda dan
kawan-kawannya beraktivitas dengan Kantor OPM, pemerintah Inggris tidak
bisa mencampuri aktivitas mereka karena pemerintah akan dianggap
melanggar hukum yang dibuatnya sendiri.
“Jarang di Inggris kita
melihat pemerintahnya melanggar hukumnya sendiri. Tapi kalau di Negara
kita, itu hal yang lumrah karena di Indonesia, hukum dibuat untuk
dilanggar sendiri oleh pembuatnya. Jadi aktivitas OPM, kantornya akan
tetap berjalan di Inggris. Bisa tutup apabila teman-teman OPM di Inggris
melakukan tindakan kekerasan, pemboman, sabotase dan lainnya yang
merugikan Negara,” tukasnya.
“Selama seperti itu, maka kantor OPM
tetap beroperasi, dan Kota Oxford perlu pembaca ketahui bahwa selain
Kantor OPM, juga Kantor Perwakilan Perjuangan orang-orang Skotlandia dan
Kantor Perjuangan orang-orang Irlandia Utara yang ingin merdeka dari
Inggris,” sambungnya.
Berikutnya, mereka yang mensponsori atau
berada di belakang pendirian Kantor Perwakilan OPM di Inggris adalah
LSM-LSM Internasional yang tersebar di beberapa Negara Eropa, Amerika,
Australia dan individu-individu yang berpengaruh di dunia seperti Pdt.
Desmond Tutu dari Afrika Selatan.
Kekuatan Sponsorship di balik
Benny Wenda inilah yang menurut hematnya bahwa mendatangkan beban moral
terhadap pemerintah Inggris agar ikut juga merasakan dan memahami
suasana kebatinan orang-orang di Tanah Papua yang masih hidup dibawah
penindasan dan penderitaan yang berkepanjangan seperti Afrika Selatan di
masa penerapan politik Apartheid.
Karena beban psikologis inilah
yang kemungkinan pemerintah Inggris tidak bertindak mencegah pembukaan
Kantor Perwakilan OPM dan tidak mungkin juga untuk menutupi operasional
Kantor OPM dimaksud.(nls/don/l03)
Jayapura, 8/4 (Jubi) –Anggota DPR RI asal
Papua, Diaz Gwijangge menegaskan dirinya tak setuju jika pimpinan
tertinggi OPM, Goliat Tabuni dinyatakan DPO. Membunuh para tokoh pejuang
Papua tak akan menyelesaikan masalah.
“Saya tak setuju jika Goliat Tabuni dikatakan DPO agar dia bisa
dibunuh, karena itu tidak akan menyelesaikan masalah. Beberapa tokoh
pejuang Papua Merdeka seperti They Eluay, Keli Kwalik hingga Mako Tabuni
dibunuh, tapi masalah tidak selesai. Meski para pejuang ini meninggal,
isu Papua merdeka tetap ada,” kata Diaz Gwijangge, Senin (8/4).
Menurutnya, tidak ada yang memaksa orang Papua berteriak merdeka. Itu
adalah ideologi politik orang Papua sendiri, sehingga penyelesaiannya
juga harus dengan cara politik. Lewat dialog atau apapun namanya yang
penting kedua pihak duduk bersama.
“Kita tidak usa baku tipu. Kita sudah melihat apa yang terjadi di
Timor Leste. Jika Aparat melalukan hal-hal tersebut, maka bisa dikata
ada genoside di Papua. Jadi saya pikir Kapolda harus jeli melihat
masalah ini. Jangan langsung menuding dan menjadikan sesorang DPO. Ada
prosedur yang harus dilakukan. Negara harus menjamin hak hidup setiap
orang. Yang bisa mengambil nyawa manusia hanya Tuhan, bukan manusia,”
ujarnya.
Dikatakan, menyelesaikan masalah Papua harus tuntas. Tidak hanya
sepotong-sepotong. Apalagi sudah ada etika yang baik dari orang asli
Papua untuk selesaikan masalah Papua. Jaringan Damai Papua (JDP) sudah
mendorong dialog, itu harus segera direspon baik oleh pemerintah RI dan
melibatkan mereka yang dikatakan OPM untuk dialog.
“Aceh dan Papua statusnya sama. Tidak ada bedanya. Bahkan GAM Aceh
bisa dikatakan peralatan dan struktur mereka tertata baik. Lalu kenapa
Aceh bisa diselesaikan lewat perjanjian Helsinkin. Lalu Papua tidak
bisa? Berarti ada diskriminasi,” kata dia lagi.
Selain itu dikatakan, ada dua kebijakan pemerintah yang keliru di
Papua. Orang Papua diberikan Otsus tapi ternyata dalam penerapannya
pusat tidak konsisten. Pusat juga memberikan pemekaran seenaknya untuk
Papua dan ini kerap menimbulkan konflik antara sesama orang asli Papua.
“Jadi harusnya pemerintah dan orang asli Papua duduk bersama untuk
dialog. Bahkan jika perlu ada pihak ketiga seperti GAM lalu. Kenapa
Papua tidak bisa begitu, sementara Aceh bisa? Pemerintah seolah tidak
serius menyeselesaikan masalah Papua sehingga terus terjadi kekerasan,”
ujar Diaz Gwijangge. (Jubi/Arjuna)
Jayapura, 8/4 (Jubi) –Pasca rencana penetapan
DPO oleh Polda Papua terhadap panglima tertinggi OPM, Goliat Tabuni
(GT), membuat yang bersangkutan mengancam balik akan menembak Kapolda
Papua.
Ketua Komisi A DPR Papua, Ruben Magay meminta agar dua jenderal yakni
Kapolda Papua, Irjen Pol Tito Karnavian dan pimpinan tertinggi OPM
Jenderal Goliat Tabuni tidak lagi saling ancam.
Ia mengatakan, jangan sampai sikap keras keduanya justru akan terus
mengorbankan rakyat Papua. Untuk itu kedua jenderal ini harus mencari
solusi bagaimana langkah terbaik yang dilakukan. Selain itu, Kapolda
Papua diminta tidak langsung menetapkan GT sebagai DPO.
