This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

4/22/2013

Indonesian military ‘development’ programme spreads fear in West Papua

Rev.S. Sofyan Yoman
Papuan leaders have voiced their concern at plans for more than a thousand Indonesian soldiers to build 1,500 km of new roads in the next two years to accelerate ‘development’ in West Papua.

The government claims that unrest in the region is caused by a lack of ‘development’, while Papuans blame their problems on the violation of their political and human rights. Survival International, the NGO which campaigns for the rights of tribal people, and many Papuans fear that the influx of soldiers will bring neither development nor peace to the region.

One Papuan leader, Rev Socratez Yoman, told Survival, ‘The West Papuans do not need big roads, but a better life on their own land, without intimidation, terror, abuses and killings’.

Another leader, Markus Haluk, warned that the roads would open up the forests to illegal logging, much of it likely to be at the hands of the military.

The military presence in West Papua is almost always accompanied by human rights violations such as killings, arbitrary arrests, rape and torture.

So-called ‘development’ has already inflicted enormous damage to the Papuan people. Despite the presence of the world’s biggest gold mine, West Papua remains the poorest region in Indonesia with an HIV/AIDS rate thought to be 20 times higher than the rest of the country. Many of the cases of HIV/AIDS can be traced back to the commercial sex industry, which has accompanied the arrival of migrant workers in the fishing, logging and mining industries.

Many Papuans believe that the military have a vested interest in introducing HIV/AIDS in West Papua and see it as an attempt at ethnic cleansing. In some areas the military have supplied alcohol and prostitutes to bribe tribal leaders in order to gain access to their land and its resources. The disease is devastating some tribes. Rates are especially high in areas where so-called ‘development’ has already taken place, such as close to the US- and British-owned Grasberg mine.

Survival International is calling on the government of Indonesia to end human rights violations in West Papua and to enter into meaningful talks with the Papuan people so they are able to decide their own way of life, their own development priorities and their own future.[Ekk/4]

Source: http://www.ekklesia.co.uk/node/18325

Pelayanan Kesehatan di Papua Kembali Digugat

Pastor Jhon Jonga
Jayapura - Kematian 62 warga di Distrik Samenage, Yahukimo, Papua, yang terjadi selama Januari-Maret 2013 menimbulkan kedukaan dalam dunia kesehatan. Kematian tersebut bukan disebabkan tidak adanya tenaga medis, tetapi buruknya pelayanan kesehatan di sana. Pelayanan kesehatan di Papua kembali digugat.
Peraih Yap Thiam Hien Award 2009 bidang Penegakan Hak Asasi Manusia, Pastor Jhon Jonga saat dihubungi wartawan Suara Pembaruan dari Jayapura, Papua, Senin (22/4) pagi, menyatakan kinerja tenaga medis yang buruk tersebut tak pernah mendapat perhatian serius pemerintah. Pengawasan tenaga media di Papua sangat minim.

“Sejak pertama membuka persoalan ke publik, sama sekali saya tidak menyebutkan bahwa kematian warga akibat wabah penyakit. Yang menjadi persoalan di Distrik Samenage adalah rendahnya kualitas pelayanan kesehatan terhadap masyarakat,” katanya.

Dia mengaku tak ingin berdebat soal jumlah warga yang meninggal. “Data yang kami peroleh, 62 orang meninggal, sedangkan temuan Dinas Kesehatan Kabupaten Yahukimo, 26 orang. Data yang kami miliki sudah diklarifikasi ke pihak keluarga. Sebagian korban meninggal karena rendahnya kualitas pelayanan kesehatan. Yang terpenting adalah bagaimana tindak lanjut dari situasi ini,” ujarnya.

Pastor Jhon Jonga menegaskan penyampaian informasi ke publik tentang warga Yahukimo yang meninggal akibat buruknya pelayanan kesehatan tidak dilandasi motif politik untuk menjatuhkan nama baik Pemerintah Kabupaten Yahukimo.

“Itu tidak menjadi tujuan pekerjaan kami. Yang kami inginkan agar perubahan yang lebih baik dari pemerintah dalam melaksanakan tanggung jawab pelayanan kepada masyarakat. Tidak hanya dalam bidang kesehatan, tetapi juga pendidikan, ekonomi, dan sosial, yang memang dari temuan kami di Distrik Samenage tidak terlaksana dengan baik,” ujarnya.

Sementara itu, anggota Majelis Rakyat Papua Barat, Tjonci Wolas Krenak menyesalkan sikap pemerintah pusat yang kurang memperhatikan pelayanan kesehatan di Papua.

