This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

4/07/2013

Ini Ulasannya Bagiman Bug Karno Rebut Irian Barat Dari Belanda

Jayapura Onews,-- Apa yang dilakukan oleh Soekarno, ketika Belanda mengingkari perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) sehingga Irian Jaya belum juga mau diserahkan kepada Indonesia ? Sejak satu tahun usai pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949, Indonesia selalu mengajak Belanda untuk berunding mengenai penyerahan wilayah yang masih dikuasasinya. Apa tanggapan Belanda ? Jelas, secara sengaja Belanda selalu menghindar untuk berunding. Jelas, Belanda hendak mengingkari janjinya sendiri dan berniat untuk terus menjadikan Irian Jaya sebagai bagian dari daerah kekuasaannya.

1. Melakukan Upaya Diplomasi di PBB

Maka, sejak tahun 1954, pada setiap tahun secara berturut-turut, Pemerintah Indonesia membawa masalah Irian Jaya di dalam acara Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Namun, upaya Indonesia inipun selalu menemui kegagalan, karena tidak pernah memperoleh tanggapan yang positif dari sebagian besar anggota PBB. Bahkan, pada tahun 1957, saat Menlu RI berpidato dalam sidang Majelis Umum PBB yang menegaskan sikap Indonesia akan menempuh “jalan lain” (short war) untuk menyelesaikan sengketa Irian Jaya dengan Belanda, PBB pun tidak berhasil untuk menyetujui sebuah resolusi. Karena, usulan resolusi yang disponsori oleh 21 negara, termasuk Indonesia, tidak dapat memenangkan 2/3 jumlah suara yang dipersyaratkan.

Upaya diplomasi Indonesia di forum PBB, ternyata belum mampu mengubah pendirian negara-negara pendukung Belanda. Justru, negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat (AS) terkesan makin teguh pendiriannya dalam mendukung sikap Belanda, seiring dengan adanya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Sehingga, secara langsung telah membuat pihak Kerajaan Belanda makin tidak memiliki niat dan kesediaan untuk menyerahkan Irian Jaya kepada Indonesia, bahkan untuk sekedar membicarakannya pun Belanda sudah tidak mau lagi.

Bagi Indonesia, pembebasan Irian Jaya merupakan suatu tuntutan nasional yang bersifat mutlak dan didukung oleh semua partai politik dan semua golongan, tanpa kecuali. Karena, hal ini didasarkan atas Pembukaan UUD 1945, yaitu “Untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Sedangkan, Irian Jaya adalah bagian mutlak dari tumpah darah Indonesia. Itulah sebabnya, meski pergantian Kabinet sering terjadi, namun tidak ada satu pun Kabinet yang pernah beranjak dari tuntutan nasional tersebut.

2. Melakukan Aksi Lain dan Pemutusan Hubungan dengan Belanda

Mengingat jalan damai atau pendekatan diplomasi yang ditempuh selama delapan tahun tidak membawa hasil, maka sejak tahun 1957 Pemerintah Indonesia benar-benar mulai menempuh “jalan lain”. Aksi-aksi untuk pembebasan Irian Jaya dilancarkan di seluruh tanah air, antara lain dengan cara menggelar demonstrasi besar-besaran oleh berbagai lapisan masyarakat, dan pengambil-alihan aset milik perusahaan Belanda di Indonesia oleh kaum buruh dan karyawan.

Akibat dari aksi-aksi tersebut, berdampak pada hubungan antara Indonesia dan Belanda yang menjadi kian tegang dan memburuk. Puncaknya adalah pada saat pemerintah Indonesia memutuskan secara resmi hubungan diplomatik dengan pemerintah Belanda pada tanggal 17 Agustus 1960. Indonesia menganggap Belanda sudah tidak lagi memiliki itikad baik untuk mematuhi isi persetujuan KMB yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Sepertinya, kesabaran Indonesia melalui jalan diplomasi atau pendekatan yang baik-baik antar kedua bangsa dan negara yang berdaulat dianggap sudah tidak lagi efektif.

Batas kesabaran Indonesia tercermin pada saat bulan September 1960, Presiden Soekarno berpidato di forum sidang Majelis Umum PBB. Dalam pidatonya yang berjudul “Membangun Dunia Kembali”, Presiden Soekarno menyebut masalah Irian Jaya dirangkaikan dengan masalah imperialisme dunia yang belum tuntas. Selanjutnya, Bung Karno menyatakan kegeramannya :

“Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan penuh toleransi dan penuh harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan perundingan-perundingan bilateral …… Harapan lenyap, kesabaran hilang, bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu kini telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami.”

3. Menambah Kekuatan Militer dengan Membeli Banyak Senjata Berat

Untuk mendukung sikap tersebut, Indonesia melakukan berbagai persiapan dalam menambah kekuatan militernya guna merebut Irian Barat secara paksa dari tangan Belanda. Indonesia memutuskan untuk mencari bantuan peralatan senjata dari luar negeri. Pada awalnya, Indonesia berharap dapat membeli senjata dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Namun, usaha ini tidak berhasil, karena negara adidaya ini tidak mau menjual senjatanya untuk kepentingan yang memerangi suatu negara yang dianggapnya sebagai salah satu sekutunya saat itu, yaitu Belanda.

Maka, terjadilah pembelian persenjataan militer secara besar-besaran dari sejumlah negara, antara lain Uni Sovyet, Italia, Jerman Barat, dan Yugoslavia. Antara lain 41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat jet MIG-15, 49 pesawat buru sergap MIG-17, 10 pesawat buru sergapMIG-19, 20 pesawat pemburu supersonik MIG-21, 12 Kapal selam kelas Whiskey, puluhan korvet dan 1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang kemudian diberi nama KRI Irian). Dari jenis pesawat pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan Iliyushin IL-28; 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16; dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel.

Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B; 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules. Juga ditambah dengan memperkuat Jajaran Armada ALRI adalah kapal perang jenis MTB (Motor Torpedo Boat) Klas Jaguar dari Jerman Barat. Kapal perang jenis ini memiliki kemampuan untuk menembakkan torpedo anti kapal selam. Torpedo merupakan senjata andalan pada kapal perang jenis MTB, yang merupakan bentuk awal dari peluru kendali (Rudal), tapi belum menggunakan pengendali. Kesemuanya itu, telah membuat militer RI menjadi yang terkuat di kawasan Asia pada saat itu.

4. Melakukan Konfrontasi Langsung, Menyerbu Irian Jaya

Upaya serius inilah yang membuat AS mulai berfikir relistis. Sehingga, salah seorang diplomatnya melakukan insiatif untuk mengajukan usulan mengenai penyerahan Irian Jaya kepada Indonesia dalam waktu dua tahun, setelah melalui penguasaan mandat PBB dan proses penentuan pendapat rakyat Irian Jaya. Apa reaksi Belanda ? Tetap saja keras kepala. Belanda tidak mau berubah dari posisinya, tidak mau menyerahkan Irian Jaya kepada Indonesia. Bahkan, Belanda hendak mendirikan sebuah negara boneka Papua di sana.

Inilah yang membuat Soekarno begitu geram. Maka, dikeluarkanlah sebuah kebijakan bernama “perjuangan bersahabat”. Suatu istilah perjuangan yang dirumuskan oleh Presiden Soekarno sebagai :

“Politik konfrontasi disertai dengan uluran tangan. Palu godam disertai dengan ajakan bersahabat”.

Inilah yang kemudian mendasari kebijakan penyusupan pasukan militer Indonesia secara besar-besaran ke Irian Jaya melalui operasi Trikora dalam Komando Mandala, dibawah pimpinan Mayjen Soeharto (mantan Presiden). Sebuah kenyataan yang sebelumnya jauh dari perkiraan Belanda, bahwa ternyata Indonesia bisa melakukan pendaratan pasukan di tanah Irian.

5. Belanda, Akhirnya Menyerah

Inilah yang kemudian, pada akhirnya Belanda mau menyerah, dan mau berunding soal penyerahan Irian Jaya. Tepat 1 Mei 1963 Irian Jaya dikembalikan oleh Belanda ke Indonesia melalui PBB (UNTEA). Setelah melalui rapat Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang berlangsung pada Maret-Agustus 1969, maka tepat pada tanggal 19 November 1969, secara resmi Majelis Umum PBB menyetujui Irian Jaya kembali sebagai bagian wilayah NKRI yang sah.

Terima kasih Bung Karno, para pejuang dan para pahlawan, warga Irian Jaya (Papua) dan seluruh rakyat Indonesia. Hingga kini wilayah itu masih utuh menjadi bagian dari NKRI yang kita cintai. IRIAN, Ikut Republik Indonesia Anti Netherland.

4/05/2013

Vanuatu may severe ties with Indonesia over West Papua

ByRicky Binihi

Onews,-- Vanuatu’s next government, if a motion of not trust against PM Sato Kilman succeeds in Parliament, will work more with the people of West Papua and Vanuatu could cut diplomatic relations with Indonesia.

That was the message the dignitaries and sympathizers of the West Papua cause heard when the Morning Star flag was hoisted at Vete’s Headquarters in Port Vila to commemorate West Papua’s Independence since 1961.

Former Head of State Mr Kalkot Matas Kelekele, Melanesian Progressive Party President and former Vanuatu Prime Minister, Barak Sope, the President of the Graon and Jastis Party MP Ralph Regenvanu, former Foreign Affairs Ministers MP Joe Natuman, MPP Malekula MP Sai Esmon, Dr John Ondawame, West Papua outspoken leader Andy Ayamiseba, and members of the Vete hierarchy were all present on December 1.

Former President Matas Kelekele who reportedly told the President of Indonesia he still prayed for the Melanesians in West Papua said “colonization by the Indonesians of West Papua is a sin.”

Vanuatu former PM Sope said the MPP does not recognize West Papua as part of Indonesia and it will never do so and that “the struggle for West Papua must continue because victory is certain.”

Former Foreign Affairs Minister Natuman said the relations between Jakarta and Port Vila must be “terminated” because he alleged that in the past two years Indonesia has provided funds to individual Vanuatu politicians and not the Nation.

Four government backbenchers moved to join the Opposition that Friday so when GJP President MP Regenvanu took the stage on Sunday he said the government that will be elected on December 10 will ensure that West Papua becomes a priority. 

Members at the ceremony that was organized by former MP David Abel and Chairman of the Organising Committee, Mr Alul Ravue heard that after the 51 years of struggle 600, 000 West Papuas have died and 7 Million Indonesians have migrated to West Papua and have diluted the cause for Independence of West Papua is coming.

Mr Shem Rarua who has been mandated by the West Papuan Council to speak at the occasion announced that they have now decided to register West Papua cause to the International Court of Justice in Hague and they are confident Vanuatu’s brothers and sisters of West Papua will be free.

 

4/04/2013

Polda Keluarkan DPO, Pimpinan Tinggi TPNPB-OPM Siap Lawan

Jayapura Onews,--  Panglima Tinggi  Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat  (TPNPB)-Organisasi Papua Merdeka (OPM), Gen Goliat Tabuni tidak takut dijadikan DPO oleh Polda Papua. Hal itu dikatakan Sekjend TPNPB-OPM dalam pembicaraan via telepon, Jumat (5/4). 

“Goliat Tabuni tidak takut dijadikan DPO oleh Kapolda Papua.  Dan kami ini bukan teroris,” ujarnya.    

Dijelaskan,  Goliat Tabuni adalah pimpinan  TPNPB-OPM.  “Tra papa (tidak apa-apa)   dong (mereka) kasih keluar DPO saja. Kami tetap berada di markas kami. Bila TNI-Polri datang kami lawan, sampai merebut kemerdekaan” kata Anton Tabuni dengan nada tinggi. 

“Datang sudah  dan kami tangkap. Ini bukan hal baru, sudah dari dulu. Dan kami tidak takut,” tambah dia.