“Saya harap kapolda bisa mengungkap fakta dan bukti bagaimana GT bisa
ditatapkan DPO. Goliat Tabuni kan juga mengkami diri sebagai jenderal
atau panglima OPM. Ideologi dia adalah Papua Merdeka, bukan kriminal.
Ini adalah ideologi politik. DPO kan hanya untuk pelaku kriminal. Jadi
kita harap dua jenderal ini jangan saling mengancam,” kata Ruben Magay,
Senin (8/4).
Menurutnya, kedua pihak perlu berdialog secara demokrasi. Selain itu,
Polda juga perlu mengungkap secara jelas penembakan yang terjadi selama
ini. Jangan hanya dikatakan pelaku adalah OTK atau kelompok bersenjata.
Lalu karena Goliat Tabuni pimpinan OPM, makanya dia langsung dituduh.
“Perlu ada pembuktian. Jangan sampai masyarakat jadi korban terus.
Apa yang Goliat Tabuni perjuangkan sudah jelas. Dia ingin Papua merdeka.
Bahkan jika memungkinkan Kapolda bertemu langsung dengan Goliat Tabuni
dan duduk bicara bersama. Oleh karena itu dialog sangat penting.,”
ujarnya.
Selain itu dikatakan Ruben, orang asli Papua juga tahu jika
pemerintah tidak sepenuhnya berpihak kepada mereka. Mereka kerap
diintimidasi dan hak mereka dirampas. Hal ini yang menimbulkan aspirasi
merdeka. Orang Papua akhirnya sadar akan itu. Situasi politik diciptakan
sendiri oleh negara, sehingga orang Papua juga mulai melawan.
“Siapapun di dunia jika hak mereka dirampas mereka tidak akan tinggal
diam. Jadi kedepan polisi harus profesional. Jangan salah sedikit
dikriminalisasi. Rakyat Papua sudah trauma terhadap aparat. Harus ada
perubahan,” katanya. (Jubi/Arjuna)
Jayapura Onews,-- Panglima Tinggi
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat
(TPNPB)-Organisasi Papua Merdeka (OPM), Gen Goliat Tabuni tidak takut
dijadikan DPO oleh Polda Papua.
Hal itu dikatakan Sekjend TPNPB-OPM dalam pembicaraan via
telepon, Jumat (5/4).
“Goliat Tabuni
tidak takut dijadikan DPO oleh Kapolda Papua.
Dan kami ini bukan teroris,” ujarnya.
Dijelaskan, Goliat
Tabuni adalah pimpinan TPNPB-OPM. “Tra papa (tidak apa-apa) dong (mereka) kasih keluar DPO saja. Kami
tetap berada di markas kami. Bila TNI-Polri datang kami lawan, sampai merebut
kemerdekaan” kata Anton Tabuni dengan nada tinggi.
“Datang sudah dan kami
tangkap. Ini bukan hal baru, sudah dari dulu. Dan kami tidak takut,” tambah dia.
Seperti diketahui, Polda Papua akan mengeluarkan DPO bagi
Goliat Tabunu terkait penyelidikan kasus penembakan 7 prajurit TNI dan 4 warga
sipil di Distrik Sinak Kabupaten Puncak, serta 1 prajurit di Distrik
Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya pada
21 Februari lalu.
Paling Tertinggi TPN-OPM, Goliat Tabuni merupakan salah satu tersangka utama kasus
penembakan 8 prajurit TNI dan
4 warga
sipil di Distrik Sinak
tersebut.
“Langkah-langkah kita
sudah dikaji dulu untuk kita mau
terbitkan DPO secara jelas. Dengan
dasar hukum, alat-alat bukti
yang kuat, dan kasusnya apa saja,”
kata Kapolda Papua Irjen (Pol) Drs. M. Tito Karnavian, Rabu (3/4) lalu.
Dia mengatakan, Goliat
Tabuni telah mengaku terlibat kasus
penembakan seorang prajurit TNI
di Distrik Tingginambut, Kabupaten
Puncak Jaya.
Pihaknya juga menangkap
seorang tersangka yang mengaku anggota pasukan Goliat Tabuni, yang mengetahui
kasus penembakan di
Sinak sekaligus terlibat penembakan
pesawat Trigana Air di Mulia beberapa waktu lalu.
“Bila surat DPO telah
diterbitkan, kami segera menangkap
Goliat Tabuni. Kemungkinan besar
melibatkan TNI, karena sudah ada
progres perbantuan TNI kepada
Polri tahun 2013,” ujarnya.
Menurutnya, guna
mengungkap kasus penembakan 7 prajurit
TNI dan 4 warga sipil di
Sinak, pihaknya juga
merencanakan melakukan cross ceck dengan pemanggilan beberapa saksi, termasuk
pasangan calon Bupati
Puncak Elvis Tabuni
dan Heri Dosinaen, serta sejumlah
anggota DPRD Puncak, Repinus Talenggeng. [154]
Jayapura, Onenews,-- Puncak Jaya Papua kembali memanas,
Tentara Nasional Indonesia (TNI) menembak mati satu warga sipil orang
asli Papua asal Distrik Tingginambut, saat korban sedang berjalan di Kampung Yamo, ia ditembak oleh
TNI berkisar jarak 100 M dari Pos TNI Distrik Tingginambut. Korban mengenai
Peluru tima panas tembus paha kanan, dan korban sementara masih kritis.
Korban yang di Tembak TNI adalah warga sipil Distrik
Tingginambut atas nama Wundiwili Tabuni (25Th). Peristiwa ini terjadi tanggal (21/03/2013) waktu setempat.
Kata sumber kepada WPNLA, “Sebelum
Wundiwili ditembak TNI, Anggota TNI di Distrik Tingginambut di Yamo, ada 1 tank-tank
dan naikan bendera merah putih. Mereka bilang kalau orang Papua lewat
sini kami akan tembak”. Ujarnya.
Sumber lain mengaku hal itu disampaikan
kepada sumber oleh salah satu prajurit TNI kepada sumber yang namanya
tidak mau dimuat di WNLA, tetapi diijinkan untuk marganya ditulis adalah
Tabuni.