“Kami seperti anak tiri. Banyak korban meninggal di Papua, tetapi minim perhatian pemerintah pusat,” tegasnya.
 

4/20/2013

Political Report | Embassy of the United States Jakarta, Indonesia

 RINGKASAN EKSEKUTIF:
 
Indonesia adalah negara demokrasi multipartai. Pada tahun 2009 pemilih terpilih kembali Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden dalam pemilihan umum yang bebas dan adil. Pengamat nasional dan internasional menilai pemilu legislatif tahun 2009 bebas dan adil juga. Setelah lebih dari 10 tahun reformasi demokratis, pasukan keamanan dilaporkan kepada otoritas sipil, namun ada kasus terisolasi di mana unsur-unsur pasukan keamanan bertindak secara independen dari kontrol sipil.

Penindasan atau pembatasan dari hak-hak minoritas agama dan etnis adalah masalah. Pemerintah menerapkan makar dan undang-undang penghujatan untuk membatasi kebebasan berekspresi oleh para pendukung kemerdekaan secara damai di provinsi Papua, Papua Barat, dan Maluku dan kelompok agama minoritas. Korupsi resmi, termasuk dalam sistem peradilan, merupakan masalah utama.

Masalah-masalah hak asasi manusia lainnya termasuk pembunuhan oleh pasukan keamanan, penyalahgunaan narapidana dan tahanan, kondisi penjara yang keras, perdagangan manusia, pekerja anak, dan ketidakmampuan untuk menerapkan standar perburuhan dan hak pekerja.

Pada beberapa kesempatan, pemerintah menghukum para pejabat yang melakukan pelanggaran, tapi hukuman peradilan sering tidak sepadan dengan beratnya pelanggaran, seperti yang benar dalam jenis kejahatan lainnya.

Gerilyawan separatis di Papua membunuh anggota pasukan keamanan dalam beberapa serangan dan lain-lain terluka. Separatis Papua Diduga juga menewaskan sejumlah non-Papua migran Indonesia di Papua sepanjang tahun.


Negara Indonesia Gagal Penuhi Hak Perempuan

"Di bidang ekonomi kebijakan ekonomi liberal yang diadopsi Indonesia terbukti memicu pemiskinan perempuan."

VHRmedia, Jakarta – Meski telah lampau seabad sejak Kartini hadir dalam pemikiran perjuangan hak-hak perempuan, kekerasan, diskriminasi dan pemiskinan masih tetap dialami perempuan Indonesia. Bahkan jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun.

Data Komnas Perempuan mencatat  ada 216.156 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2012, meningkat dari catatan tahun 2011 sebanyak 119.107 kasus.  Sedangkan kekerasan yang tercatat pada tahun 2010 sebanyak 105.103 kasus. 

Komnas Perempuan juga mencatat setidaknya 282 peraturan daerah mempunyai tendensi mendiskriminasi perempuan dengan Jawa Barat sebagai provinsi yang paling rajin menerbitkan perda diskriminatif.

Menurut Executive Director Yayasan Institut Perempuan, R Valentina Sagala diskriminasi perempuan berlangsung di setiap ranah kehidupan, ekonomi hingga kesehatan. Di ranah ekonomi, kebijakan ekonomi liberal yang diadopsi Indonesia terbukti menstimulus pemiskinan perempuan. 

Implementasi perjanjian pasar bebas seperti CAFTA atau China ASEAN Free Trade Agreement dan pemberlakuan UU Nomor  38 Tahun 2008 tentang Piagam Asean menyebabkan banjirnya produk impor dari Cina dan itu juga  menyebabkan pelaku ekonomi lokal tersingkir.

“Tumbuhnya pasar modern atau mini market, memarjinalkan dan bahkan menyebabkan perempuan pengusaha kecil bangkrut. Padahal 51,21 persen pekerja di sektor informal dan 60 persen adalah perempuan,” kata Valentina.

Dia lebih lanjut menyesalkan terbatasnya upaya pemerintah untuk memfasilitasi kapasitas perempuan pengusaha kecil, khususnya dalam mengembangkan usaha. Program yang dilakukan pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan perempuan dan tidak berkelanjutan. Perempuan pun masih terkendala mengakses kredit dan pinjaman modal dari bank seperti program Kredit Usaha Rakyat.  Perempuan tetap tak bisa mengakses sepenuhnya program tersebut.

“Koperasi yang menjadi pilihan yang ramah bagi perempuan miskin dan merupakan model ekonomi berasaskan kekeluargaan sesuai UUD 1945, pun pada akhirnya harus tunduk pada gelombang ekonomi pasar bebas, “ kata dia.