Seperti diketahui, Polda Papua akan mengeluarkan DPO bagi Goliat Tabunu terkait penyelidikan kasus penembakan 7 prajurit TNI dan 4 warga sipil di Distrik Sinak Kabupaten Puncak, serta 1 prajurit di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak  Jaya pada 21 Februari lalu.

Paling Tertinggi TPN-OPM, Goliat Tabuni merupakan  salah satu tersangka  utama kasus  penembakan 8 prajurit  TNI dan 4  warga  sipil di Distrik   Sinak tersebut.    

“Langkah-langkah kita sudah dikaji dulu  untuk kita mau terbitkan DPO secara  jelas. Dengan dasar  hukum, alat-alat   bukti  yang kuat, dan kasusnya apa saja,”  kata Kapolda Papua Irjen (Pol) Drs. M. Tito Karnavian, Rabu (3/4) lalu.  

Dia mengatakan, Goliat  Tabuni  telah  mengaku terlibat  kasus  penembakan  seorang prajurit  TNI  di  Distrik Tingginambut,  Kabupaten  Puncak Jaya.

Pihaknya  juga  menangkap  seorang  tersangka yang mengaku  anggota pasukan Goliat Tabuni, yang  mengetahui  kasus  penembakan  di  Sinak sekaligus  terlibat  penembakan  pesawat  Trigana  Air di Mulia beberapa waktu lalu. 

“Bila  surat DPO telah diterbitkan, kami  segera  menangkap  Goliat Tabuni. Kemungkinan besar  melibatkan TNI, karena sudah ada  progres perbantuan   TNI kepada Polri  tahun 2013,” ujarnya.        

Menurutnya,  guna mengungkap kasus penembakan 7 prajurit  TNI dan 4  warga  sipil di  Sinak, pihaknya juga  merencanakan  melakukan cross ceck  dengan pemanggilan beberapa saksi,  termasuk   pasangan  calon  Bupati  Puncak  Elvis  Tabuni  dan Heri Dosinaen,  serta sejumlah anggota  DPRD  Puncak, Repinus Talenggeng.  [154]

 

4/03/2013

Indonesia keberatan terhadap HAM Sebagai Syarat Perjanjian Perdagangan senjata di PBB

Merlu RI Marty Natalegawa
Jakarta,-- Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan pada hari Rabu bahwa keputusan Indonesia untuk abstain untuk persetujuan Majelis Umum PBB mengenai perjanjian perdagangan senjata global, Indonesia keberatan untuk rancangan perjanjian, katanya yang dibutuhkan eksportir untuk menilai catatan hak asasi manusia dari pembeli potensial mereka.

"Posisi Indonesia dalam masalah ini jelas. Kami mendukung gagasan tentang perlunya sebuah perjanjian untuk mengelola atau mengatur perdagangan internasional senjata, "kata Marty di Istana Negara.

"Tapi masalahnya adalah, perjanjian draft yang dibawa ke Majelis Umum PBB untuk pemungutan suara kemarin berisi konsep persyaratan di mana senjata eksportir harus menilai hak kondisi manusia di negara-negara pembeli," tambahnya.

Namun, Marty membantah bahwa Indonesia khawatir tentang persepsi internasional terhadap catatan hak asasi manusia di negara itu termasuk kami (RI) katanya, dan bahwa hal ini bisa menghambat pengadaan senjata dengan mitra dagangnya.

"Perhatian kami adalah bahwa rancangan perjanjian akan memungkinkan negara-negara eksportir secara sepihak menilai apakah suatu negara menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan mereka akan menggunakannya untuk menentukan kelayakan negara untuk membeli senjata. Hal ini sangat sepihak, "kata Merlu RI.

Menurut Marty, wewenang untuk membuat penilaian semacam itu hanya akan menjadi milik "kelompok netral yang berisi orang-orang terkemuka dengan keahlian yang relevan untuk penilaian".

Marty mengatakan Indonesia berharap bahwa perjanjian bisa mengakomodasi pembentukan sebuah kelompok netral.

Resolusi, yang mengatur perdagangan internasional senjata konvensional, menerima 154 suara setuju. Tiga negara anggota - Iran, Korea Utara, dan Suriah - memilih menentang keputusan tersebut. Indonesia bergabung dengan 22 negara lain yang abstain.

3/29/2013

Hugo Chaves dan West Papua

Opini
By. Victor Yeimo (Ketua Umum KNPB)

Hugo Chavez
Hugo Chaves, Pemimpin  kharismatik yang penuh kontroversial itu telah tiada sejak  5 Maret 2013 lalu. Rintihan pilu masih terdengar, bukan saja rakyat Venezuela, Amerika Latin dan Timur Tengah, namun juga di berbagai belahan dunia, terutama rakyat tertindas di dunia yang terinsipirasi dari sosok Chaves yang berani melakukan perubahan yang revolusioner di Venezuela dan merubah wajah kapitalisme global di Timur Tengah dan Amerika Latin.

Di West Papua, wilayah yang selama hampir setengah abad masih digerogoti gurita imperialisme Amerika Serikat (AS), sosok Hugo Chaves dan kiprahnya tidak begitu ramai untuk menjadi perhatian, terutama dalam perspektif perjuangan pembebasan nasional West Papua. Bukan karena tidak penting, namun pemahaman akan pergulatan kepentingan ekonomi politik global masih ditutupi oleh kabut tebal yang bernama neokolonialisme Indonesia.

Asia Pasifik, terutama Indonesia dan West Papua dalam sejarahnya pernah menjadi wilayah yang diperebutkan oleh kekuatan Blok Barat dan Timur. Kini, watak ‘lonte’ yang diterapkan Indonesia dalam politik luar negeri, serta militer Indonesia yang menjadi germo bagi ‘perempuan jalang’ yang bernama pemerintah Indonesia dan kebijakannya dalam kanca luar negeri, seakan-akan membuat ‘anak haram’ yang bernama Pemerintah Provinsi dan Kabuputen di wilayah West Papua kehilangan identitas, harga diri, apalagi untuk berpikir dan memaknai gebrakan Hugo Chaves dalam melakukan perubahan yang nyata diatas tanah West Papua.