Korban Pemerkosaan 2 Wanita
Selain itu, pada hari Sabtu
(23/03/2013), terjadi perkosaan terhadap 2 wanita oleh TNI dari Pos
Distrik Tingginambut kesatuan 753 Nabire.
2 korban permekosaan
diantaranya, Regina Murib (25Th) dan Weresina Tabuni (22Th) warga
Distrik Tingginambut.
Dua wanita korban pemerkosaan TNI
nama Regina Murib diperkosa oleh 5 Prajurit TNI dari kesatuan 753 Nabire
yang ditugaskan di Distrik Tingginambut. Kemudian korban Weresina
diperkosa oleh 10 Prajurit TNI 753 Nabire. Hal itu dilaporkan salah satu
keluarga korban dari Mulia setelah ia mendapat informasi peristiwa
tersebut, melalui via telpon seluler kepada WPNLA.
Ditanya kepada sumber terkait peristiwa penembakan Wuniwili apakah benar terjadi? Sumber mengatakan “itu betul Wundiwili Ditembak oleh TNI saya juga dengar informasi itu”. Ujarnya, kepada Admin WPNLA.
Tentara Nasional Indonesia Memancing
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, dengan cara menembak masyarakat
sipil dan perkosa wanita secara tidak manusiawi.
Hal ini TNI melanggar
HAM, karena TNI yang melakukan perlawanan masyarakat
sipil, padahal harusnya TPN-OPM yang menewaskan TNI.
Jika TNI mau balas dendam
bukan kepada masyarakat sipil, tetapi carilah TPN-OPM. Apalagi wanita
yang tidak tau apa-apa diperkosa. Hal ini benar-benar melanggar Hak
Asasi Manusia oleh TNI 753 di Puncak Jaya.
Sebetulnya, jika para TNI melakukan
perlawanan terhadap TPN-OPM tidak salah, jangan terhadap masyarakat
sipil. Perlawanan atau perang yang terjadi di Puncak Jaya antara TPN-OPM
dan TNI adalah sesuai hukum perang alias Geneva Convention.
Sebab
TPN-OPM melakukan perlawanan untuk mempertahankan keutuhan bangsa Papua
untuk merdeka dan berdaulat Penuh seperti Negara-negara merdeka di
dunia.
Sedangkan TNI mempertahankan keutuhan NKRI Papua sebagai bagian
dari NKRI tetapi Indonesia memaksakan kehendak orang pribumi Papua, untuk
Papua bagian dari NKRI adalah tidak benar.
Akhirnya, setelah terjadinya Peritiwa
penembakan pada (21/03/2013) dan pemerkosaan terhadap dua wanita
(23/03/3013). Situasi di Puncak Jaya memanas saat ini, keluarga korban
kesulitan perawatan korban tembak Wundiwili, dan dua wanita korban
perkosaan mengalami sakit. Mohon perhatian da advokasi atas pelanggaran HAM di
Distrik Tingginambut Kabupaten Puncak Jaya. Harap para pembelah HAM
menyuarakan hal ini dengan serius.
Duta Besar Pemerintah Amerika Serikat
untuk Indonesia, pada bulan Juni 1969 kepada anggota Tim PBB, Dr. Fernando
Ortiz Sanz, secara rahasia mengakui: “ 95% orang-orang Papua mendukung gerakan
kemerdekaan Papua.” (Sumber Dok: Jack W.Lydman’s Report, Juli 18, 1969, in AA).
Sedangkan, Dr. Fernando Ortiz Sanz, perwakilan PBB untuk mengawasi pelaksanaan
PEPERA 1969 melaporkan: “Penjelasan orang-orang Indonesia atas pemberontakan
Rakyat Papua sangat tidak dipercaya. Sesuai dengan laporan resmi, alasan pokok
pemberontakan rakyat Papua yang dilaporkan administrasi lokal sangat memalukan.
Karena tanpa ragu-ragu, penduduk Irian Barat dengan pasti memegang teguh
berkeinginan merdeka” (Laporan Resmi Hasil PEPERA 1969 Dalam Sidang Umum PBB,
alinea 164, 260). Lebih tegas, Fernando Ortiz Sanz, menyatakan: “Mayoritas
orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan
mendukung pikiran Negara Papua Merdeka.” ( Dokumen resmi PBB, Annex I, A/7723,
alinea, 243, hal. 47).
Sementara kesaksian pelaku dan saksi
sejarah yang dikirim oleh Pemerintah Indonesia untuk memenangkan PEPERA 1969,
Piter Sirandan (alm), pada awal Desember 2009 setelah membaca buku saya:
“Permusnahan Etnis Melanesia” (2007) dan “Suara Bagi Kaum Tak Bersuara” (2009)
menyatakan penyesalannya kepada saya: “ Pak Yoman, saya tiba di Jayapura, 1
Desember 1964.
Kami orang Indonesia benar-benar menipu
orang-orang Papua yang mau berkata benar pada waktu itu. Kami benar-benar menipu
orang Papua. Kami benar-benar menindas orang Papua. Kami benar-benar merugikan
masa depan orang Papua. Kami benar-benar tidak menghargai hati nurani orang
Papua untuk benar-benar mau merdeka. Kami mengetahui bahwa pada waktu
pelaksanaan PEPERA 1969 itu, orang-orang Papua benar-benar mau merdeka. Saya
mengetahui bahwa 100% orang Papua mau merdeka. Impian dan harapan mereka,
benar-benar kami hancurkan. Pada waktu itu, saya mendapat hadiah uang sebesar
Rp 7.000.000; dari Pemerintah Indonesia karena saya dianggap berhasil menipu
orang Papua dan memenangkan PEPERA 1969. Karena itu, sekarang saya sangat
mendukung perjuangan orang Papua untuk merdeka” ( baca: Dumma Socratez Sofyan
Yoman: Integrasi Belum Selesai: 2010: hal.91-92, dan Socratez Sofyan Yoman: Gereja
dan Politik di Papua Barat: 2011, hal. 21)
Bertolak dari kutipan laporan resmi PBB
ini dan pengakuan pelaku sejarah di atas, pertanyaan yang perlu saya ajukan di
sini adalah: Pertama, apakah sejak 1963-2012 dalam kurun waktu 49 tahun
pendudukan pemerintahan Indonesia di Papua telah menurunkan jumlah keinginan
rakyat Papua mau merdeka dari 95% atau jumlah mayoritas itu ke level 10 % atau
sebaliknya justru dari 95% telah meningkat tajam melebihi 95% untuk keinginan
merdeka dan berdiri sendiri? Kedua, Apakah benar hanya segelintir orang asli
Papua yang mendukung Papua merdeka dan mayoritasnya mendukung dan memperkuat
pendudukan dan penjajahan pemerintah Indonesia di Tanah Papua?