Kegagalan 'koperasi'

Sementara itu pemberlakukan UU Nomor  17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian pembentukan koperasi yang awalnya dibangun berdasarkan semangat kebersamaan dan kekeluargaan, telah berubah menjadi mengagungkan peranan modal besar. Dibolehkannya penyertaan modal dari luar yang tidak ada pembatasnya menjadikan anggota sebagai obyek pinjaman pemilik modal besar. “Diperbolehkannya pengurus dari non anggota dan pengawas sebagai superbodi akan mendorong swastanisasi koperasi,” katanya

Di ranah kesehatan, tingginya tingkat angka kematian ibu (AKI) yang masih sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup menunjukkan perempuan gagal mendapatkan perlindungan penuh oleh negara. Sedangkan target menurunkan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 terancam gagal. 

Tingginya AKI disebabkan beberapa faktor seperti masih terbatasnya jumlah tenaga kesehatan, bidan, dokter atau anestesi,  terbatasnya rumah tunggu, Puskesmas, rumah singgah, dan lain-lain. “Negara juga gagal melindungi perempuan Indonesia dari praktek diskriminatif sunat perempuan,” kata Valentina.

Sunat perempuan yang telah dilarang sejak 2006 dengan dikeluarkannya  Surat Edaran tentang Larangan Sunat Perempuan oleh Tenaga Kesehatan No HK.00.07.1.3.1047 Tahun 2006 oleh Dirjen Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan kembali dihidupkan oleh Pemerintah. 

Bukannya menghapus sunat perempuan, Pemerintah justru mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor  1636/MENKES/PER/XI/2010 yang memberi legitimasi praktik mutilasi kelamin perempuan dan memberi otoritas pada pekerja medis tertentu, seperti dokter, bidan dan perawat, untuk melakukan sunat perempuan.

Valentina menyebut Peraturan Menteri Kesehatan ini mendefinisikan praktek ini sebagai tindakan menggores kulit yang menutupi kulit bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Peraturan ini jelas bertentangan dengan CEDAW dan tidak sejalan dengan seruan World Health Organization (WHO) untuk mengakhiri sunat perempuan. 

Dan di ranah pendidikan, data menunjukkan perempuan cenderung tidak melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Menurut BPS (2011), angka partisipasi murni (APM) perempuan jenjang SD 90,37, APM perempuan jenjang SMP 69,19, APM perempuan jenjang SMU 48,19. “Selain itu, masih terdapat perempuan berusia 15 tahun ke atas yang melek huruf  sebesar 90,07 persen, bandingkan dengan laki-laki melek huruf 95,59 persen,” katanya.

Dalam konteks pekerja rumah tangga (PRT) pun perlindungan negara masih minim. Data JALA PRT menunjukkan 92 persen pekerja migran adalah PRT (2012). Menurut BNP2TKI, pada 2011 terdapat 2.209 pelecehan atau kekerasan seksual dan 535 orang perempuan pekerja migran kembali dalam keadaan hamil. 
Jumlah PRT migran diprediksi akan terus meningkat jika dihubungkan dengan ketersediaan pekerjaan bagi perempuan miskin. Hingga Maret 2012, tingkat kemiskinan di Indonesia adalah 11.96  persen atau 29.13 juta orang.

“Mencermati kondisi di atas, maka pada momen hari Kartini kami menyerukan, pertama, Pemerintah harus membangun ekonomi yang adil dan berlandaskan Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945 dan melakukan evaluasi terhadap  perjanjian perdagangan bebas yang telah diikatkan sebelumnya,” kata Valentina.

Selain itu pemerintah harus melancarkan program pemberdayaan bagi perempuan yang cocok dengan kebutuhan perempuan dan menjalankan langkah-langkah kongkrit menurunkan angka kematian ibu. 

Pemerintah juga harus mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/MENKES/PER/ XI/2010 dan memberikan perlindungan menyeluruh bagi PRT dan PRT migran, serta menyusun RUU tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dan Anggota Keluarganya dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. “Tentunya  dengan mengakomodir hak dan perlindungan PRT dan PRT migran sesuai instrumen HAM internasional,” ujar Valentina.

Pemerintah mesti mengusut kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan menyediakan layanan bagi korban kekerasan. Menurut Valentina, masyarakat, tak terkecuali tokoh masyarakat dan tokoh agama harus  mengambil peran menghentikan kekerasan terhadap perempuan.(E2)

4/19/2013

Gubernur Baru Papua menginginkan 10% Saham dari Freeport

Jayapura,-- Pemerintah Papua telah mengumumkan bahwa mereka akan meminta 10 persen saham di perusahaan pertambangan raksasa PT Freeport, karena fakta bahwa perusahaan beroperasi di tanah Papua, tetapi memberikan kontribusi sedikit untuk pembangunan daerah.