Semua orang yang menginginkan perubahan diatas tanah West Papua harus sepakat bahwa Negara Republik Indonesia di West Papua adalah neokolonialisme. Perusahaan Multinasional, mulai dari PT. Freeport Indonesia dan perusahaan asing lainnya diatas tanah Papua adalah kapitalisme global. Bahwa dua kekuatan itu sedang menjadi akar penindasan dan eksploitasi diatas tanah West Papua. Hanya dengan pemahaman itu, kita akan mampu memahami esensi Hugo Chaves dan sosialisme abad 21 di Venezuela. Pemahaman mengenai faktor Hugo Chaves dan tindakan revolusionernya bagi rakyat Venezuela dapat memberi makna bahwa perjuangan rakyat tertindas harus memiliki format dan arah tentang apa yang diperjuangkan.

Dan bukan dalam NKRI. Bagi saya, Indonesia telah menjadi negara tanpa makna alias negara tak bermakna atau tak berguna. NKRI telah gagal dan digagalkan ulah bangunan nation state yang tak memiliki kuat ideologi (kabur), apalagi pemimpinnya yang tidak bisa seperti Soekarno. Oleh karena itu, tidak ada gunanya membahas perubahan dalam bangunan NKRI. Bahwa rakyat tertindas di Indonesia, dan lebih khusus untuk rakyat West Papua, Sosialisme Demokratik dalam praktek perubahan di Venezuela dibawah komando comandante, Hugo Chaves, sang anti American Fighter itu meyakinkan kita bahwa paham itu tidak sekedar “sampah’ abad 19, yang hanya ilmiah dari seorang Karl Marx dan Friedrich Engels.

Infiltrasi AS dalam misi ekonomi politik AS dan sekutunya yang begitu kuat di Indonesia hingga ke West Papua, menjadi peringatan bahwa ketegasan perlawanan harus diarahkan secara sadar dalam praktek sosialisme demokratik. Bagi saya, semangat Papua Merdeka harus memiliki makna pembebasan yang jelas menuju sosialisme demokratik, sebuah ide yang tidak sekedar paham filosofi luar, tetapi secara nyata dapat diartikulasikan diatas tanah West Papua.

Perjuangan bangsa Papua untuk merdeka bukan hanya sebuah keinginan kosong, tetapi merupakan kebutuhan dalam rangka membebaskan bangsa Papua dari kekuatan global yang menindas dan mengeksploitasi West Papua. Karena itu, manuver dari gerakan-gerakan perjuangan yang tidak memiliki persepektif pembebasan hendaknya ditinggalkan, karena tidak melambangkan watak pembebasan nasional. Justru, kondisi ambur adul dalam perjuangan akan menyuburkan watak kapitalisme yang sudah berakar dalam masa kolonoliasme Indonesia.

Hugo Chaves mempertahankan kedaulatan negara Venezuela dan mampu mempengaruhi negara-negara Amerika Latin dan Timur Tengah bukan semata-mata  karena kekuatan militer, namun karena sikap revolusionernya dalam mengubah wajah kapitalisme di Venezuela yang kaya akan minyak itu menjadi sosialisme yang berhasil. Papua Merdeka, secara politik diperjuangkan oleh rakyat West Papua, tetapi lebih penting dari itu rakyat Papua Barat harus terus berjuang bagi kedaulatan bangsa Papua, sebuah kedaulatan tanpa kolonialisme Indonesia, tanpa kapitalisme global, dengan membentuk pemeritahan Sosialisme demokratik sebagai senjata perlawanan merebut pembebasan nasional.

*Penulis adalah Ketua Umum KNPB

3/26/2013

Tapol Filep Karma Prihatin Demokrasi di Papua

Tapol Papua Filep Karma (Photo MS)
Jayapura OneNews,--Filep Karma, Tahanan Politik (Tapol) Papua mengungkapkan keprihatinannya atas terbumkamnya demokrasi di tanah Papua sejak tahun 1969. Kata dia, ketika sebuah wilayah diisolasi apa saja bisa terjadi dan dunia lain tidak tahu. 
 
Salah satu contoh besar menurut dia adalah pemilihan gubernur pada 29 Januari 2013 lalu tanpa pemantau independen baik dari Papua, Jakarta maupun dari dunia internasional. Selain itu, kata dia, tidak ada media asing yang memonitor pelaksanaan Pilkada. 


"Saya melihat pengawasan lemah sejak proses awal karena  tidak ada pengawas independen dari Papua, nasional maupun internasional. Juga, tidak ada LSM atau jurnalis internasional yang meliput proses ini,"kata Filep Karma beberapa waktu lalu di Lapas Klas IIA Abepura, Jayapura.


Ia menilai, proses demokrasi di Papua tidak semakin baik. Agenda negara saja berjalan tidak demokratis, bagaimana dengan agenda-agenda protes rakyat atas carut-marutnya kondisi Papua saat ini.  Rakyat Papua benar-benar terisolasi dari pemberitaan media di Indonesia dan media asing sejak Papua dipaksakan bergabung dengan Indonesia. 


Kata dia, dalam proses demokrasi yang tidak ada pemantau independen baik LSM maupun jurnalis, tidak akan ada pendidikan demokrasi. Masyarakatnya tidak akan berkembang baik. 


Ini adalah cara pembunuhan dalam bentuk lain yang pelan tetapi pasti. Masyaralat tetap dibuatnya tidak berkembang secara demokrasi. 


Kata dia, mestinya cara-cara Orde Baru mulai harus ditinggalkan. Ini adalah cara-cara Orde baru, kata  Karma yang mengaku tidak mendukung proses Pilgub yang baru saja berlalu karena baginya itu memilih budak-budak yang memperpanjang kolonialisme Indonesia di Tanah Papua. (Aprila Wayar/MS)


Tentang Filep Karma: KLIK

Belajar dari Filep Karma: KLIK

Kekerasan di Paniai Berlanjut, SKP Minta Perhatian Publik

Kasus kekerasan aparat di paniai (photo jb)
Jayapura OneNews,-- Ketegagan antara Aparat Keamanan Indonesia dan Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM)  di Paniai Pasca pembubaran Markas TPN-OPM Pimpinan Jhon Yogi, Cs di Eduda pada Oktober 2012 lalu dinilai masih terus berlanjut. Situasi ini belum menjadi perhatian publik lokal, nasional dan internasional. 
 