Kita menjawab pertanyaan ini dengan
fakta, bukti atau realitas bukan ilusi dan imajiner.
Contoh-contoh realitas. Pertama, Pada
Konferensi Perdamaian Papua pada 5-7 Juli 2011 di Auditorium Uncen Jayapura
yang diselenggarakan oleh Jaringan Damai Papua (JDP). Para pembicara adalah
Menkopolhukam, Gubernur, Kapolda, Pangdam XVII Cenderawasih, Uskup Dr. Leo Laba
Ladjar, OFM., Dr. Tonny Wanggai, Dr. Pdt. Benny Giay dan Saya (Socratez Sofyan
Yoman). Pada saat giliran dari perwakilan KODAM XVII untuk menyampaikan materi,
pembicara diberikan kesempatan dan mengambil tempat di podium oleh moderator.
Sebelum pembicara menyampaikan materi, ada komanda seperti ini:
“Saudara-saudara, kalau saya sebut kata “Papua”, saudara-saudara peserta
menyahut dengan kata “Damai”. Pembicara dari Kodam ini sebut Papua dan peserta
menjawab dengan Merdeka. Pembicara sebut Papua: Peserta menjawab: Merdeka. Dan
terakhir ketiga kalinya: Pembicara sebut Papua dan peserta menyambut dengan
kata Merdeka.
Kedua, Pada tanggal 17-19 Oktober 2011,
Rakyat Papua berkumpul di lapangan sepak bola Zakeus Padang Bulan Abepura dan
menyatakan merdeka dan berdiri sendiri sebagai bangsa berdaulat di atas tanah
leluhurnya.
Ketiga, Pada tanggal 10 Januari 2012,
saya dengan Pendeta Marthen Luther Wanma mengadakan pertemuan dengan rakyat
Manokwari di Gereja GKI Effata Manokwari untuk memberikan penjelasan hasil
pertemuan kami dengan bapak Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang
Yudoyono, di Cikeas, 16 Desember 2011. Sebelum kami memberikan penjelasan, saya
mengajukan satu pertanyaan sebagai seorang gembala umat kepada umat atau domba-domba
yang hadir. Pertanyaan saya sebagai berikut: “ Saudara-saudara, siapa-siapa
yang mau merdeka di atas tanah leluhur orang Melanesia ini?” Seluruh rakyat
yang hadir serentak berdiri dan angkat tangan dan mengatakan
merdeka….merdeka…..merdeka….”. Yang tidak berdiri hanya 3 orang PNS, salah
satunya adalah Bapak Sekda Kabupaten Manokwari.
Keempat, Pada tanggal 20 Januari 2012
pertemuan dengan rakyat di Sorong dengan tujuan yang sama. Pada pertemuan itu
yang mewakili Danrem Sorong dan Kapolreta Sorong hadir untuk mengikuiti
penjelasan itu. Saya mengajukan pertanyaan yang sama. Saudara-saudara,
siapa-siapa yang mau merdeka di atas tanah leluhur orang Melanesia ini? “
Seluruh hadirin yang memenuhi ruangan itu berdiri dan angkat tangan dan
mengatakan: merdeka… .merdeka…… merdeka…….. merdeka…..”. Yang tidak berdiri
hanya bapak yang mewakili Danrem dan Kapolresta Sorong.
Apakah ini dikatakan segelintir orang?
Ini masalah hak politik dan demi masa depan bangsa Papua. Kekuatan rakyat ini,
tidak bisa kita bendung. Berapapun jumlahnya. Kita harus memberikan ruang untuk
rakyat Papua. Karena sudah lama mereka menderita. Saudara-saudara, ini fakta.
Ini bukti.Ini realitas. Ini di depan mata kita. Ini dibicarakan dalam era
Otonomi Khusus yang GAGAL itu. Ini dibicarakan di tempat resmi. Ini disampaikan
dengan jujur dan sopan kepada pejabat resmi. Tidak bicara ditempat
sembunyi-sembunyi. Tidak dibicarakan di hutan-hutan. Ini bukti kejujuran. Ini
bukti keterbukaan sebagai bangsa yang bermartabat. Pejabat Indonesia, Pemerintah
dan aparat keamanan bukalah hati nuranimu sebagai manusia.
Para pembaca yang terhormat dan yang
mulia, ijinkan saya mengutip kembali opini saya di Bintang Papua, Selasa, 14
Februari 2012, hal.5 dan Pasific Post, hal.12 ) dengan topik: PEPERA 1969, OTONOMI
KHUSUS 2001, UP4B 2011. “ Para pembaca opini ini, Anda percaya atau tidak. Anda
akui atau tidak. Anda suka atau tidak suka. Anda senang atau tidak senang. Saya
TAHU, saya SADAR, saya MENGERTI, saya PERCAYA dengan IMAN, bahwa CEPAT atau
LAMBAT nubuatan ini akan terwujud, hanyalah persoalan waktu. “Di atas batu ini
saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian
tinggi, akal budi,dan marifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa
ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” (Pdt. Izaac Samuel Kijne,
Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925).