"Kami menuntut adat tanah hak rakyat Papua dalam bentuk saham 10 persen di perusahaan," kata Gubernur yang baru dilantik Lukas Enembe pada hari Jumat.

Menurut dia, Saham 10 persen di PT Freeport ternilai sebesar Rp 87 triliun uang tunai.

"Tentu saja, kita tidak mampu untuk membeli saham, tetapi perusahaan bisa memberikan kita saham sebagai kompensasi untuk tahun pertambangan di tanah kami," katanya.

Lukas juga mengharapkan Freeport untuk membantu lebih banyak dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Dia mengatakan bahwa selama ini Freeport telah membayar hanya pemerintah pusat dalam bentuk pajak dan royalti dan itu pemerintah pusat yang mengalokasikan dana untuk pemerintahan Papua.

Dia mengatakan Papua menginginkan perusahaan untuk membantu pemerintah daerah membangun infrastruktur, seperti jembatan, jalan raya, dan fasilitas umum lainnya.

Mengomentari hal ini, aktivis Papua Joseph Rahawadan mengatakan permintaan administrasi Papua adalah wajar mengingat Freeport telah beroperasi di provinsi tersebut selama bertahun-tahun dan telah mendapat manfaat dari kehadirannya di sini.

"Bahkan, menurut perkiraan saya, itu akan OK jika pemerintah setempat meminta saham 25 persen, juga layak" katanya. (Dic)

More: http://www.thejakartapost.com/news/2013/04/19/papua-administration-wants-10-freeport.html

Pohon Sila Ketiga Pancasila Tumbang di Dok II Jayapura

Jayapura,-- Rencana Gubernur baru Provinsi Papua untuk menebang Pohon berigin yang terletak di dok II jayapura akhirnya terealisasi.

Baru 10 hari menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe dan Klemen Tinal, buat satu gebrakan baru yang tidak terpikirkan oleh sebagian masyarakat.

“Pohon ini ditanam oleh Perdana Menteri PNG, Michael Somare, zaman Gubernur Mayjen TNI (Purn.) Soetran di tahun 1976

Dari kejadian ini beragan argumen dan komentar muncul dari berbagai pihak, antar setuju dan tidak, namun setelah pohon itu benar-benar tumbang banyak anggapan yang terjadi bahkan komentarnya sangat kontroversia

Ini komentar - Komentarnya:

Mepa Pogau (su ciptakan masalah di awal2, parahhhh)

Ekius Mofu Sebuah kebijakan yang tidak terpuji...baru 10 hari sudah meresakan rakyat menebang tanpa melibatkan masyarakat untuk bicara mengapa ingin di tebang karena pohon itu mempunyai nilai sejarah...katanya papua mandiri, kasih menembus perbedaan kenapa harus seperti ini, sangat tidak terpuji ini awal dari perbedaan yang tidak dapat di tembus dan papua tidak akan pernah di buat mandiri, langkah awal menentukan pekerjaan selanjudnya.... 

Onny Maruanaya mungkin masyarakat diajak berpikir, sebab tidak ada yang di lakukan oleh penguasa terdahulu,yang pasti gebrakan ini membuat pemerintah melihat bahwa yang tidak mungkin akan menjadi mungkin,

Buchtar Tabuni    jangan hanya tebang pohon saja tapi bersihkan juga manusia2 koruptor yg ada di di Dok II

Samudra Pasifik hehe mantap

Turius Wenda Lambang perdamaian..!!! sampai hari papua belum ada perdamaian.. pohon-pohon bersihkan manusia2 tdk benar juga bersihkan..

Buchtar Tabuni Mungkin karena pc GUBERNUR merasa pohon beringin itu adalah lambang partai GOLKAR yang menjadi lawan politiknya jd harus tebang termasuk manusia2 kader golkar yg ada menjabat di Dok II. hehehehehe...

Angin Selatan Akhirnya Pohon sila ke 3 tumbang...
.
Turius Wenda Lambang Gorkar... Simbol pembantaian Sueharto di bawa pohon beringin tumbang.... ya ya Akhirnya Pohon sila ke 3 tumbang juga de..