Demikian dikatakan Aktivis Sekretariat Perdamaian dan Keadilan (SKP) Keuskupan Timika, Provinsi Papua, Marko Okto Pekei melalui Pers Release yang dikirimkan kepada majalahselangkah.com, Senin, (25/3/13) 

3/25/2013

Lagi Puncak Jaya Memanas, 1 Warga Ditembak TNI dan 2 wanita diperkosa

Operasi TNI/Polri di Papua
Jayapura, Onenews,-- Puncak Jaya Papua kembali memanas, Tentara Nasional Indonesia (TNI) menembak mati satu warga sipil orang asli Papua asal Distrik Tingginambut, saat korban sedang berjalan di Kampung Yamo, ia ditembak oleh TNI  berkisar jarak 100 M dari Pos TNI Distrik Tingginambut. Korban mengenai Peluru tima panas tembus paha kanan, dan  korban sementara masih kritis.

Korban yang di Tembak TNI adalah warga sipil Distrik Tingginambut atas nama Wundiwili Tabuni (25Th). Peristiwa ini terjadi tanggal (21/03/2013) waktu setempat.

Kata sumber kepada WPNLA, “Sebelum Wundiwili ditembak TNI, Anggota TNI di Distrik Tingginambut di Yamo, ada 1 tank-tank dan naikan bendera merah putih. Mereka bilang kalau orang Papua lewat sini kami akan tembak”. Ujarnya.

Sumber lain mengaku hal itu disampaikan kepada sumber oleh salah satu prajurit TNI kepada sumber yang namanya tidak mau dimuat di WNLA, tetapi diijinkan untuk marganya ditulis adalah Tabuni.

Korban Pemerkosaan 2 Wanita
 
Selain itu, pada hari Sabtu (23/03/2013), terjadi perkosaan terhadap 2 wanita oleh TNI dari Pos Distrik Tingginambut kesatuan 753 Nabire. 
2 korban permekosaan diantaranya, Regina Murib (25Th) dan Weresina Tabuni (22Th) warga Distrik Tingginambut.

Dua wanita korban pemerkosaan TNI nama Regina Murib diperkosa oleh 5 Prajurit TNI dari kesatuan 753 Nabire yang ditugaskan di Distrik Tingginambut.  Kemudian korban Weresina diperkosa oleh 10 Prajurit TNI 753 Nabire. Hal itu dilaporkan salah satu keluarga korban dari Mulia setelah ia mendapat informasi peristiwa tersebut, melalui via telpon seluler kepada WPNLA.

Ditanya kepada sumber terkait peristiwa penembakan Wuniwili apakah benar terjadi? Sumber mengatakan “itu betul Wundiwili Ditembak oleh TNI saya juga dengar informasi itu”. Ujarnya, kepada Admin WPNLA.

Tentara Nasional Indonesia Memancing Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, dengan cara menembak masyarakat sipil dan perkosa wanita secara tidak manusiawi. 

Hal ini TNI melanggar HAM, karena TNI yang melakukan perlawanan masyarakat sipil, padahal harusnya TPN-OPM yang menewaskan TNI. 

Jika TNI mau balas dendam bukan kepada masyarakat sipil, tetapi carilah TPN-OPM. Apalagi wanita yang tidak tau apa-apa diperkosa. Hal ini benar-benar melanggar Hak Asasi Manusia oleh TNI 753 di Puncak Jaya.

Sebetulnya, jika para TNI melakukan perlawanan terhadap TPN-OPM tidak salah, jangan terhadap masyarakat sipil. Perlawanan atau perang yang terjadi di Puncak Jaya antara TPN-OPM dan TNI adalah sesuai hukum perang alias Geneva Convention. 
Sebab TPN-OPM melakukan perlawanan untuk mempertahankan keutuhan bangsa Papua untuk merdeka dan berdaulat Penuh seperti Negara-negara merdeka di dunia. 

Sedangkan TNI mempertahankan keutuhan NKRI Papua sebagai bagian dari NKRI tetapi Indonesia memaksakan kehendak orang pribumi Papua, untuk Papua bagian dari NKRI adalah tidak benar.

Akhirnya, setelah terjadinya Peritiwa penembakan pada (21/03/2013) dan pemerkosaan terhadap dua wanita (23/03/3013). Situasi di Puncak Jaya memanas saat ini, keluarga korban kesulitan perawatan korban tembak Wundiwili, dan dua wanita korban perkosaan mengalami sakit. Mohon perhatian da advokasi atas pelanggaran HAM di Distrik Tingginambut Kabupaten Puncak Jaya. Harap para pembelah HAM menyuarakan hal ini dengan serius.

Admin WPNLA 2013-03

3/19/2013

U.S. Try referendum for West Papua!

Mantan Merlu AS Hilary Clinton
Jakarta worry: "I would suggest that Indonesian Foreign Minister sent a letter of protest to the U.S. government for intervention by the Indonesian nation's sovereignty," he explained.

Onepapua,-- Government of Indonesia through the Ministry of Foreign Affairs Marty Natalagewa have protested the statement of U.S. Secretary of State Hillary Clinton are worried about the human rights situation in Papua.
 
"Hillary's statement was the U.S. intervention in Indonesia," said intelligence analysts as reported by AC Manullang indonesiatoday.in, Monday, November 14, 2011.
 
According to AC Manullang, the U.S. Government has been implementing a strategy to release Papuan Human Rights of the Republic of Indonesia (Republic of Indonesia). "Human rights will be the reason the United States filed a referendum for the people of Papua," he explained.
 
Manullang said, due to the statement of Hillary, European countries as well as support groups in various countries of Papua will urge Indonesia to conduct a referendum for Papua.
 
"In the international world are of opinion, the need for a referendum for Papua because many human rights violations," said Manullang.
 
Fears of Indonesia

In response to a statement by U.S. Secretary, said Manullang, the Government of Indonesia must be firm with the United States.
 