Karena itu, solusi terbaik yang
berprospek damai dan manusiawi yang saya usulkan sebagai bahan pertimbangan
pemerintah Indonesia ialah: Pertama, Pemerintah Indonesia dengan jiwa besar harus
mengakui kekagagalan dan kesalahan terhadap penduduk asli Papua sejak 1 Mei
1963 sampai hari ini dan harus mengakhiri pendudukan dan penjajahan di atas
Tanah Papua. Kedua, Pemerintah Indonesia dan Rakyat Papua harus membuat
perjanjian-perjanjian kerja sama dalam bidang : ekonomi, keamanan, politik dan
bagaimana nasib orang-orang Melayu, Indonesia yang sudah lama berada di Papua
dan termasuk penduduk Transmigrasi. Ketiga, saya ingatkan kepada pemerintah dan
aparat keamanan, walaupun di Tanah Papua akan dibangun sejumlah infrastruktur
milite di darat, dilaut dan di udara dan datangkan para pendatang tanpa
terkendali di Tanah Papua untuk menekan orang asli Papua, tetapi saya katakan
kepada Anda semua: “ Dunia tidak berada dalam pengawasan dan kontrol Indonesia.
Indonesia sekarang sedang dipantau dan dikontrol dengan ketat setiap detik.”
Ini awasan sejak dini dari seorang gembala umat, supaya Indonesia harus
baik-baik dan perbaiki relasi yang manusiawi dengan penduduk asli Papua,
pemilik tanah dan negeri ini. Supaya Indonesia diberkati dan dikasih oleh
Tuhan.
Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan
yang bertugas di Tanahnya orang Melanesia Papua ini diharapkan supaya
mempelajari dan merenungkan nubuatan ini. ”Di Tanah ini, kita bekerja di antara
satu bangsa (Papua) yang kita tidak tahu apa maksud TUHAN buat bangsa ini. Di
Tanah ini, kita boleh pegang kemudi tetapi kita tidak menentukan arah angin,
arus, dan gelombang di laut serta tujuan yang hendak kita capai di Tanah ini.
Siapa yang bekerja dengan jujur, setia, dan dengar-dengaran pada Firman Allah
di Tanah ini, maka ia akan berjalan dari satu pendapatan heran yang satu ke
pendapatan heran yang lain” ( Pdt. Isaac Samuel Kijne, Holandia Binnen,
Numbay/Abepura, 26 Oktober 1956).
Sebenarnya, Otonomi Khusus 2001 adalah
kesempatan emas dan peluang terakhir bagi Indonesia untuk membangun kembali
kepercayaan (trust) dan memulihkan hubungan harmonis dengan rakyat Papua, tapi
sayang, OTSUS GAGAL. Pemerintah Indonesia selalu memakai kaca mata lama yaitu
kecurigaan yang berlebihan kepada orang-orang asli Papua dengan memelihara
stigma separastime selama ini, dan hasilnya bayi Papua merdeka terus bertumbuh
dan berkembang di hati rakyat Papua.
Selama kurun waktu sejak 1 Mei 1963-2012
ini, hampir 49 tahun, Pemerintah Indonesia telah gagal meminimalisasi
(menurunkan) atau setidaknya menghilangkan tuntutan rakyat Papua untuk merdeka
yang mencapai 95% tahun 1969. Kurun waktu 49 tahun adalah waktu yang cukup
panjang tapi Pemerintah Indonesia gagal dan hanya berhasil menunjukan wajah dan
watak kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang suram terhadap penduduk asli
Papua.
Pemerintah Indonesia telah gagal menjaga
martabat dan kedaulatan manusia Papua sehingga tidak berhasil menurunkan
tuntutan rakyat Papua dari mayoritas ke level minoritas atau segelintir orang.
Pemerintah Indonesia hanya sukses mengintegrasikan ekonomi dengan kekuatan
politik dan keamanan ke dalam Indonesia tapi manusia Papua disingkirkan dari
tanah leluhur mereka dan dibantai seperti hewan dengan stigma anggota OPM dan
pelaku makar. Akhirnya, ”…. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya
sendiri.” Dan tergenapilah seperti Sudjarwo mengakui: “ banyak orang Papua
kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia.” (Sumber: Laporan Resmi
Sidang Umum PBB MM ex.1, alinea 126). Shalom. Selamat membaca. Tuhan
memberkati.
Numbay,-- WPNLA berhasil melakukan KTT TPN-PB di Papua barat, Awal 2012 bulan mei para pejuang sayap militer di papua barat yang di sebut Tentara Pembebasan Nasional - Papua Barat (TPN-PB) Berhasil merumuskan, menetapkan perangkat kerja TPN sebagai pemegang komando tertinggi dalam perjuangan kemerdekaan bangsa papua.
Dalam momen yang bersejarah ini, para utusan dari 7 kodap wilayah papua berhasil menetapkan panglima tertinggi dan semua struktur TPN - PB. Dalam kesempatan itu Gen. Goliat Tabuni berhasil merebut posisi panglima tertinggi di susul, Wakil Panglima TPN-OPM, Letjen
Gabriel Melkizedek Awom dan Kepala Staf Umum TPN-OPM, Mayjen Terianus
Satto.
Dan sampai berita ini di publikasikan, para panglima yang terpilih masih dalam proses perencanaan pelantikan, agenda pelantikan harus dengan perencanaan yang matang, ini demi keamanan para petinggi militer TPN-PB yang akan ambil bagian dalam acara pelantikan tersebut.
Pelantikan Panglima, Wakil Panglima dan Kepala Staf Umum TPN-OPM rencana akan
dilaksanakan tanggal
30 November 2012 di Puncak Jaya, namun sampai sekarang belum di konfirmasi akibat kesulitan komunikasi. Karena tempat pelantikan yang di pilih pedalaman dan sulit di jakau informasi.
Berikut Video KTT Di Biak bulan mei yang lalu, yang di publikasikan oleh WPNLA.
Papua Lanny jaya,-- 1 Desember merupakan hari yang bersejarah bagi bangsa papua, walaupun pemerintah negara indonesia melarang rakyat papua manaikan bintang kejora sebagai bendera rakyat papua, namun ternyata kini rakyat papua tetap memperingati hari kemerdekaan dengan berbagai bentuk bahkan di lakukan dengan upacara pengibaran bintang kejora secara resmi.