Konflik Papua Terjadi Pembiaran selama 50 tahun

Apakah Anda Tahu!!, Sudah 50 tahun perjuangan Papua Barat ingin melepaskan diri dari Indonesia adalah satu diantara konflik terpanjang yang hingga kini masih terjadi di dunia. Aktivis di pengasingan Benny Wenda mencoba Memberitahu dunia selengkapnya disini
http://onenzv/sgd

Kekerasan Aparat - Puluhan warga sipil menjadi korban kekerasan di Paniai, Papua, selama Januari hingga April 2013 diperlakukan tidak manusiawi oleh oknum petugas Selengkapnya
http://onenzv/hgd


Issu Dialog -Jakarta-Papua, Dialog dengan siapa Kalau mau dialog ya harus ada pihak ketiga. Yang punya masalah, keduanya duduk bersama agar tuntas masalah pupua selengkapnya
http://onenzv/pgd


Apakah anda Sadar!!! Issu genosida bagi ras malanesia papua barat tidak di sangkal dan benar adanya. Selain pengorbanan dan pembentaian atas perbedaan ideologi antara papua dan indonesia, juga banyak rakyat papua mati dengan bentuk – bentuk yang lain. selengkapnya
http://onenzv/zgdy

4/18/2013

Puluhan Warga Sipil Jadi Korban Kekerasan di Paniai

Jayapura- Puluhan warga sipil menjadi korban kekerasan di Paniai, Papua, selama Januari hingga April 2013. Tiga orang tewas, sedangkan yang lainnya diperlakukan tidak manusiawi oleh oknum petugas.

Mereka yang meninggal di antaranya ditembak orang tak dikenal, juga akibat tabrak lari kendaraan patroli Keolisian Resor Paniai pada 31 Desember 2012. Korban adalah Yakob Mote, 26 tahun, tewas di depan pos 571 Enarotali, Paniai. “Itu data sementara, masih harus diklarifikasi,” kata Kapolres Paniai Ajun Komisaris Besar Polisi Semi Ronny, Kamis, 18 April 2013.

Semi menegaskan, semua kasus yang melibatkan anggotanya sebagai pelaku, pasti akan ditindak tegas. Pihaknya pun sudah menarik personil Brimob sesuai tuntutan masyarakat.

Desakan agar personil Brimob ditarik disampaikan aktivis Papua dalam pertemuan tertutup dengan Pemerintah Kabupaten Paniai, Kepolisian/TNI serta DPR Papua. Sebab, dalam tiga bulan terakhir terjadi serentetan kasus diduga dilakukan aparat Brimob terhadap warga sipil.

“Kami mendesak Kapolri menarik Brimob dari Paniai, karena kehadiran Brimob membuat masyarakat trauma, ketakutan, dan menjadi korban kekerasan,” ujar Ketua Solidaritas Kekerasan Paniai Andreas Gobay.

Andreas juga meminta DPR Papua memfasilitasi Tim Solidaritas Peduli HAM bertemu Kapolri dan Panglima TNI agar pihaknya bisa menyampaikan kondisi kekerasan di Paniai. ”Dua institusi itu harus bertanggungjawab, yakni dengan memproses pelaku secara hukum,” ucapnya.

Bupati Paniai Hengky Kayame menegaskan, kekerasan bersenjata di wilayah pegunungan bagian barat itu terjadi tiap tahun. Karena itu masyarakat minta agar Brimob ditarik.

Menurut Hengky, pihaknya dihadapkan pada situasi sulit. Di satu sisi terdapat persoalan kesejahteraan, sedangkan di lain sisi timbul masalah keamanan. ”Sebelum saya dilantik sebagai bupati, daerah Paniai selalu bermasalah. Sekarang jadi bupati juga dihadapkan pada masalah,” tutur Kayame yang baru saja dilantik dua hari lalu.

Ketua Komisi A DPR Papua Ruben Magai menegaskan, konflik Paniai akibat ego dua pihak. OPM bersikukuh menyatakan Papua merdeka, sedangkan kepolisian dan TNI mempertahankan NKRI sebagai harga mati. ”Kalau semua pihak mempertahankan pendapatnya, konflik tak akan berakhir, masyarakat yang akan jadi korban,” katanya memaparkan.

Magai menyarankan agar pemerintah menjawab aspirasi dengan menyelenggarakan dialog antara Jakarta dan Papua sebagai jalan tengah bermartabat dan adil menuntaskan masalah Papua. ”Kalau tidak, korban akan terus berjatuhan,” ujarnya.

Hanya Dialog Setiga yang Bisa Redam Konflik Papua

Jayapura Ketua Solidaritas Hukum, HAM dan Demokrasi Rakyat Papua (SHDRP), Usama Yogoby mengatakan, isu yang sementara ramai diperbincangkan yaitu dialog Jakarta – Papua, harus dimediasi oleh pihak yang netral.
 