"I would suggest that Indonesian Foreign Minister sent a letter of protest to the U.S. government having to intervene Nation sovereignty of Indonesia," he explained.
 
He continued, assertiveness Indonesia will be a boost for the government of SBY recently had popular support continues to decline.
 
"If the government of SBY act firmly against the United States, the people of Indonesia will support it," added Manullang.
 
Earlier, the United States Government, through the Secretary of State, Hillary Clinton responded to the turmoil that continues in Papua. Hillary Clinton, on Friday, 11 November 2011, expressed concern about the state of human rights in Papua.  
Former U.S. first lady's call for a dialogue to meet the aspirations of the people in the conflict areas.
 

3/17/2013

3 People Died Due to Landslide in Jayapura

 Jayapura,-- Heavy rain which flushed the area Jayapura casualties. Landslides caused by heavy rains that made ​​three people die.

The rain was pouring with rain intensity Jayapura on Saturday (16/3) to Sunday (17/3). Rain triggered landslide on Sunday morning at the home stockpiling APO Mount, North Jayapura district, Jayapura- papua.

"As a result of landslides, four residents of the house buried by landslides. 3 people died that Melinda (26), Agustina Soisa (17), and Ardelea (23), and one person is injured Hans Loen (47)," said Head of Public Relations BNPB in his statement, Sunday (17/3) today.
 Sutopo said injuries treated in hospitals Doc 2 Jayapura. While the three victims died was buried at the family home in the APO Mount, Jayapura.

Flood affected areas include Entrop, Youtefa Market, SMA 4 and beyond.

"The structure of Jayapura City area mostly hills coupled with a lack of awareness of the people to build houses in flood plains resulting landslides and flooding potential is very high," he said.

 
"Awareness of disaster alert and care should be emphasized to everyone in order to minimize environmental damage, loss of property and loss of life,"


"The current conditions can be categorized as disaster preparedness in the past week had twice the floods and landslides in the region Entrop, Padang Bulan, Youtefa Market, Koya brat and east, and the village of Moso.
 
Local governments seem silent and did not care about the disaster, is expected to capture a disaster for victims and should be categorized handling of the emergency.

3/13/2013

Buku Ke-15 Dari Socratez S. Yoman Di Larang Beredar

Buku ke-15 Socratez S. Yoman
Jayapura, 14/3 (Jubi) – Buku ke -15 yang berjudul ‘Apakah Indonesia Duduki Bangsa Papua’ yang ditulis oleh pendeta Socratez Sofyan Yoman ditolak oleh salah satu penerbit buku di Yogyakarta. Tak hanya ditolak, buku itu juga dilarang beredar.

Hal ini disampikan Socratez Sofyan Yoman kepada tabloidjubi.com di Abepura, belum lama ini. Menurut dia, buku bertajuk ‘Apakah Indonesia Duduki Bangsa Papua’ sudah dikirim ke salah satu penerbit di Yogyakarta yang biasa menerbitkan bukunya, namun ditolak. “Saya ditelfon dari penerbit, katanya buku itu tidak bisa diterbitkan. Jadi, saya bilang sama mereka, kirim balik kembali ke tanah airnya,” kata Socratez.

Penerbit tak berani mencetak buku tersebut karena isinya dinilai ‘makar.’ Akhirnya, mereka (penerbit) memutuskan untuk mengembalikannya ke penulis. Sebelum dicetak, Pemerintah sudah melarang buku itu beredar di khayalak umum. 

S. Sofyan Yoman
Karena, isi dari dalam buku tersebut dinilai bersifat makar. Tak hanya buku itu yang dilarang beredar, sebelumnya, salah satu buku dari Yoman berjudul ‘Pemusnahan Etnis Melanesia’ dengan sub judul Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat, penerbit Galang Press pada 2007 lalu, juga dilarang beredar. Buku tersebut juga dinilai makar dan provokatif.

Pendeta Socratez Sofyan Yoman adalah salah satu sosok pemimpin gereja ternama di Papua. Kini, warga jemaatnya mempercayakan ia menduduki jabatan Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua. 

Selain melayani, dalam kesehariannya, Yoman mengeluti dunia tulis menulis. Hingga kini, sudah 14 buah buku yang ditulis olehnya dan diterbitkan lalu beredar di pasaran dan toko buku. 

Diantaranya, Pemusnahan Etnis Melanesia, Suara Bagi Kaum Tak Bersuara, Otonomi, Pemekaran dan Merdeka, Otonomi Khusus Papua Telah Gagal. 

Selanjutnya, buku ke-14 yang baru saja diluncurkan pada Rabu, 6 Maret 2013 lalu di Kotaraja, Abepura, Jayapura, Papua, bertajuk ‘Saya Bukan Bangsa Budak.’ (Jubi/Musa)

22nd Session of the UN Human Rights Council - INDONESIA: Ongoing violence in Papua and the need for dialogue

 INDONESIA: Ongoing violence in Papua and the need for dialogue 


Date: March 12, 2013
Document ID: ALRC-COS-22-13-2013
HRC section: Item 4, General Debate
Speaker: Mr. Budi Tjahjono

A Joint Oral Statement to the 22st Session of the UN Human Rights Council fromthe Asian Human Rights Commission (AHRC), the Commission of the Churches on International Affairs / World Council of Churches ( CCIA/WCC), Dominicans for Justice and Peace (Order of Preachers), Franciscans International (FI), the International Coalition for Papua (ICP), Survival International (SI), United Evangelical Mission (UEM), Vivat International (VI), and the West Papua Netzwerk (WPN).

INDONESIA: Ongoing violence in Papua and the need for dialogue

This is a joint statement by the Asian Human Rights Commission (AHRC), the Commission of the Churches on International Affairs / World Council of Churches (CCIA/WCC), Dominicans for Justice and Peace (Order of Preachers), Franciscans International (FI), the International Coalition for Papua (ICP), Survival International (SI), United Evangelical Mission (UEM), Vivat International (VI), and the West Papua Netzwerk (WPN).