Sesuai laporan dari rakyat papua di lanny jaya, upacara pengibaran bintang kejora di lakukan dengan upacara resmi rakyat bersama para pejuang gerilya di lanny jaya papua dini hari 1/12/2012.
Dalam sambutannya Pimpinan OPM Purom Wenda mengatakan tidak kata mundur dalam perjuangan kami, dengan berbagai cara kami tetap berjuang, entah gerilya, diplomasi, demo damai kami akan menyatakan kepada dunia bahwa kami mau keluar dari negara NKRI, kami tetap berjuang untuk mendapat pengakuan dan legitimasi dunia atas status bangsa papua sebagai negara yang berdaulat, katanya.
Upacara di lakukan dengan penuh memaknai, rakyatpun berpartisipasi dalam upacara ini, di sela - sela upacara, juru bicara TPN P wene wenda mengatakan, siapa yang melarang kami untuk memperingati hari kemerdekaan kami, yang melarang kami adalah orang yang tidak tahu tetang sejarah bangsa papua. kami mempunyai hak mutlak untuk merayakannya, kami di jamin undang - undang NKRI dan dunia.
Kalaupun ada yang melarang berarti Dia melangar Hak kami sebagai bangsa papua yang mau merdeka dan keluar dari Indonesia. jadi kami berharap semua rakya papua merayakan dengan berbagai bagai bentuk dan cara, entah ibadah, upacara, doa dan lain - lain katanya.
Walaupun aparat TNI/Polri melarang untuk kami merayakan hari bangsa papua, namun rakyat papua tetap dengan berbagai cara merayakannya, bahkan pengibaran bintang kejora. (tw)
Jayapura -
Panglima Tinggi Tentara Pertahanan Nasional Organisasi Papua Merdeka
(OPM) Distrik Pirime, Kabupaten Lanny Jaya, Purom Okiman Wenda, mengaku
bertanggung jawab atas penyerangan terhadap rombongan Kepala Kepolisian
Daerah Papua, Inspektur Jenderal Tito Carnavian.
Rombongan yang
menggunakan mobil yang beriringan sedang melintas dari Wamena menuju
Kepolisian Sektor Tiom, Kabupaten Lany Jaya, Rabu, 28 November 2012. Di
antara rombongan juga terdapat Asisten Intelejen Kodam XVII
Cenderawasih, Kolonel Napoleon.
”Iya, kami tembak. Waktu itu ada
satu mobil di depan. Kami lihat dan serang. Mobil di belakang juga kami
tembak, kata Wenda, Jumat, 30 November 2012.
Menurut Wenda, saat
penyerangan dilakukan, jumlah anggota OPM puluhan orang. Penyerangan
menggunakan senjata laras panjang dan pistol. ”Kami balas ditembak, tapi
tidak ada yang kena, ujarnya.
Rombongan aparat keamanan
Indonesia itu diserang dari jarak sekitar 100 meter. Namun, dalam aksi
baku tembak yang berlangsung sekitar satu jam itu tidak menimbulkan
korban. ”Jaraknya dekat saja. Kami tembak mereka lari. Kami juga lari,”
ujar Wenda.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Papua, Ajun
Komisaris Besar Polisi I Gede Sumertha Jaya, mengatakan rombongan
sebelumnya meninjau lokasi insiden pembakaran Kantor Polsek Pirime yang
menewaskan tiga anggota polisi.
Usai melakukan peninjauan,
rombongan beranjak ke Tiom. Saat kendaraan yang ditumpangi rombongan
berada di Kampung Indawa, wilayah antara Distrik Tiom, Kabupaten Lanny
Jaya, dan Distrik Makki, Kabupaten Jayawijaya, terjadi penyerangan.
Para
pengawal rombongan melakukan tembakan balasan yang membuat anggota OPM
mundur. Konvoi rombongan kemudian melanjutkan perjalanan ke Tiom. "Kami
masih terus mengejar mereka," ujar Sumertha.
[JAYAPURA]
Pelantikan Panglima, Wakil Panglima dan Kepala Staf Umum TPN-OPM akan
dilaksanakan tanggal
30 November 2012 di Puncak Jaya. Dalam pelantikan tersebut Panglima
Tinggi TPN-OPM, Gen. Goliath Tabuni, Wakil Panglima TPN-OPM, Letjen
Gabriel Melkizedek Awom dan Kepala Staf Umum TPN-OPM, Mayjen Terianus
Satto.
“Ya
rencana besok kami akan ada pelantikan, dan kami akan menunggu
kawan-kawan yang lain. Dan kami
masih menunggu mereka bila sesudah lengkap kami akan lakukan
pelantikan. Bila kawan-kawan belum lengkap, bisa kami tunda,”kata
Sekertaris Jenderal TPN-OPM Anton Tabuni bersama Panglima Tinggi
TPN-OPM Gen Goliat Tabuni saat diwawancarai SP, Kamis (29/11)
pukul 10.32 WIT.
Disinggung Soal penyerangan Polsek Pirime? “Itu bukan kami yang lakukan,”tegas Anton Tabuni.
Lanjut dia,
itu ada upaya-upaya menggalkan pelantikan.
Sementara itu Panglima Tinggi TPN-OPM Gen Goliat Tabuni dalam wawancara singkatnya, mengatakan peristiwa
Pirime, Lany Jaya bukan kami. “Di Lany Jaya itu bukan kami yang lakukakan
Disinggung SP apakah dirinya siap dilanti memimpin TPN-OPM? “Ya saya siap dilantik, ”tegas Gen Goliat
Tabuni, mengakhiri pembicaraan singkatnya dengan SP.
Sementara itu almarhum Brigadir Jefri Rumkorem,hari ini pukul 12.00 WIT akan dimakamkan
di TMP Kesuma Trikora. Almarhum merupakan korban
penyerangan dan pembakaran yang dilakukan sekitar 50-an orang yang mendatangi Polsek Pirime, Kabupaten Lany Jaya.
