This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tampilkan postingan dengan label TPN/OPM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TPN/OPM. Tampilkan semua postingan

8/06/2014

Wanimbo: Jangan Kriminalisasikan TPN/OPM, Kami Berperang Dengan Pasukan TNI/Polri.

TPN/OPM
Jayapura, Sudah hari ke lima Perang gerilya antara TPN/OPM vs TNI/Polri yang sedang berlangsung di pirime kab. Lanny jaya,
Ketika media ini tanyakan via telp! Tentang motip di balik penembakan ini.

Kom.Enden wanimbo dengan tegas katakan bahwa, kami bukan aksi kriminal atau teroris, kami perang gerilya, kami lawan pasukan indonesia, kami tembak bukan warga sipil namun aparat TNI/Polri, ini perang, kami baku lawan senjata dengan senjata, kami bukan sipil bersenjata, kami juga anggota Tentara Pembebasan Nasioanl (TPN) Papua barat, kata Enden. Wanimbo 03/08 yang di hubungi blog ini via telp.

5/10/2013

Kantor OPM di Oxford Tidak Bisa Ditutup

Marinus: Kecuali Benny Wenda CS Lakukan Tindakan Merugikan Negara Inggris

Photo ilustrasi Free West Papua
JAYAPURA - Sudah hampir seminggu belakangan ini, pendirian kantor Perwaklan OPM di Oxford, Inggris, masih terus menjadi perbincangan hangat, tidak hanya di tingkat nasional, namun juga di Papua.

Menyusul pernyataan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua, Stevanus Siep,SH, bahwa penderian Kantor Perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Kota Oxford-Inggris tidak memiliki legalitas hukum yang jelas, mendapat tanggapan serius dari Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik Universitas Cenderawasih, Marinus Yaung.

Dosen Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Uncen Jayapura ini mengatakan, Kantor Perwakilan OPM di Kota Oxford Inggris tidak bisa ditutup. Alasannya, pertama, Benny Wenda dan kawan-kawannya sebelum mendirikan Kantor Perwakilan OPM tersebut, mereka telah membentuk dan mendirikan satu badan hukum yang bernama Free West Papua.

Ditegaskannya, di Inggris suatu pendirian sesuatu yang berbadan hukum, pengurusan surat ijinnya rumit dan memakan waktu yang lama. Kalau badan hukumnnya adalah lembaga yang memperjuangkan kepentingan warga di Inggris sendiri, surat ijinnya cukup dikeluarkan oleh pemerintah lokal dengan mendapatkan persetujuan parlamen lokal, dan waktu pengurusannya paling lama tiga bulan.

Tetapi kalau badan hukumnnya dengan tujuan didirikannya untuk memperjuangkan kepentingan warga Negara asing di luar Inggris seperti Badan Hukum Free West Papua, itu prosesnya harus mendapat surat ijin pemerintah lokal dan parlamen lokal, kemudian disampaikan ke pemerintah Inggris dan parlamen Inggris untuk mendapatkan persetujuan waktu yang dibutuhkan dalam proses pendirian badan hukum seperti Free West Papua ini paling lama dua tahun.

“Jadi kalau sampai KBRI Indonesia di London tidak mengetahui proses pendirian Kantor Perwakilan ini, berarti itu sangat keterlaluan dan kegagalan besar dalam diplomasi Indonesia,” ungkapnya kepada Bintang Papua, di kediamannya, Jumat, (9/5).

Bahkan disini, jika ada yang bilang dasar legalitas hukum Kantor Perwakilan OPM ini tidak jelas, itu bahasa yang keliru dan tidak memahami sistem politik dan pemerintahan di Inggris. Dan jika dikatakan tidak mempunyai dampak yang kuat terhadap perjuangan Papua menuju kemerdekaan, dirinya perlu mengingatkan bahwa politik Internasional mengenal satu gaya politik yang paling ditakuti yakni politik domina atau domino effect. Yakni kalau kartu yang satu sudah jatuh, misalnya kartu AS atau Joker, maka kartu-kartu domino lain akan jatuh juga.

Politik semacam ini berakar dan bermula dari Inggris, kemudian dikembangkan oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Kissinger dalam strategi perang dingin dengan Uni Siviet-Inggris. Dengan demikian, sesungguhnya kartu AS atau Joker dalam perjuangan Papua Merdeka.

Alasan lainnya adalah Benny Wenda dan kawan-kawannya yang mendirikan Kantor Perwakilan OPM adalah warga Negara Inggris, bukan penduduk ilegal. Karena status warga Negara seperti itu, maka tentunya Pemerintah Inggris tidak bisa mencampuri aktivitas ekonomi, politik, sosial dan aktivitas keseharuan warga negaranya.

Pemerintah Inggris hanya bisa mencampuri aktivitas pribadi warga negaranya apabila diminta oleh bersangkutan atau yang bersangkutan melakukan extra ordinary crime yang merugikan Negara secara luas. Jadi selama Benny Wenda dan kawan-kawannya beraktivitas dengan Kantor OPM, pemerintah Inggris tidak bisa mencampuri aktivitas mereka karena pemerintah akan dianggap melanggar hukum yang dibuatnya sendiri.

“Jarang di Inggris kita melihat pemerintahnya melanggar hukumnya sendiri. Tapi kalau di Negara kita, itu hal yang lumrah karena di Indonesia, hukum dibuat untuk dilanggar sendiri oleh pembuatnya. Jadi aktivitas OPM, kantornya akan tetap berjalan di Inggris. Bisa tutup apabila teman-teman OPM di Inggris melakukan tindakan kekerasan, pemboman, sabotase dan lainnya yang merugikan Negara,” tukasnya.

“Selama seperti itu, maka kantor OPM tetap beroperasi, dan Kota Oxford perlu pembaca ketahui bahwa selain Kantor OPM, juga Kantor Perwakilan Perjuangan orang-orang Skotlandia dan Kantor Perjuangan orang-orang Irlandia Utara yang ingin merdeka dari Inggris,” sambungnya.

Berikutnya, mereka yang mensponsori atau berada di belakang pendirian Kantor Perwakilan OPM di Inggris adalah LSM-LSM Internasional yang tersebar di beberapa Negara Eropa, Amerika, Australia dan individu-individu yang berpengaruh di dunia seperti Pdt. Desmond Tutu dari Afrika Selatan.

Kekuatan Sponsorship di balik Benny Wenda inilah yang menurut hematnya bahwa mendatangkan beban moral terhadap pemerintah Inggris agar ikut juga merasakan dan memahami suasana kebatinan orang-orang di Tanah Papua yang masih hidup dibawah penindasan dan penderitaan yang berkepanjangan seperti Afrika Selatan di masa penerapan politik Apartheid.