Or 

22nd Session of the UN Human Rights Council


  • INDONESIA: Ongoing violence in Papua and the need for dialogue

  • NEPAL: Raising voice against impunity puts human rights defenders at risk

  • PAKISTAN: Human rights will remain a mirage in Pakistan without state's political will to guarantee them

  • SRI LANKA: The absence of action regarding complaints of torture and ill-treatment

  • MYANMAR: The death of Phyo Wai Aung: Myanmar's brutal institutions claim another victim

  • INDIA: A long way to go to ensure food security

  • SRI LANKA: The need for the preservation and proper inquiries into the remains of about 200 bodies found in the mass grave at Matale

  • MYANMAR: Targeting and torturing public enemies through the Unlawful Associations Act in Myanmar

  • INDONESIA: Government and law enforcement officials are expected to take serious measures to combat paedophilia in Bali

  • MYANMAR: Savage torture in ordinary criminal cases

  • BANGLADESH: Failure to prevent disappearance is injustice to families

  • BANGLADESH: Government lacks 'political will' to legislate anti-torture bill

  • THAILAND: Freedom of Expression in Crisis - The Conviction of Somyot Prueksakasemsuk




  • 3/12/2013

    West Papuan activist to address Vanuatu MPs

    Benny Wenda /Photo ABC
    A West Papuan activist addressed Vanuatu MPs on Wednesday in a bid to have the Indonesian province granted observer status at the Melanesian Spearhead Group.

    West Papuan activist Benny Wenda was set to address Vanuatu MPs on Wednesday in a bid for their support for the Indonesian province to be given observer status at the Melanesian Spearhead Group.
    Mr Wenda is on an international tour trying to gain support for the people of the province and their push for autonomy.

    Vanuatu has a long history of providing help and assistance for those West Papuans who have left their homeland.

    Indonesia has significantly increased its assistance and aid to Vanuatu, and Mr Wenda is concerned it's being done to convince Vanuatu's leaders to back away from that support.

    More News...


    Organisasi HAM menyerukan kepada HAM PBB Masalah Eskalasi kekerasan di Papua Barat

    Dewan HAM PBB di Jenewa / Foto Vmision
    Oleh: Christopher Dinding
    The Dewan HAM PBB di Jenewa / Foto: Amerika Serikat Mission Jenewa, melalui Wikimedia Commons
    Geneva NewsToday-- Termasuk VEM dan Papua Barat network - Dalam sebuah pernyataan kepada Dewan HAM PBB hari ini, berbagai organisasi hak asasi manusia telah menyatakan keprihatinan mereka pada eskalasi kekerasan di Papua Barat." 
    "Di bawah kedok anti-terorisme strategi sejak musim panas lalu ada gelombang penganiayaan terhadap aktivis politik dan pembela HAM dan pembela, kebebasan berpendapat. Dengan penangkapan sewenang-wenang dan tanpa dasar hukum dan Mereka mempertanyakan dan harus dihentikan. yang di kutip http://www.vemission.org/   selasa 13/03/13."

    Penyiksaan di penjara
    "Pada tanggal 21 Januari 20 tahanan di penjara Abepura terkenal, di mana para tahanan politik ditahan banyak orang Papua dan telah disiksa. Dia telah dipukuli dengan Elektrojabeln. Meskipun itu adalah hal yang baik bahwa dalam episode setidaknya Gefängsnisleitung itu telah ditangguhkan".  

    "Namun, dalam rangka untuk mengakhiri iklim impunitas di Papua Barat pada prinsipnya, perlu bahwa pelaku akan bertanggung jawab dan dengan mereka semua yang lain yang menyiksa, pelecehan, mengintimidasi atau bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia".

    Berdasar tuduhan
    "Berada di kasus lain 15 Februari menangkap tujuh di Papua Depapre dan dibawa ke kantor polisi di ibukota provinsi Jayapura. Bahkan para tahanan yang dituduh kontak dengan aktivis terendam telah disiksa selama interogasi. Lima dari mereka yang ditangkap dibebaskan keesokan harinya, Daniel Gobay dan Matan Klembiab tidak berdasar tetapi kepemilikan senjata tajam didakwa".

    Pastor ditangkap"Pada tanggal 2 Maret adalah pastor Gobai Yunus, mantan kepala Kingmi Nabire Gereja Maranatha, di Pania kabupaten dipukuli oleh polisi dan ditangkap. Meskipun menurut template Asian Human Rights Commission ada tuduhan bahwa polisi telah menuntut masih satu juta rupee (sekitar 80 euro) untuk pembebasannya".

    Kekerasan Mematikan
    "Yang bertanda organisasi menyayangkan eskalasi terus kekerasan di Papua Barat. Pada tahun lalu telah terjadi kasus kekerasan antara pasukan keamanan Indonesia, milisi dan warga sipil, di mana beberapa kematian di semua sisi".  
    "Pemerintah Indonesia diminta sehingga untuk menerima proses perdamaian penuh dan setara, dalam rangka untuk memutus siklus kekerasan. Dalam konteks ini perlu disambut bahwa Presiden Indonesia telah menyatakan beberapa kali untuk berdialog dengan orang Papua".

    Rekomendasi oleh Hak Asasi ManusiaOrganisasi HAM merekomendasikan kepada Dewan HAM PBB untuk mendesak pemerintah Indonesia untuk:
    1. Aktif untuk dialog damai dengan penggunaan Papua bawah iringan netral, sebagai aktivis perdamaian dan non-pribumi penduduk permintaan Papua Barat, sehingga ada solusi yang berkelanjutan bagi masyarakat di Papua Barat".
    2. "Untuk memungkinkan pergerakan bebas untuk Papua, tidak hanya untuk wisatawan, tetapi juga bagi wartawan asing, sebagai pengamat independen telah menyerukan untuk beberapa waktu. Hanya sebagai pelaporan independen mungkin - wartawan lokal hidup melalui laporan kritis dalam bahaya konstan".
    3. Semua tahanan politik dibebaskan, sehingga membuat dialog yang tulus dan partisipatif dengan semua kelompok yang relevan bisa.
    Published News: http://www.vemission.org/


    Jailed by Indonesia but still campaigning for freedom

    By. Len Garae 
     
    Otto Odokwame, Benny Wenda, Andi Amiseba in PNG
    Benny Wenda had tears in his eyes when he sang a song he composed while his hands were tied behind his back for two weeks in a dark, stinking, notorious Indonesian jail.