Dalam kejadian tersebut juga menjadi korban Kapolsek Pirime Ipda Rolfi Takubessy dan Briptu Daniel Makuker. [154]
[JAYAPURA] Pihak
Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka(TPN/OPM) mengklaim tak
terlibat dan bertanggungjawab atas aksi penyerangan markas Polsek Prime,
Kabupaten Lany Jaya yang menewaskan tiga orang anggota polisi, Selasa (27/11)
pagi kemarin.
Ini dikatakan Kepala
Staf Umum TPN-OPM, Mayjen Terianus
Satto dalam rilis
yang diterima SP, Rabu (28/11) sore WIT.
Dikatakan, aksi itu
dilakukan oleh kelompok yang Kontra dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua
Barat (TPNPB) dengan ambisi egoisme. Menurut dia, TPN-OPM saat ini
mengklasifikasi akar masalah terhambatnya perjuangan bangsa Papua Barat untuk
Merdeka secara cermat dan menemukan bahwa persatuan Nasional belum bagus, baik
itu pergerakan sipil dan sayap Militer, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat
(the West Papua National Liberation Army), maka TPN-OPM telah melakukan tahapan
kerja dengan konsolidasi maksimal dari tahun 2008-2011.
Hasilnya, TPN-OPM telah berhasil melakukan Pra-KTT (Konferensi Tingkat Tinggi)
pada tanggal 15 Maret 2012 di Maribu, Sentani, Papua Barat. Dalam Pra-KTT
TPN-OPM ini melegitimasikan pembentukan Panitia KTT dan mengagendakan jadwal
pelaksanaan KTT pada tanggal 1-5 Mei 2012, bertempat di Biak, Papua.
Dengan dasar Pra-KTT ini, maka KTT TPN-OPM telah berhasil dilaksanakan di
Markas TPN Perwomi Biak, dari tanggal 1-5 Mei 2012.
Hasilnya, telah dipilih Panglima Tinggi TPN, Wakil Panglima dan Kepala Staf
Umum, masing-masing atas nama, Panglima Tinggi TPN-OPM, Gen. Goliath Tabuni,
Wakil Panglima TPN-OPM, Letjen Gabriel Melkizedek Awom dan Kepala Staf Umum
TPN-OPM, Mayjen Terianus Satto.
Selanjutnya, TPN-OPM telah berhasil melakukan Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS
dari tanggal 27-1 September 2012 di Markas TPN Wanum, Jayapura, Papua. Hasilnya,
mengagendakan jadwal Pelantikan Panglima, Wakil Panglima dan Kepala Staf Umum
TPN-OPM yang jatuh pada tanggal 30 November 2012.
Masih ada lagi Rapat Koordinasi Pimpinan TPN-OPM, yang sekiranya akan
dilaksanakan setelah acara pelantikan Panglima Tinggi TPN-OPM.
Berdasarkan keterangan singkat dalam Background TPN-OPM di atas, maka TPN-OPM
yang tergabung dalam ganca Nasional masih sibuk dengan agenda-agenda, dengan
program revormasi sayap militer, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (the
West Papua National Liberation Army), sesuai hasil keputusan KTT TPN-OPM di
Biak.
"TPN-OPM sekarang tidak sama dengan TPN-OPM sebelumnya. Artinya, TPN-OPM
telah mereformasi diri melalui KTT dengan mengatur serta membenahi kubuh sayap
militer OPM. Hal ini dengan jalan Restrukturisasi TPN dan Reorganisasi OPM,
yang mana TPN membenahi diri dengan sturuktur standar Militer dunia," kata
Terianus.
Dengan demikian , mengacu dari KTT TPN-OPM di Biak pada tanggal 1-5 Mei 2012,
maka TPN-OPM masih dalam tahapan kerja internal organisasi untuk membenahi dan
memantapkan legalitas hukum organisasi sayap Militer, dan TPN-OPM tidak
bertanggungjawab atas insiden penyerangan yang disertai pembunuhan anggota polisi dan pembakaran kantor.
"Bahwa, TPN-OPM yang tergabung dalam kancah Nasional menegaskan agar
TNI/POLRI jangan menyerang Masyarakat sipil di Pirime, namun harus mencari
oknum-oknum pelaku serta aktor skenario penyerangan. Karena yang melakukan
penyerangan adalah kelompok yang kontra dengan Keputusan Hasil KTT TPN-OPM di
Biak, Papua. Dengan tujuan untuk menggagalkan acara pelantikan Panglima Tinggi
(Gen Goliath Tabuni) dengan Wakil serta Kepala Staf Umum, secara nasional di
Tingginambut, Puncak Jaya, Papua pada 30 November 2012," ujarnya. [154]
Jakarta-Papua conflict that has lasted for 47 years (starting from 1963) and establish paradigm fosters separatism. This paradigm has been the framework and foundation of thought for both parties. At the opposite extreme, the events that occurred in Papua understood and addressed in the framework separatist conflict. Parties
to the central government (read: Polhukkam Coordinating Ministry,
Ministry of Home Affairs, and BIN) Jakarta puts goals in order to
maintain the integrity of combating separatism NKRI above all other
political and economic policies. Violence in the New Order state is considered politically correct because it is considered as an effort to combat separatism. Excesses of state violence is not considered a breach of human rights more important than combating separatism. At
the time of the Reformation, and Autonomy in Papua, the practice of
repression and state violence is still the name of combating separatism.