Karena beban psikologis inilah yang kemungkinan pemerintah Inggris tidak bertindak mencegah pembukaan Kantor Perwakilan OPM dan tidak mungkin juga untuk menutupi operasional Kantor OPM dimaksud.(nls/don/l03)

Sumber: Bintang Papua
 

4/08/2013

BUNUH PEJUANG PAPUA, TAK AKAN SELESAIKAN MASALAH

Dias Gwiyangge
Jayapura, 8/4 (Jubi) – Anggota DPR RI asal Papua, Diaz Gwijangge menegaskan dirinya tak setuju jika pimpinan tertinggi OPM, Goliat Tabuni dinyatakan DPO. Membunuh para tokoh pejuang Papua tak akan menyelesaikan masalah.

“Saya tak setuju jika Goliat Tabuni dikatakan DPO agar dia bisa dibunuh, karena itu tidak akan menyelesaikan masalah. Beberapa tokoh pejuang Papua Merdeka seperti They Eluay, Keli Kwalik hingga Mako Tabuni dibunuh, tapi masalah tidak selesai. Meski para pejuang ini meninggal, isu Papua merdeka tetap ada,” kata Diaz Gwijangge, Senin (8/4).

Menurutnya, tidak ada yang memaksa orang Papua berteriak merdeka. Itu adalah ideologi politik orang Papua sendiri, sehingga penyelesaiannya juga harus dengan cara politik. Lewat dialog atau apapun namanya yang penting kedua pihak duduk bersama.

“Kita tidak usa baku tipu. Kita sudah melihat apa yang terjadi di Timor Leste. Jika Aparat melalukan hal-hal tersebut, maka bisa dikata ada genoside di Papua. Jadi saya pikir Kapolda harus jeli melihat masalah ini. Jangan langsung menuding dan menjadikan sesorang DPO. Ada prosedur yang harus dilakukan. Negara harus menjamin hak hidup setiap orang. Yang bisa mengambil nyawa manusia hanya Tuhan, bukan manusia,” ujarnya.

Dikatakan, menyelesaikan masalah Papua harus tuntas. Tidak hanya sepotong-sepotong. Apalagi sudah ada etika yang baik dari orang asli Papua untuk selesaikan masalah Papua. Jaringan Damai Papua (JDP) sudah mendorong dialog, itu harus segera direspon baik oleh pemerintah RI dan melibatkan mereka yang dikatakan OPM untuk dialog.

“Aceh dan Papua statusnya sama. Tidak ada bedanya. Bahkan GAM Aceh bisa dikatakan peralatan dan struktur mereka tertata baik. Lalu kenapa Aceh bisa diselesaikan lewat perjanjian Helsinkin. Lalu Papua tidak bisa? Berarti ada diskriminasi,” kata dia lagi.

Selain itu dikatakan, ada dua kebijakan pemerintah yang keliru di Papua. Orang Papua diberikan Otsus tapi ternyata dalam penerapannya pusat tidak konsisten. Pusat juga memberikan pemekaran seenaknya untuk Papua dan ini kerap menimbulkan konflik antara sesama orang asli Papua.

“Jadi harusnya pemerintah dan orang asli Papua duduk bersama untuk dialog. Bahkan jika perlu ada pihak ketiga seperti GAM lalu. Kenapa Papua tidak bisa begitu, sementara Aceh bisa? Pemerintah seolah tidak serius menyeselesaikan masalah Papua sehingga terus terjadi kekerasan,” ujar Diaz Gwijangge. (Jubi/Arjuna)

Ruben Magai: Dua Jenderal Jangan Saling Ancam

Ruben Magai Anggota DPR Papua
Jayapura, 8/4 (Jubi) Pasca rencana penetapan DPO oleh Polda Papua terhadap panglima tertinggi OPM, Goliat Tabuni (GT), membuat yang bersangkutan mengancam balik akan menembak Kapolda Papua.

Ketua Komisi A DPR Papua, Ruben Magay meminta agar dua jenderal yakni Kapolda Papua, Irjen Pol Tito Karnavian dan pimpinan tertinggi OPM Jenderal Goliat Tabuni tidak lagi saling ancam.

Ia mengatakan, jangan sampai sikap keras keduanya justru akan terus mengorbankan rakyat Papua. Untuk itu kedua jenderal ini harus mencari solusi bagaimana langkah terbaik yang dilakukan. Selain itu, Kapolda Papua diminta tidak langsung menetapkan GT sebagai DPO.

“Saya harap kapolda bisa mengungkap fakta dan bukti bagaimana GT bisa ditatapkan DPO. Goliat Tabuni kan juga mengkami diri sebagai jenderal atau panglima OPM. Ideologi dia adalah Papua Merdeka, bukan kriminal. Ini adalah ideologi politik. DPO kan hanya untuk pelaku kriminal. Jadi kita harap dua jenderal ini jangan saling mengancam,” kata Ruben Magay, Senin (8/4).

Menurutnya, kedua pihak perlu berdialog secara demokrasi. Selain itu, Polda juga perlu mengungkap secara jelas penembakan yang terjadi selama ini. Jangan hanya dikatakan pelaku adalah OTK atau kelompok bersenjata. Lalu karena Goliat Tabuni pimpinan OPM, makanya dia langsung dituduh.

“Perlu ada pembuktian. Jangan sampai masyarakat jadi korban terus. Apa yang Goliat Tabuni perjuangkan sudah jelas. Dia ingin Papua merdeka. Bahkan jika memungkinkan Kapolda bertemu langsung dengan Goliat Tabuni dan duduk bicara bersama. Oleh karena itu dialog sangat penting.,” ujarnya.

Selain itu dikatakan Ruben, orang asli Papua juga tahu jika pemerintah tidak sepenuhnya berpihak kepada mereka. Mereka kerap diintimidasi dan hak mereka dirampas. Hal ini yang menimbulkan aspirasi merdeka. Orang Papua akhirnya sadar akan itu. Situasi politik diciptakan sendiri oleh negara, sehingga orang Papua juga mulai melawan.

“Siapapun di dunia jika hak mereka dirampas mereka tidak akan tinggal diam. Jadi kedepan polisi harus profesional. Jangan salah sedikit dikriminalisasi. Rakyat Papua sudah trauma terhadap aparat. Harus ada perubahan,” katanya. (Jubi/Arjuna)

4/04/2013

Polda Keluarkan DPO, Pimpinan Tinggi TPNPB-OPM Siap Lawan

Jayapura Onews,--  Panglima Tinggi  Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat  (TPNPB)-Organisasi Papua Merdeka (OPM), Gen Goliat Tabuni tidak takut dijadikan DPO oleh Polda Papua. Hal itu dikatakan Sekjend TPNPB-OPM dalam pembicaraan via telepon, Jumat (5/4). 