“Kalau mau dialog ya harus ada pihak ketiga. Yang punya masalah, keduanya duduk bersama," ujar Usama di Abepura, Kota Jayapura, Kamis (18/4).

Menurut dia, dialog yang dimaksud, yaitu dialog antara pemerintah pusat dengan masyarakat asli Papua yang berseberangan dengan pemerintah (pro Papua merdeka). “Dialog denganpemerintah Indonesia, siapa wasitnya? Itu baru bisa berjalan normal,”ungkapnya.

Sebelumnya, Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP), Pastor Neles Tebay, pada Senin (15/4) lalu mengatakan, di  Papua masih ditemukan indicator yang terjadi selama ini yaitu, masih adanya pengibaran Bendera Bintang Kejora, adanya tuntutan referendum, adanya tuntuan Papua Merdeka, stigma separatis terhadap orang Papua dan berbagai kekerasan.

Untuk meredamkan indicator di atas, pemerintah telah menggunakan metode pendekatan hukum, kekerasan, dan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus). Namun ia menilai, ketiga pendekatan di atas belum mampu menuntaskan konflik yang terjadi di Papua.sehingga pada kesempatan itu dia menyarankan adanya dialog damai yang melibatkan pihak lain.

Kematian Warga Papua Bagian Dari Genosida Struktural


Turius Wenda
Issu genosida bagi ras malanesia paua barat tidak di sangkal dan benar adanya. Selain pengorbanan dan pembentaian atas perbedaan ideologi antara papua dan indonesia, juga banyak rakyat papua mati dengan bentuk – bentuk yang lain.

Orang Papua Mati atas jebakan separatisme atau Makar

Atas label separatis, OPM, Makar banyak orang papua mati dengan sia-sia, pemerintah indonesia melalui aparat TNI/Polri melegalitasikan diri dengan label separatis, makar, OPM. Pembunuhan atas dasar ini, aparat memposisikan diri yang paling benar atas pembantaian mereka terhadap orang papua. Di lihat dari sudut pandang yang sebenarnya adalah, orang papua berada dalam jebakan label separatisme. 

Di Situs Aljazeera oleh Jennifer Robinson dengan judul The UN's chequered record in West Papua  Melaporakan 500.000 orang papua Tewas dalam perjuangan kemerdekaan papua dari indonesia. 
Had the UN properly discharged its mandate back then, West Papuans would have celebrated more than 40 years of independence instead of having endured nearly 50 years of oppression. In that time, it is estimated that as many as 500,000 Papuans have been killed at the hands of Indonesian security forces. Yale and Sydney Universities report that the situation is approaching genocide. Papuan activists campaigning for self-determination are routinely arrested and jailed for peacefully expressing their political opinions.”

sekalipun manusia papua berhak berbicara dan melakukan segala sesuatu di atas tanah ini dan ini juga di sebaut bagian dari pemusnahan ras malanesia (Genosida).

Orang Papua Mati atas Jebakan Miras (Minuman Keras)

Hampir setiap hari pasti ada bunyi mobil Ambulans, berita harian setiap hari pasti ada kematian orang papua karena Miras, Semua jenis beralkohol di jual bebas di papua di banding dengan daerah lain di indonesia, stok miras di papua juga berlabel khusu Irja, miras benar membunuh saraf para konsumen sendiri dan kebanyakan anak-anak muda papua selalu di konsumsi dan berakibat kematian, ini juga bagian dari pemusnahan ras malanesia (Genosida).

Orang Papua Mati Akibat HIV /AIDS. 

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Minggu 16 Desember 2012 Berita Online VivaNews Melaporkan Penderita HIV/AIDS di Papua Tembus 13 Ribu Orang. Dari 13 ribu jiwa penderita HIV/AIDS di Papua, persentase Pria maupun perempuan jumlahnya sama, yaitu 50:50. Kabupaten Mimika tercatat memiliki jumlah penderita HIV/AIDS paling tinggi, sekitar 2.300 jiwa lalu diikuti oleh Jayapura, Nabire dan Merauke.

Dan anehnya juga 150 Bayi Papua Tertular HIV-AIDS di tahun 2012, Ratusan bayi itu bukan saja hanya mengidap HIV, tapi juga AIDS," katanya. Jumlah penderita virus mematikan HIV-AIDS di Papua terus meningkat dari tahun ke tahun. Jika tahun sebelumnya jumlahnya di bawah 10 ribu jiwa, per Oktober di tahun 2012 ini telah mencapai 13 ribuan jiwa. "Sebanyak 98 persen penyebarannya melalui hubungan seks.
Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyayangkan tingginya jumlah kematian ibu melahirkan di Papua. Menurut dia, jumlah kematian itu masih tinggi bila dibandingkan daerah lainnya. 