Murder
of Theys Eluay in November 2001 was clearly acknowledged in court that
the killing was done in order to prevent the strengthening of the
independence movement in Papua. It continued in Abepura (2000), Wasior (2001), Wamena (2003), and the last murder Kelly Kwalik. In the name of combating separatism Similarly, violations of the law "tolerable". For example, Instruction 1/2003 which divide Papua into three provinces clearly violating Article 76 of Law 21/2001. As
much as the public protests and public criticism of the policy, the
policy is kept out by the Ministry of Home Affairs and the Ministry for
backup from BIN Polhukkam. Internal Among them, the reason is clear and never denied. Expansion Instruction 1/2003 is to prevent the unity of pro-independence Papuans in Jayapura. The
grounds contain the foreign influence in the separatist movement in
Papua is also treated as a covered area for researchers and foreign
journalists. The fact that good and bad is blurred in Papua. The boundary between factual news and rumors of the imagination of political actors is blurred. Official news in newspapers is often defeated by rumors among the public via sms or whispers. As
a result, the technology has telephone and internet communication,
representation and image Papua out to be difficult to verify. Suspicions grow very fertile. Cases of violence by the state or from the group of Papuan movement is never revealed completely. Devices and law enforcement institutions were distorted. In many cases the assumption Papuan political police, prosecutors and judges are dominated by the paradigm of separatism. Student political action easily put in a box separatism. Before the trial began, the attitude of law enforcement have clearly demonstrated their priori suspects or defendants politics. Examples
of student activist judicial practice Buchtar Tabuni and colleagues
(2009) who tried to use subversion article shows it. If outside Papua clauses may be lighter. Because
it is an instrument of law enforcement paradigm also tends to be
subordinated and manipulated into a tool to limit political expression
and silencing citizens. Excessive
vigilance and the resulting stigma separatists used further as a means
of control and marginalization of the opposition Papua. Most
alarming of all, separatist paradigm is used as a cover for a variety
of state failure in carrying out its duties, the public services and the
creation of a sense of security, against Indonesian citizens in Papua. The dominant product of the separatist paradigm is impunity and injustice.
"Disease"
separatist paradigm also affects leaders and the people of Papua, most
of the leaders and elite Papuan pro-independence Papuan. They almost always led to an understanding of all the demands of political discourse towards independence. The government considered a deliberate and planned to get rid of or destroy indigenous Papuans as they are separatists. Papua
parties, especially the TPN / OPM and the community and the Papuan
elite, both who have been victims of state violence as well as those
directly related and historical kinship with the victims, felt he had
become victims of state violence both symbolically and structurally. As
a result, growing culture of terror, which is all that bad,
catastrophic illness and violence almost always is believed to be the
design of another (mostly Jakarta) to kill, remove, and destroy
indigenous Papuans. The product of the culture of terror is a deep distrust of government in general. When
the number of HIV / AIDS among indigenous Papuans increased rapidly,
much discourse says that the disease was deliberately taken by the
police or military forces through sex workers brought in from outside
Papua. HIV / AIDS is seen as a means to kill the native Papuans slowly so eventually perish from this earth.
No
critical questions to try to understand the complexity of the pattern
of sexual relations among indigenous Papuans, free sex transactions
between Papua and new comers unprotected sex habits, to the government's
policy response to the spread of HIV / AIDS. Most people are not interested to see the facts and critically observant but just want to justify their prejudices. Culture is manifested in fear of terror and hatred against excessive state security forces. All things considered come from Jakarta tends suspected abuse. From there grew also a victim mentality. Many
Papuans lost the ability to critically understand their own problems,
loss of confidence, and tend to expect outside help (outside Indonesia)
in solving their own problems. Everything smelled new hope international is seen as supreme. In
the process of public consultation exercise recently and various
workshops, we heard many Papuans demand for international dialogue held,
international mediators, influx of UN peacekeepers to Papua, and so on.
Without further thought, what is internationally considered better and can solve the problem. Often Papuan leaders also manipulate the myth of an international force to keep political support and funding from the public. Paradigm
also makes Papuan separatism develop and reinforce the myth that
indigenous Papuans definitely in her heart to save aspirations M and
non-Papuans (read: non-Papuan Indonesian citizens) must be pro-Republic
of Indonesia and is considered "the enemy". Consider the statement Papuan activists in discussions or seminars.
"I
do not believe you because you are an Indonesian who kill kill us."
"Only someone who knows Papua Papua and Papua have the heart to build."
Discourse was kept alive despite many Papuan leaders who oppress the
Papuans or otherwise non-Papuans who contributed a lot to the people of Papua. The
paradigm that is what fosters fear and see the whole corner of the
earth is monitored and controlled by intelligence or security forces in
Indonesia. This
feeling is strong among residents or embedded Papuan leaders who felt
himself being watched for their participation in the political movement
of anti-Indonesia.
For
example, a person is sick and does not want to go to Jakarta for fear
of later intelligence infiltrated the hospital and injected poison into
the infusion bottle. Or also an activist who had a motorcycle accident and develop a rumor that Intel pushed into the gutter. No critical questions arise there, and people tend to believe it. Separatist
discourse or the word "free" is also being considered to be an
effective tool to intimidate officials in Jakarta in order to fulfill
the political ambitions of Papuan officials. For
example, when the demands of a particular disbursement or has not been
disbursed by the agency in Jakarta, intimidation by using the word
"freedom" began to appear.
Another
obvious example is one reason won a judicial review at the
Constitutional Court regarding an additional 11 members of the DPRP,
namely that in the composition of the membership of the current DPRP
pro-Homeland unrepresented. Beyond that, quite simply, the proposer of the Barisan Merah Putih, willing to take a quota of 11 seats if it works. Paradigm separatism is also used as a tool for protection from legal by Papuan officials are corrupt. Some
corrupt officials begin investigation or even heard, began to make
style statements "Indonesian nationalism" with a lot of the word
Republic and criticized the pro-independence group, or a rehash of his
services to "defend" Homeland. Exposure on the overall situation to be one important cause paralysis and political deadlock. Parties
Jakarta tend to suspect and rejected most of the problem solving
initiatives coming from Papua with the formula "Homeland fixed price". Instead
the Papua feel unfairly treated continuously and diakhianati by Jakarta
that also insisted the reactionary statement that "Freedom is also set
in stone". Suspicions between the two nourished by various repressive policies of Jakarta and Papua unfriendly. In response, a variety of actions and statements of political separatism in Papua reinforced paradigm mentioned above. In
the end on one side of the paradigm of separatism developing policies
and behavior of government officials is against the purpose of combating
separatism itself. On the other hand, it reinforces the desire, at least strengthen separatist discourse, indigenous Papuans to secede. (MSW)