“Goliat Tabuni tidak takut dijadikan DPO oleh Kapolda Papua.  Dan kami ini bukan teroris,” ujarnya.    

Dijelaskan,  Goliat Tabuni adalah pimpinan  TPNPB-OPM.  “Tra papa (tidak apa-apa)   dong (mereka) kasih keluar DPO saja. Kami tetap berada di markas kami. Bila TNI-Polri datang kami lawan, sampai merebut kemerdekaan” kata Anton Tabuni dengan nada tinggi. 

“Datang sudah  dan kami tangkap. Ini bukan hal baru, sudah dari dulu. Dan kami tidak takut,” tambah dia.

Seperti diketahui, Polda Papua akan mengeluarkan DPO bagi Goliat Tabunu terkait penyelidikan kasus penembakan 7 prajurit TNI dan 4 warga sipil di Distrik Sinak Kabupaten Puncak, serta 1 prajurit di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak  Jaya pada 21 Februari lalu.

Paling Tertinggi TPN-OPM, Goliat Tabuni merupakan  salah satu tersangka  utama kasus  penembakan 8 prajurit  TNI dan 4  warga  sipil di Distrik   Sinak tersebut.    

“Langkah-langkah kita sudah dikaji dulu  untuk kita mau terbitkan DPO secara  jelas. Dengan dasar  hukum, alat-alat   bukti  yang kuat, dan kasusnya apa saja,”  kata Kapolda Papua Irjen (Pol) Drs. M. Tito Karnavian, Rabu (3/4) lalu.  

Dia mengatakan, Goliat  Tabuni  telah  mengaku terlibat  kasus  penembakan  seorang prajurit  TNI  di  Distrik Tingginambut,  Kabupaten  Puncak Jaya.

Pihaknya  juga  menangkap  seorang  tersangka yang mengaku  anggota pasukan Goliat Tabuni, yang  mengetahui  kasus  penembakan  di  Sinak sekaligus  terlibat  penembakan  pesawat  Trigana  Air di Mulia beberapa waktu lalu. 

“Bila  surat DPO telah diterbitkan, kami  segera  menangkap  Goliat Tabuni. Kemungkinan besar  melibatkan TNI, karena sudah ada  progres perbantuan   TNI kepada Polri  tahun 2013,” ujarnya.        

Menurutnya,  guna mengungkap kasus penembakan 7 prajurit  TNI dan 4  warga  sipil di  Sinak, pihaknya juga  merencanakan  melakukan cross ceck  dengan pemanggilan beberapa saksi,  termasuk   pasangan  calon  Bupati  Puncak  Elvis  Tabuni  dan Heri Dosinaen,  serta sejumlah anggota  DPRD  Puncak, Repinus Talenggeng.  [154]

 

3/25/2013

Lagi Puncak Jaya Memanas, 1 Warga Ditembak TNI dan 2 wanita diperkosa

Operasi TNI/Polri di Papua
Jayapura, Onenews,-- Puncak Jaya Papua kembali memanas, Tentara Nasional Indonesia (TNI) menembak mati satu warga sipil orang asli Papua asal Distrik Tingginambut, saat korban sedang berjalan di Kampung Yamo, ia ditembak oleh TNI  berkisar jarak 100 M dari Pos TNI Distrik Tingginambut. Korban mengenai Peluru tima panas tembus paha kanan, dan  korban sementara masih kritis.

Korban yang di Tembak TNI adalah warga sipil Distrik Tingginambut atas nama Wundiwili Tabuni (25Th). Peristiwa ini terjadi tanggal (21/03/2013) waktu setempat.

Kata sumber kepada WPNLA, “Sebelum Wundiwili ditembak TNI, Anggota TNI di Distrik Tingginambut di Yamo, ada 1 tank-tank dan naikan bendera merah putih. Mereka bilang kalau orang Papua lewat sini kami akan tembak”. Ujarnya.

Sumber lain mengaku hal itu disampaikan kepada sumber oleh salah satu prajurit TNI kepada sumber yang namanya tidak mau dimuat di WNLA, tetapi diijinkan untuk marganya ditulis adalah Tabuni.

Korban Pemerkosaan 2 Wanita
 
Selain itu, pada hari Sabtu (23/03/2013), terjadi perkosaan terhadap 2 wanita oleh TNI dari Pos Distrik Tingginambut kesatuan 753 Nabire. 
2 korban permekosaan diantaranya, Regina Murib (25Th) dan Weresina Tabuni (22Th) warga Distrik Tingginambut.

Dua wanita korban pemerkosaan TNI nama Regina Murib diperkosa oleh 5 Prajurit TNI dari kesatuan 753 Nabire yang ditugaskan di Distrik Tingginambut.  Kemudian korban Weresina diperkosa oleh 10 Prajurit TNI 753 Nabire. Hal itu dilaporkan salah satu keluarga korban dari Mulia setelah ia mendapat informasi peristiwa tersebut, melalui via telpon seluler kepada WPNLA.

Ditanya kepada sumber terkait peristiwa penembakan Wuniwili apakah benar terjadi? Sumber mengatakan “itu betul Wundiwili Ditembak oleh TNI saya juga dengar informasi itu”. Ujarnya, kepada Admin WPNLA.

Tentara Nasional Indonesia Memancing Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, dengan cara menembak masyarakat sipil dan perkosa wanita secara tidak manusiawi. 

Hal ini TNI melanggar HAM, karena TNI yang melakukan perlawanan masyarakat sipil, padahal harusnya TPN-OPM yang menewaskan TNI. 

Jika TNI mau balas dendam bukan kepada masyarakat sipil, tetapi carilah TPN-OPM. Apalagi wanita yang tidak tau apa-apa diperkosa. Hal ini benar-benar melanggar Hak Asasi Manusia oleh TNI 753 di Puncak Jaya.

Sebetulnya, jika para TNI melakukan perlawanan terhadap TPN-OPM tidak salah, jangan terhadap masyarakat sipil. Perlawanan atau perang yang terjadi di Puncak Jaya antara TPN-OPM dan TNI adalah sesuai hukum perang alias Geneva Convention. 
Sebab TPN-OPM melakukan perlawanan untuk mempertahankan keutuhan bangsa Papua untuk merdeka dan berdaulat Penuh seperti Negara-negara merdeka di dunia. 

Sedangkan TNI mempertahankan keutuhan NKRI Papua sebagai bagian dari NKRI tetapi Indonesia memaksakan kehendak orang pribumi Papua, untuk Papua bagian dari NKRI adalah tidak benar.