Nafsiah menyebutkan, sebanyak 320 dari 100 ribu ibu melahirkan di Papua meninggal. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata nasional yang sebanyak 228 per 100 ribu ibu melahirkaSelain soal kematian ibu, Nafsiah menyebutkan penderita HIV di Papua juga masih tinggi. Jumlahnya berada di urutan kedua, di bawah Jakarta. Padahal, jumlah penduduk di sana jauh lebih sedikit dibandingkan daerah lainnya.penyakit tak menular seperti stroke diabetes, malaria, dan kanker pun kini ikut mendominasi kematian di Papua. Dan ini juga bagian dari Genosida.

Kematian Orang Papua Akibat Busung Lapar atau Sakit

Ditahun 2012 aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melaporkan 95 Orang Diduga Tewas Kelaparan di  Distrik Kwoor Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Laporan AMAN telah di bantah oleh pemerintah Daerah Papua barat dan kabupaten Tambrauw. 

Pastor Jhon Djonga, tokoh Gereja Katolik di Wamena, Papua. Juga melaporkan, 61 orang warga Distrik Samenage, Kabupaten Yahukimo papua  meninggal sejak pertengahan Januari sampai akhir Maret lalu.

Dia menambahkan "Sebagian besar korban meninggal adalah anak-anak dan perempuan, setelah mengalami sakit sekian lama dan tidak mampu ditangani puskesmas setempat," kata Jhon.

Dia menyebut, kematian ini tidak terlepas dari standar kehidupan warga setempat yang tidak memadai.

Namun Dinas Kesehatan Kabupaten Yahukimo, Propinsi Papua, meragukan informasi tentang kematian 61 orang secara beruntun di Distrik Samenage, Kabupaten Yahukimo, seperti dilaporkan seorang tokoh Gereja Katolik di Wamena, Papua. Dan ini juga bagian dari pemusnahan ras malanesia (Genosida).
Artikel ini sudah di terbitkan :Di Majalah Selangkah.Com

4/17/2013

KNPB Timika Activist of West Papua in behind Bars make Message to International Community to Support.

Jayapura Onews,--  KNPB Timika activist Behind Indonesian Bars in Timika, West Papua.

We are KNPB activist in Timika, West Papua. Indonesia Police jailed us with no reason.
Indonesian police jailed Romario Yatipai, Steven Itlay, Yakonias Womsiwor, Paulus Marsyom, Alfred Marsyom and Yanto Awerkion since 19 October 2012 until now.

Indonesian police say that KNPB activist are criminal, terrorism, Makar, separatist and so on.

Actually, KNPB activist in Timika always makes peace Demonstrate with all westpapuans. We always make peace Demonstrate to demand Referendum is the best solution for West Papua.

We hope International community, Amnesty International, IPWP, ILWP support us and pressure Indonesia government, Indonesia Police in Papua and Timika.

West Papua activist and all west papuans Need UN Observer, UN Humanitarian and International Journalist now in West Papua
 
 
 

4/16/2013

Political Prisoners papua, seem to does not handled seriously

 By H.E. Kurt Alleyne - Ambassador for Humanitarian Affairs

H.E. Kurt Alleyne
Detained person in Papua Region are seemingly not being greatly addressed greatly. 

Why are many governments standing by watching the imprisonment of persons occur when there is in fact very little reasoning for this to be happening other than that Government Officials are effectively attempting to silence any dissent. Numerous Papuan persons have been held without fair trial as per their human rights and are very often the victims of grievous criminality whilst detained.

The overall situation whilst having been placed with several offices is still seeing arrests continue that are evidently politically motivated. Excessive prison terms are being demanded very often with charges being somewhat tailored and this is taking away the lawful means of any trial as said charges are not realistic nor representative of the factual act , itself very often fabricated to many degrees.

There is a great need for many of the Political Prisoners to be released from detention and given back their liberty so they may resume as best possible their lives. Whilst this is of upmost importance there has to be serious addressing of how or indeed why such imprisonment is being permitted. A number of Organisations are indeed working to alleviate these ongoing matters and are comprised of UNCHR , NGO bodies and other designated persons including Activists, Lawyers among others. There must be measures taken that will much more ensure the safety and well being of the Papuan Population. Greatly required as stated is that all such political prisoners be rightly released whilst having been compensated for the grievous and unwarranted nature of their detention.