Akhirnya, setelah terjadinya Peritiwa penembakan pada (21/03/2013) dan pemerkosaan terhadap dua wanita (23/03/3013). Situasi di Puncak Jaya memanas saat ini, keluarga korban kesulitan perawatan korban tembak Wundiwili, dan dua wanita korban perkosaan mengalami sakit. Mohon perhatian da advokasi atas pelanggaran HAM di Distrik Tingginambut Kabupaten Puncak Jaya. Harap para pembelah HAM menyuarakan hal ini dengan serius.

Admin WPNLA 2013-03

12/07/2012

Sejarah Akan Memerdekakan Rakyat Papua ( 95% orang Papua mau merdeka)


Duta Besar Pemerintah Amerika Serikat untuk Indonesia, pada bulan Juni 1969 kepada anggota Tim PBB, Dr. Fernando Ortiz Sanz, secara rahasia mengakui: “ 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua.” (Sumber Dok: Jack W.Lydman’s Report, Juli 18, 1969, in AA). Sedangkan, Dr. Fernando Ortiz Sanz, perwakilan PBB untuk mengawasi pelaksanaan PEPERA 1969 melaporkan: “Penjelasan orang-orang Indonesia atas pemberontakan Rakyat Papua sangat tidak dipercaya. Sesuai dengan laporan resmi, alasan pokok pemberontakan rakyat Papua yang dilaporkan administrasi lokal sangat memalukan. Karena tanpa ragu-ragu, penduduk Irian Barat dengan pasti memegang teguh berkeinginan merdeka” (Laporan Resmi Hasil PEPERA 1969 Dalam Sidang Umum PBB, alinea 164, 260). Lebih tegas, Fernando Ortiz Sanz, menyatakan: “Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran Negara Papua Merdeka.” ( Dokumen resmi PBB, Annex I, A/7723, alinea, 243, hal. 47).

Sementara kesaksian pelaku dan saksi sejarah yang dikirim oleh Pemerintah Indonesia untuk memenangkan PEPERA 1969, Piter Sirandan (alm), pada awal Desember 2009 setelah membaca buku saya: “Permusnahan Etnis Melanesia” (2007) dan “Suara Bagi Kaum Tak Bersuara” (2009) menyatakan penyesalannya kepada saya: “ Pak Yoman, saya tiba di Jayapura, 1 Desember 1964.

Kami orang Indonesia benar-benar menipu orang-orang Papua yang mau berkata benar pada waktu itu. Kami benar-benar menipu orang Papua. Kami benar-benar menindas orang Papua. Kami benar-benar merugikan masa depan orang Papua. Kami benar-benar tidak menghargai hati nurani orang Papua untuk benar-benar mau merdeka. Kami mengetahui bahwa pada waktu pelaksanaan PEPERA 1969 itu, orang-orang Papua benar-benar mau merdeka. Saya mengetahui bahwa 100% orang Papua mau merdeka. Impian dan harapan mereka, benar-benar kami hancurkan. Pada waktu itu, saya mendapat hadiah uang sebesar Rp 7.000.000; dari Pemerintah Indonesia karena saya dianggap berhasil menipu orang Papua dan memenangkan PEPERA 1969. Karena itu, sekarang saya sangat mendukung perjuangan orang Papua untuk merdeka” ( baca: Dumma Socratez Sofyan Yoman: Integrasi Belum Selesai: 2010: hal.91-92, dan Socratez Sofyan Yoman: Gereja dan Politik di Papua Barat: 2011, hal. 21)

Bertolak dari kutipan laporan resmi PBB ini dan pengakuan pelaku sejarah di atas, pertanyaan yang perlu saya ajukan di sini adalah: Pertama, apakah sejak 1963-2012 dalam kurun waktu 49 tahun pendudukan pemerintahan Indonesia di Papua telah menurunkan jumlah keinginan rakyat Papua mau merdeka dari 95% atau jumlah mayoritas itu ke level 10 % atau sebaliknya justru dari 95% telah meningkat tajam melebihi 95% untuk keinginan merdeka dan berdiri sendiri? Kedua, Apakah benar hanya segelintir orang asli Papua yang mendukung Papua merdeka dan mayoritasnya mendukung dan memperkuat pendudukan dan penjajahan pemerintah Indonesia di Tanah Papua?

Kita menjawab pertanyaan ini dengan fakta, bukti atau realitas bukan ilusi dan imajiner.
Contoh-contoh realitas. Pertama, Pada Konferensi Perdamaian Papua pada 5-7 Juli 2011 di Auditorium Uncen Jayapura yang diselenggarakan oleh Jaringan Damai Papua (JDP). Para pembicara adalah Menkopolhukam, Gubernur, Kapolda, Pangdam XVII Cenderawasih, Uskup Dr. Leo Laba Ladjar, OFM., Dr. Tonny Wanggai, Dr. Pdt. Benny Giay dan Saya (Socratez Sofyan Yoman). Pada saat giliran dari perwakilan KODAM XVII untuk menyampaikan materi, pembicara diberikan kesempatan dan mengambil tempat di podium oleh moderator. Sebelum pembicara menyampaikan materi, ada komanda seperti ini: “Saudara-saudara, kalau saya sebut kata “Papua”, saudara-saudara peserta menyahut dengan kata “Damai”. Pembicara dari Kodam ini sebut Papua dan peserta menjawab dengan Merdeka. Pembicara sebut Papua: Peserta menjawab: Merdeka. Dan terakhir ketiga kalinya: Pembicara sebut Papua dan peserta menyambut dengan kata Merdeka.

Kedua, Pada tanggal 17-19 Oktober 2011, Rakyat Papua berkumpul di lapangan sepak bola Zakeus Padang Bulan Abepura dan menyatakan merdeka dan berdiri sendiri sebagai bangsa berdaulat di atas tanah leluhurnya.
Ketiga, Pada tanggal 10 Januari 2012, saya dengan Pendeta Marthen Luther Wanma mengadakan pertemuan dengan rakyat Manokwari di Gereja GKI Effata Manokwari untuk memberikan penjelasan hasil pertemuan kami dengan bapak Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono, di Cikeas, 16 Desember 2011. Sebelum kami memberikan penjelasan, saya mengajukan satu pertanyaan sebagai seorang gembala umat kepada umat atau domba-domba yang hadir. Pertanyaan saya sebagai berikut: “ Saudara-saudara, siapa-siapa yang mau merdeka di atas tanah leluhur orang Melanesia ini?” Seluruh rakyat yang hadir serentak berdiri dan angkat tangan dan mengatakan merdeka….merdeka…..merdeka….”. Yang tidak berdiri hanya 3 orang PNS, salah satunya adalah Bapak Sekda Kabupaten Manokwari.