Rights of the Prisoners are being violated as assaults of varying degrees are occurring which have no justification and these should themselves find the perpetrators arrested and charged to ensure that justice is seen to be given on behalf of all those that have suffered great indignities. There must be cohesive working arrangements made and concerted efforts continued to gain and uphold the required changes to better protect the populos. I sincerely believe that closer working relations must be established as a matter of urgency so information is more easily correlated and acted upon as having separate organisations not speaking together in a regular manner that is established simply leaves others not knowing what in fact has been addressed and to what degree. This reduces the effectiveness of persons acting on behalf of the Papuan Population and uses vital resources that could be better utilized to address other matters of concern of said population(s).


4/15/2013

The mark of power in West Papua

In the Indonesian province of West Papua, torture is used to demonstrate power and mark the bodies of its citizens, writes Budi Hernawan.

In the contested province of West Papua – which sees local West Papuans calling for independence from Indonesia – torture is used to remind citizens who exactly is in charge. Its practice is persistent, widespread and has been used by the Indonesia state as a means of controlling locals for 50 years.

Most recently, in February this year six West Papuan men were arrested and detained by the local police just outside the province’s capital Jayapura.

During the police interrogation all six men were tortured to confess that they knew the whereabouts of two key pro-West Papuan independence activists, Sebby Sambom and Terrianus Sato, who have gone into hiding. On the following day, four of the men were released without any charge; Daniel Gobay and Matan Klembiap remain in police custody, charged with “possessing a sharp weapon” under  Emergency Regulation 12/1951 – an antiquated law dating from Dutch colonial days.

Klembiap works as a cleaner at the local state hospital and knows nothing about the targeted West Papuan fugitives. The police found him carrying an axe which he had found abandoned on the street when they stopped him. However, the police did not accept his explanation and instead charged him. His case will soon be tried in Jayapura magistrate’s court.

In testimony to his lawyers from local NGO the Democratic Alliance for Papua, Klembiap complained that he was electrocuted on the back of his head and was beaten on his legs by the police. The interrogation left black marks on his body.

Put in a broader context, the cases of Gobay and Klembiap are not uncommon or isolated. Rather, they reveal the way the Indonesian state has governed West Papua for the last 50 years. In this context, torture is widespread and has become a standard procedure of the Indonesian state and security forces targeting pro-West Papuan independence activists.

As in this most recent case, the police use torture to extract confessions from suspects, to collect intelligence information and/or simply to exact shock and awe effects. If torture fails, suspects are charged with out dated laws such as Regulation 12/1951. This law was the product of Dutch colonial powers attempting to justify any arrest of pro-Indonesian activists back in the early days of that nation’s own struggle against their European masters. The maximum penalty of carrying a weapon is 10 years imprisonment.

The fact that the other four suspects were released after being tortured is important. Torturing suspects and releasing them because they were found innocent exemplifies the use of shock and awe by the Indonesian state. This element is quite distinct from typical notions of torture’s purpose (such as gaining confessions). With shock and awe effects, the police are not interested in collecting intelligence information. Rather, they aim to display the unrestrained sovereign power of the Indonesian state over its own people. The police deliberately mark the bodies of the suspects despite the absence of any legal and moral reasons.

This pattern resonates with torture expert Darius Rejali’s description of torture as a civic marker. That is, torture serves as means of separating levels of citizenship. In other words, torture has been used to govern citizens and to discriminate against non-citizens throughout the history of humankind. What has changed, according to Rejali, is the technology. When states are more democratic, more hidden technologies of torture are employed.

As a civic marker, torture has become a way for the Indonesian state to establish and maintain its control over West Papua's territory. Torture is not merely a technique to inflict pain over the body. Rather, it has become an effective machinery to colonise the West Papuan space, which is marked with West Papuan resistance movements.

The direct and deliberate involvement of state controlled organisations is a disturbing feature of torture in West Papua; that’s because the primary responsibility and obligation of any state is to protect its own citizens, not to act as an agent of terror.

It may not be surprising for us to learn that the Indonesian justice system seems unable to hold the state accountable. On the contrary, innocent West Papuans, like Klembiap, are put on trial simply for being in the wrong place at the wrong time. Both utilitarian and shock and awe torture not only leave deep scars in the body and psyche of West Papuans but, more importantly, treat West Papuans as non-citizens and non-people.

Published: http://www.sbs.com.au/news/ - Budi Hernawan is a PhD researcher based at the Regulatory Institutions Network in the ANU College of Asia and the Pacific. This is an edited version of an article originally published on the blog Regarding rights