Keempat, Pada tanggal 20 Januari 2012 pertemuan dengan rakyat di Sorong dengan tujuan yang sama. Pada pertemuan itu yang mewakili Danrem Sorong dan Kapolreta Sorong hadir untuk mengikuiti penjelasan itu. Saya mengajukan pertanyaan yang sama. Saudara-saudara, siapa-siapa yang mau merdeka di atas tanah leluhur orang Melanesia ini? “ Seluruh hadirin yang memenuhi ruangan itu berdiri dan angkat tangan dan mengatakan: merdeka… .merdeka…… merdeka…….. merdeka…..”. Yang tidak berdiri hanya bapak yang mewakili Danrem dan Kapolresta Sorong.

Apakah ini dikatakan segelintir orang? Ini masalah hak politik dan demi masa depan bangsa Papua. Kekuatan rakyat ini, tidak bisa kita bendung. Berapapun jumlahnya. Kita harus memberikan ruang untuk rakyat Papua. Karena sudah lama mereka menderita. Saudara-saudara, ini fakta. Ini bukti.Ini realitas. Ini di depan mata kita. Ini dibicarakan dalam era Otonomi Khusus yang GAGAL itu. Ini dibicarakan di tempat resmi. Ini disampaikan dengan jujur dan sopan kepada pejabat resmi. Tidak bicara ditempat sembunyi-sembunyi. Tidak dibicarakan di hutan-hutan. Ini bukti kejujuran. Ini bukti keterbukaan sebagai bangsa yang bermartabat. Pejabat Indonesia, Pemerintah dan aparat keamanan bukalah hati nuranimu sebagai manusia.

Para pembaca yang terhormat dan yang mulia, ijinkan saya mengutip kembali opini saya di Bintang Papua, Selasa, 14 Februari 2012, hal.5 dan Pasific Post, hal.12 ) dengan topik: PEPERA 1969, OTONOMI KHUSUS 2001, UP4B 2011. “ Para pembaca opini ini, Anda percaya atau tidak. Anda akui atau tidak. Anda suka atau tidak suka. Anda senang atau tidak senang. Saya TAHU, saya SADAR, saya MENGERTI, saya PERCAYA dengan IMAN, bahwa CEPAT atau LAMBAT nubuatan ini akan terwujud, hanyalah persoalan waktu. “Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi,dan marifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” (Pdt. Izaac Samuel Kijne, Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925).

Karena itu, solusi terbaik yang berprospek damai dan manusiawi yang saya usulkan sebagai bahan pertimbangan pemerintah Indonesia ialah: Pertama, Pemerintah Indonesia dengan jiwa besar harus mengakui kekagagalan dan kesalahan terhadap penduduk asli Papua sejak 1 Mei 1963 sampai hari ini dan harus mengakhiri pendudukan dan penjajahan di atas Tanah Papua. Kedua, Pemerintah Indonesia dan Rakyat Papua harus membuat perjanjian-perjanjian kerja sama dalam bidang : ekonomi, keamanan, politik dan bagaimana nasib orang-orang Melayu, Indonesia yang sudah lama berada di Papua dan termasuk penduduk Transmigrasi. Ketiga, saya ingatkan kepada pemerintah dan aparat keamanan, walaupun di Tanah Papua akan dibangun sejumlah infrastruktur milite di darat, dilaut dan di udara dan datangkan para pendatang tanpa terkendali di Tanah Papua untuk menekan orang asli Papua, tetapi saya katakan kepada Anda semua: “ Dunia tidak berada dalam pengawasan dan kontrol Indonesia. Indonesia sekarang sedang dipantau dan dikontrol dengan ketat setiap detik.” Ini awasan sejak dini dari seorang gembala umat, supaya Indonesia harus baik-baik dan perbaiki relasi yang manusiawi dengan penduduk asli Papua, pemilik tanah dan negeri ini. Supaya Indonesia diberkati dan dikasih oleh Tuhan.

Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan yang bertugas di Tanahnya orang Melanesia Papua ini diharapkan supaya mempelajari dan merenungkan nubuatan ini. ”Di Tanah ini, kita bekerja di antara satu bangsa (Papua) yang kita tidak tahu apa maksud TUHAN buat bangsa ini. Di Tanah ini, kita boleh pegang kemudi tetapi kita tidak menentukan arah angin, arus, dan gelombang di laut serta tujuan yang hendak kita capai di Tanah ini. Siapa yang bekerja dengan jujur, setia, dan dengar-dengaran pada Firman Allah di Tanah ini, maka ia akan berjalan dari satu pendapatan heran yang satu ke pendapatan heran yang lain” ( Pdt. Isaac Samuel Kijne, Holandia Binnen, Numbay/Abepura, 26 Oktober 1956).

Sebenarnya, Otonomi Khusus 2001 adalah kesempatan emas dan peluang terakhir bagi Indonesia untuk membangun kembali kepercayaan (trust) dan memulihkan hubungan harmonis dengan rakyat Papua, tapi sayang, OTSUS GAGAL. Pemerintah Indonesia selalu memakai kaca mata lama yaitu kecurigaan yang berlebihan kepada orang-orang asli Papua dengan memelihara stigma separastime selama ini, dan hasilnya bayi Papua merdeka terus bertumbuh dan berkembang di hati rakyat Papua.
Selama kurun waktu sejak 1 Mei 1963-2012 ini, hampir 49 tahun, Pemerintah Indonesia telah gagal meminimalisasi (menurunkan) atau setidaknya menghilangkan tuntutan rakyat Papua untuk merdeka yang mencapai 95% tahun 1969. Kurun waktu 49 tahun adalah waktu yang cukup panjang tapi Pemerintah Indonesia gagal dan hanya berhasil menunjukan wajah dan watak kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang suram terhadap penduduk asli Papua.
Pemerintah Indonesia telah gagal menjaga martabat dan kedaulatan manusia Papua sehingga tidak berhasil menurunkan tuntutan rakyat Papua dari mayoritas ke level minoritas atau segelintir orang. Pemerintah Indonesia hanya sukses mengintegrasikan ekonomi dengan kekuatan politik dan keamanan ke dalam Indonesia tapi manusia Papua disingkirkan dari tanah leluhur mereka dan dibantai seperti hewan dengan stigma anggota OPM dan pelaku makar. Akhirnya, ”…. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri.” Dan tergenapilah seperti Sudjarwo mengakui: “ banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia.” (Sumber: Laporan Resmi Sidang Umum PBB MM ex.1, alinea 126). Shalom. Selamat membaca. Tuhan memberkati.

CATATAN BUAT ALEX MEBRI; KAU BACA BIAR KAU PAHAM
Published By. Hakim Pahabol in AKunter www.Facebook.com/HakimPahabol

12/02/2012

Video : KTT West Papua National Liberation Army

Photo KTT WPNLA
Numbay,-- WPNLA berhasil melakukan KTT TPN-PB di Papua barat, Awal 2012 bulan mei para pejuang sayap militer di papua barat yang di sebut Tentara Pembebasan Nasional - Papua Barat (TPN-PB) Berhasil merumuskan, menetapkan perangkat kerja TPN sebagai pemegang komando tertinggi dalam perjuangan kemerdekaan bangsa papua.

Dalam momen yang bersejarah ini, para utusan dari 7 kodap wilayah papua berhasil menetapkan panglima tertinggi dan semua struktur TPN - PB. Dalam kesempatan itu Gen. Goliat Tabuni berhasil merebut posisi panglima tertinggi di susul, Wakil Panglima TPN-OPM, Letjen Gabriel Melkizedek Awom dan Kepala Staf Umum TPN-OPM, Mayjen Terianus Satto. 

Dan sampai berita ini di publikasikan, para panglima yang terpilih masih dalam proses perencanaan pelantikan, agenda pelantikan harus dengan perencanaan yang matang, ini demi keamanan para petinggi militer TPN-PB yang akan ambil bagian dalam acara pelantikan tersebut.

Pelantikan Panglima, Wakil Panglima dan Kepala Staf Umum TPN-OPM rencana akan dilaksanakan tanggal 30 November 2012 di Puncak Jaya, namun sampai sekarang belum di konfirmasi akibat kesulitan komunikasi. Karena tempat pelantikan yang di pilih pedalaman dan sulit di jakau informasi.

Berikut Video KTT Di Biak bulan mei yang lalu, yang di publikasikan oleh WPNLA.





11/30/2012

Papua Memperingati Hari Kemerdekaan dengan Upacara Pengibaran Bintang Kejora

Papua Lanny jaya,--  1 Desember merupakan hari yang bersejarah bagi bangsa papua, walaupun pemerintah negara indonesia melarang rakyat papua manaikan bintang kejora sebagai bendera rakyat papua, namun ternyata kini rakyat papua tetap memperingati hari kemerdekaan dengan berbagai bentuk bahkan di lakukan dengan upacara pengibaran bintang kejora secara resmi.

Sesuai laporan dari rakyat papua di lanny jaya, upacara pengibaran bintang kejora di lakukan dengan upacara resmi rakyat bersama para pejuang gerilya di lanny jaya papua dini hari 1/12/2012.

Dalam sambutannya Pimpinan OPM Purom Wenda mengatakan tidak kata mundur dalam perjuangan kami, dengan berbagai cara kami tetap berjuang, entah gerilya, diplomasi, demo damai kami akan menyatakan kepada dunia bahwa kami mau keluar dari negara NKRI, kami tetap berjuang untuk mendapat pengakuan dan legitimasi dunia atas status bangsa papua sebagai negara yang berdaulat, katanya.

Upacara di lakukan dengan penuh memaknai, rakyatpun berpartisipasi dalam upacara ini, di sela - sela upacara, juru bicara TPN P wene wenda mengatakan, siapa yang melarang kami untuk memperingati hari kemerdekaan kami, yang melarang kami adalah orang yang tidak tahu tetang sejarah bangsa papua. kami mempunyai hak mutlak untuk merayakannya, kami di jamin undang - undang NKRI dan dunia. 

Kalaupun ada yang melarang berarti Dia melangar Hak kami sebagai bangsa papua yang mau merdeka dan keluar dari Indonesia. jadi kami berharap semua rakya papua merayakan dengan berbagai bagai bentuk dan cara, entah ibadah, upacara, doa dan lain - lain katanya.

Walaupun aparat TNI/Polri melarang untuk kami merayakan hari bangsa papua, namun rakyat papua tetap dengan berbagai  cara merayakannya, bahkan pengibaran bintang kejora. (tw)

11/29/2012

TPN/OPM Wilayah Lanny Jaya Mengaku Tembak Rombongan Kapolda Papua

TPN Restor Lanny Jaya Purom Wenda (Photo TPN)
Jayapura - Panglima Tinggi Tentara Pertahanan Nasional Organisasi Papua Merdeka (OPM) Distrik Pirime, Kabupaten Lanny Jaya, Purom Okiman Wenda, mengaku bertanggung jawab atas penyerangan terhadap rombongan Kepala Kepolisian Daerah Papua, Inspektur Jenderal Tito Carnavian.

Rombongan yang menggunakan mobil yang beriringan sedang melintas dari Wamena menuju Kepolisian Sektor Tiom, Kabupaten Lany Jaya, Rabu, 28 November 2012. Di antara rombongan juga terdapat Asisten Intelejen Kodam XVII Cenderawasih, Kolonel Napoleon.

”Iya, kami tembak. Waktu itu ada satu mobil di depan. Kami lihat dan serang. Mobil di belakang juga kami tembak, kata Wenda, Jumat, 30 November 2012.

Menurut Wenda, saat penyerangan dilakukan, jumlah anggota OPM puluhan orang. Penyerangan menggunakan senjata laras panjang dan pistol. ”Kami balas ditembak, tapi tidak ada yang kena, ujarnya.

Rombongan aparat keamanan Indonesia itu diserang dari jarak sekitar 100 meter. Namun, dalam aksi baku tembak yang berlangsung sekitar satu jam itu tidak menimbulkan korban. ”Jaraknya dekat saja. Kami tembak mereka lari. Kami juga lari,” ujar Wenda.

Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Papua, Ajun Komisaris Besar Polisi I Gede Sumertha Jaya, mengatakan rombongan sebelumnya meninjau lokasi insiden pembakaran Kantor Polsek Pirime yang menewaskan tiga anggota polisi.

Usai melakukan peninjauan, rombongan beranjak ke Tiom. Saat kendaraan yang ditumpangi rombongan berada di Kampung Indawa, wilayah antara Distrik Tiom, Kabupaten Lanny Jaya, dan Distrik Makki, Kabupaten Jayawijaya, terjadi penyerangan.

Para pengawal rombongan melakukan tembakan balasan yang membuat anggota OPM mundur. Konvoi rombongan kemudian melanjutkan perjalanan ke Tiom. "Kami masih terus mengejar mereka," ujar Sumertha.

Goliat Tabuni Siap Dilantik Menjadi Panglima TPN-OPM

TPN - PB (Photo ilustrasi)
[JAYAPURA] Pelantikan Panglima, Wakil Panglima dan Kepala Staf Umum TPN-OPM akan dilaksanakan tanggal 30 November 2012 di Puncak Jaya.  Dalam pelantikan tersebut Panglima Tinggi  TPN-OPM, Gen. Goliath Tabuni, Wakil Panglima TPN-OPM, Letjen Gabriel Melkizedek Awom dan Kepala Staf Umum TPN-OPM, Mayjen Terianus Satto.

 “Ya rencana besok kami akan  ada pelantikan, dan kami akan menunggu kawan-kawan yang lain. Dan  kami masih menunggu mereka  bila sesudah lengkap kami akan lakukan pelantikan.  Bila kawan-kawan belum lengkap, bisa kami tunda,”kata Sekertaris Jenderal  TPN-OPM   Anton Tabuni   bersama   Panglima Tinggi TPN-OPM Gen Goliat Tabuni saat diwawancarai SP, Kamis (29/11)  pukul 10.32 WIT.  

Disinggung Soal penyerangan Polsek Pirime? “Itu bukan kami yang lakukan,”tegas Anton Tabuni.

Lanjut dia, itu ada upaya-upaya menggalkan pelantikan.  

Sementara itu Panglima Tinggi TPN-OPM Gen Goliat Tabuni dalam wawancara singkatnya, mengatakan  peristiwa Pirime, Lany Jaya bukan kami. “Di  Lany Jaya itu bukan kami yang lakukakan   

Disinggung SP apakah dirinya siap dilanti memimpin TPN-OPM? “Ya saya siap dilantik, ”tegas Gen Goliat Tabuni, mengakhiri pembicaraan singkatnya dengan SP.  

Sementara itu almarhum Brigadir Jefri Rumkorem,hari ini pukul 12.00 WIT akan dimakamkan di TMP Kesuma Trikora. Almarhum  merupakan korban penyerangan dan pembakaran yang dilakukan sekitar 50-an orang yang mendatangi Polsek Pirime, Kabupaten Lany Jaya.  

Dalam kejadian tersebut juga menjadi korban Kapolsek Pirime Ipda Rolfi Takubessy dan Briptu Daniel Makuker. [154] 

11/28/2012

TPN-OPM Bantah Serang dan Bakar Polsek Pirime

[JAYAPURA] Pihak Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka(TPN/OPM) mengklaim tak terlibat dan bertanggungjawab atas aksi penyerangan markas Polsek Prime, Kabupaten Lany Jaya yang menewaskan tiga orang anggota polisi, Selasa (27/11) pagi kemarin.

Ini dikatakan Kepala Staf Umum TPN-OPM, Mayjen Terianus   Satto dalam rilis yang diterima SP, Rabu (28/11) sore WIT.   Dikatakan, aksi itu dilakukan oleh kelompok yang Kontra dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dengan ambisi egoisme. Menurut dia, TPN-OPM saat ini mengklasifikasi akar masalah terhambatnya perjuangan bangsa Papua Barat untuk Merdeka secara cermat dan menemukan bahwa persatuan Nasional belum bagus, baik itu pergerakan sipil dan sayap Militer, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (the West Papua National Liberation Army), maka TPN-OPM telah melakukan tahapan kerja dengan konsolidasi maksimal dari tahun 2008-2011.

Hasilnya, TPN-OPM telah berhasil melakukan Pra-KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) pada tanggal 15 Maret 2012 di Maribu, Sentani, Papua Barat. Dalam Pra-KTT TPN-OPM ini melegitimasikan pembentukan Panitia KTT dan mengagendakan jadwal pelaksanaan KTT  pada tanggal 1-5 Mei 2012, bertempat di Biak, Papua. Dengan dasar Pra-KTT ini, maka KTT TPN-OPM telah berhasil dilaksanakan di Markas TPN Perwomi Biak, dari tanggal 1-5 Mei 2012.

Hasilnya, telah dipilih Panglima Tinggi TPN, Wakil Panglima dan Kepala Staf Umum, masing-masing atas nama, Panglima Tinggi TPN-OPM, Gen. Goliath Tabuni, Wakil Panglima TPN-OPM, Letjen Gabriel Melkizedek Awom dan Kepala Staf Umum TPN-OPM, Mayjen Terianus Satto.

Selanjutnya, TPN-OPM telah berhasil melakukan Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS dari tanggal 27-1 September 2012 di Markas TPN Wanum, Jayapura, Papua. Hasilnya, mengagendakan jadwal Pelantikan Panglima, Wakil Panglima dan Kepala Staf Umum TPN-OPM yang jatuh pada tanggal 30 November 2012.

Masih ada lagi Rapat Koordinasi Pimpinan TPN-OPM, yang sekiranya akan dilaksanakan setelah acara pelantikan Panglima Tinggi TPN-OPM.

Berdasarkan keterangan singkat dalam Background TPN-OPM di atas, maka TPN-OPM yang tergabung dalam ganca Nasional masih sibuk dengan agenda-agenda, dengan program revormasi sayap militer, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (the West Papua National Liberation Army), sesuai hasil keputusan KTT TPN-OPM di Biak.

"TPN-OPM sekarang tidak sama dengan TPN-OPM sebelumnya. Artinya, TPN-OPM telah mereformasi diri melalui KTT dengan mengatur serta membenahi kubuh sayap militer OPM. Hal ini dengan jalan Restrukturisasi TPN dan Reorganisasi OPM, yang mana TPN membenahi diri dengan sturuktur standar Militer dunia," kata Terianus.

Dengan demikian , mengacu dari KTT TPN-OPM di Biak pada tanggal 1-5 Mei 2012, maka TPN-OPM masih dalam tahapan kerja internal organisasi untuk membenahi dan memantapkan legalitas hukum organisasi sayap Militer, dan TPN-OPM tidak bertanggungjawab atas insiden penyerangan yang disertai pembunuhan anggota polisi dan pembakaran kantor.

"Bahwa, TPN-OPM yang tergabung dalam kancah Nasional menegaskan agar TNI/POLRI jangan menyerang Masyarakat sipil di Pirime, namun harus mencari oknum-oknum pelaku serta aktor skenario penyerangan. Karena yang melakukan penyerangan adalah kelompok yang kontra dengan Keputusan Hasil KTT TPN-OPM di Biak, Papua. Dengan tujuan untuk menggagalkan acara pelantikan Panglima Tinggi (Gen Goliath Tabuni) dengan Wakil serta Kepala Staf Umum, secara nasional di Tingginambut, Puncak Jaya, Papua pada 30 November 2012," ujarnya. [154]

11/23/2012

Separatists in West Papua Paradigm Trap

Papuan Protess
Jakarta-Papua conflict that has lasted for 47 years (starting from 1963) and establish paradigm fosters separatism. This paradigm has been the framework and foundation of thought for both parties. At the opposite extreme, the events that occurred in Papua understood and addressed in the framework separatist conflict.
Parties to the central government (read: Polhukkam Coordinating Ministry, Ministry of Home Affairs, and BIN) Jakarta puts goals in order to maintain the integrity of combating separatism NKRI above all other political and economic policies. Violence in the New Order state is considered politically correct because it is considered as an effort to combat separatism. Excesses of state violence is not considered a breach of human rights more important than combating separatism.
At the time of the Reformation, and Autonomy in Papua, the practice of repression and state violence is still the name of combating separatism. Murder of Theys Eluay in November 2001 was clearly acknowledged in court that the killing was done in order to prevent the strengthening of the independence movement in Papua. It continued in Abepura (2000), Wasior (2001), Wamena (2003), and the last murder Kelly Kwalik.
In the name of combating separatism Similarly, violations of the law "tolerable". For example, Instruction 1/2003 which divide Papua into three provinces clearly violating Article 76 of Law 21/2001. As much as the public protests and public criticism of the policy, the policy is kept out by the Ministry of Home Affairs and the Ministry for backup from BIN Polhukkam. Internal Among them, the reason is clear and never denied. Expansion Instruction 1/2003 is to prevent the unity of pro-independence Papuans in Jayapura.
The grounds contain the foreign influence in the separatist movement in Papua is also treated as a covered area for researchers and foreign journalists. The fact that good and bad is blurred in Papua. The boundary between factual news and rumors of the imagination of political actors is blurred. Official news in newspapers is often defeated by rumors among the public via sms or whispers. As a result, the technology has telephone and internet communication, representation and image Papua out to be difficult to verify. Suspicions grow very fertile. Cases of violence by the state or from the group of Papuan movement is never revealed completely.
Devices and law enforcement institutions were distorted. In many cases the assumption Papuan political police, prosecutors and judges are dominated by the paradigm of separatism. Student political action easily put in a box separatism. Before the trial began, the attitude of law enforcement have clearly demonstrated their priori suspects or defendants politics. Examples of student activist judicial practice Buchtar Tabuni and colleagues (2009) who tried to use subversion article shows it. If outside Papua clauses may be lighter. Because it is an instrument of law enforcement paradigm also tends to be subordinated and manipulated into a tool to limit political expression and silencing citizens.
Excessive vigilance and the resulting stigma separatists used further as a means of control and marginalization of the opposition Papua. Most alarming of all, separatist paradigm is used as a cover for a variety of state failure in carrying out its duties, the public services and the creation of a sense of security, against Indonesian citizens in Papua. The dominant product of the separatist paradigm is impunity and injustice.

"Disease" separatist paradigm also affects leaders and the people of Papua, most of the leaders and elite Papuan pro-independence Papuan. They almost always led to an understanding of all the demands of political discourse towards independence. The government considered a deliberate and planned to get rid of or destroy indigenous Papuans as they are separatists.
Papua parties, especially the TPN / OPM and the community and the Papuan elite, both who have been victims of state violence as well as those directly related and historical kinship with the victims, felt he had become victims of state violence both symbolically and structurally. As a result, growing culture of terror, which is all that bad, catastrophic illness and violence almost always is believed to be the design of another (mostly Jakarta) to kill, remove, and destroy indigenous Papuans. The product of the culture of terror is a deep distrust of government in general.
When the number of HIV / AIDS among indigenous Papuans increased rapidly, much discourse says that the disease was deliberately taken by the police or military forces through sex workers brought in from outside Papua. HIV / AIDS is seen as a means to kill the native Papuans slowly so eventually perish from this earth.  
No critical questions to try to understand the complexity of the pattern of sexual relations among indigenous Papuans, free sex transactions between Papua and new comers unprotected sex habits, to the government's policy response to the spread of HIV / AIDS.
Most people are not interested to see the facts and critically observant but just want to justify their prejudices. Culture is manifested in fear of terror and hatred against excessive state security forces. All things considered come from Jakarta tends suspected abuse. From there grew also a victim mentality. Many Papuans lost the ability to critically understand their own problems, loss of confidence, and tend to expect outside help (outside Indonesia) in solving their own problems.
Everything smelled new hope international is seen as supreme. In the process of public consultation exercise recently and various workshops, we heard many Papuans demand for international dialogue held, international mediators, influx of UN peacekeepers to Papua, and so on. Without further thought, what is internationally considered better and can solve the problem. Often Papuan leaders also manipulate the myth of an international force to keep political support and funding from the public.
Paradigm also makes Papuan separatism develop and reinforce the myth that indigenous Papuans definitely in her heart to save aspirations M and non-Papuans (read: non-Papuan Indonesian citizens) must be pro-Republic of Indonesia and is considered "the enemy". Consider the statement Papuan activists in discussions or seminars. 
 "I do not believe you because you are an Indonesian who kill kill us." "Only someone who knows Papua Papua and Papua have the heart to build." Discourse was kept alive despite many Papuan leaders who oppress the Papuans or otherwise non-Papuans who contributed a lot to the people of Papua.
The paradigm that is what fosters fear and see the whole corner of the earth is monitored and controlled by intelligence or security forces in Indonesia. This feeling is strong among residents or embedded Papuan leaders who felt himself being watched for their participation in the political movement of anti-Indonesia. 
For example, a person is sick and does not want to go to Jakarta for fear of later intelligence infiltrated the hospital and injected poison into the infusion bottle. Or also an activist who had a motorcycle accident and develop a rumor that Intel pushed into the gutter. No critical questions arise there, and people tend to believe it.
Separatist discourse or the word "free" is also being considered to be an effective tool to intimidate officials in Jakarta in order to fulfill the political ambitions of Papuan officials. For example, when the demands of a particular disbursement or has not been disbursed by the agency in Jakarta, intimidation by using the word "freedom" began to appear. 

 Another obvious example is one reason won a judicial review at the Constitutional Court regarding an additional 11 members of the DPRP, namely that in the composition of the membership of the current DPRP pro-Homeland unrepresented. Beyond that, quite simply, the proposer of the Barisan Merah Putih, willing to take a quota of 11 seats if it works.
Paradigm separatism is also used as a tool for protection from legal by Papuan officials are corrupt. Some corrupt officials begin investigation or even heard, began to make style statements "Indonesian nationalism" with a lot of the word Republic and criticized the pro-independence group, or a rehash of his services to "defend" Homeland.
Exposure on the overall situation to be one important cause paralysis and political deadlock. Parties Jakarta tend to suspect and rejected most of the problem solving initiatives coming from Papua with the formula "Homeland fixed price". Instead the Papua feel unfairly treated continuously and diakhianati by Jakarta that also insisted the reactionary statement that "Freedom is also set in stone".
Suspicions between the two nourished by various repressive policies of Jakarta and Papua unfriendly. In response, a variety of actions and statements of political separatism in Papua reinforced paradigm mentioned above.
In the end on one side of the paradigm of separatism developing policies and behavior of government officials is against the purpose of combating separatism itself. On the other hand, it reinforces the desire, at least strengthen separatist discourse, indigenous Papuans to secede. (MSW)