    It was a song of freedom.

    Wenda did not beat about the bush when he stated that Indonesia should have asked for permission from West Papua to request Observer Status at the Melanesian Spearhead Group.

    This dedicated highlander, tribal leader and former political prisoner escapee, is a global campaigner for the Freedom of the people of West Papua from Indonesian occupation.

    The London-based tribal leader made the statement at a press conference in the Chief’s Nakamal yesterday. Wenda was asked his view of the answer to a question the writer of his article had put to the Indonesian Ambassador to Vanuatu, Nadjib Riphat Kesoema at a press conference two weeks ago.

    The question was how he felt about the fact that his country has been granted Observer Status at MSG while West Papua is seeking full membership of the Melanesian Organisation.

    While the Indonesian Ambassador had replied that West Papua should have asked permission from Indonesia to seek full membership of MSG, Wenda said West Papua is a natural part of Melanesia and the most logical approach for Indonesia to take should have been for Jakarta to ask permission from West Papua to seek Observer Status at MSG.

    His prompt answer triggered instant smiles on faces within the audience and hand clapping during the press conference.

    Wenda hails from the Dani Tribe in the Highlands of West Papua and grew up in his village. But he explained, “My village was bombed by the Indonesian military when I was a child and many members of my family were killed. Later I began to campaign for a Free West Papua. For the ‘crime’ of helping to lead a peaceful movement for independence, I was arrested, imprisoned and tortured by Indonesian soldiers. They threatened to kill me, but I escaped to the UK.

    “Many of my friends and family back in West Papua have been killed, raped or tortured. Life is hard for them. All we are asking for is the freedom that you enjoy every day – the freedom to speak your mind, to choose your government and to live without fear of persecution. Please hear my peoples’ cry for help”.

    Wenda said the people of West Papua hold Vanuatu in high esteem because to them, Vanuatu is their beacon of hope in their 50 years of suffering under the yoke of a cruel, inhumane Indonesian military.
    While a number of groups have been formed beside OPM in the struggle for freedom in West Papua and there are internal differences, Wenda said the fact remains and that is that they all operate under the one Morning Star Flag and they are all for the Freedom of West Papua.
    He said his tribe is the biggest tribe in West Papua with a total population of approximately 500, 000 people. 

    While acknowledging the committed roles played by his Vanuatu-based colleagues Andy Ayamiseba and Dr John Ondawame in the struggle for the freedom of their people and country, he said his people from the highlands are the most energetic lot when it comes to standing up for their rights to be a Free People.

    3/10/2013

    Usai Port Moresby, Selanjutnya Port Villa, Tujuan Kampanye Benny Wenda

    Benny Wenda J. Robinson
    Numbay OneNews,-- Benny Wenda, pemimpin Papua Barat dan pelobi internasional untuk kemerdekaan Papua Barat ddijadwalkan tiba di Port Vila besok.
     
    Benny Wenda akan tinggal di Port Vila selama beberapa hari. Sesuai dengan program yang dirancang, saat kedatangan Wenda besok (12/3) sore,Pemimpin Masyarakat Adat Vanuatu akan berada di bandara untuk menyambutnya. Kemudian, upacara selamat datang resmi yang diselenggarakan oleh Ketua Dewan Kota Port Vila  akan diadakan di AOS Nakamal.

    Wenda dijadwalkan bertemu dengan Vanuatu Christian Council (VCC), dan akan menjadi Tamu Khusus dalam Konferensi Pers yang diselenggarakan oleh Asosiasi Media Vanuatu (MAV) di sore hari.

    Pada Selasa pagi, Pendiri Kampanye Kemerdekaan Papua Barat akan melakukan kunjungan resmi ke VANGO dimana masyarakat Vanuatu memiliki kesempatan untuk menyuarakan keprihatinan mereka atas isu-isu kemerdekaan Papua Barat. Benny Wenda juga mendapatkan kesempatan untuk melakukan tur Port Vila yang diselenggarakan dan dipimpin oleh Vete Indigenous Historical Association (VIHA) pada Rabu pagi.

    Pada bulan Juni 2010, Parlemen Vanuatu memilih untuk mendukung Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri dan diberikan status pengamat di Melanesian Spearhead Group and Pertemuan Puncak Pacific Island Forum.

    Radio Australia pernah melaporkan bahwa, Perwakilan Papua Barat di Melbourne, Ronny Kerani secara khusus menyebutkan Vanuatu menjadi salah satu negara yang telah mendorong isu kemerdekaan Papua di PBB.

    Benny Wenda akan meninggalkan Vanuatu pada hari Kamis pagi, setelah sebuah acara perpisahan yang akan diselenggarakan oleh VIHA pada Rabu malam. (Jubi/Victor Mambor)

    West Papuan Independence leader to visit Vanuatu

     By. Glenda Shing 

    Benny Wenda
    West Papuan tribal leader and international lobbyist for the independence of West Papua from Indonesia, Benny Wenda, is scheduled to arrive in Port Vila tomorrow.

    The Free West Papuan activist is expected to stay in Port Vila for a week, and according to the program drafted for the occasion, upon the arrival of Wenda tomorrow afternoon, Vanuatu Kastom Chiefs will be at the airport to welcome him. Later on, an official welcome ceremony organised by the Port Vila Town Council of Chiefs will be held at the Chief’s Nakamal.

    On Monday, the West Papuan Independence leader is scheduled to meet with the Vanuatu Christian Council (VCC), and will be the special Guest in a Press Conference organised by Media Association of Vanuatu (MAV) in the afternoon.

    On Tuesday morning, the Founder of the Free West Papuan Campaign will make an official visit to VANGO. Members of the Public will have the opportunity to voice their concerns over the West Papuan independence issues, and again, Wenda will be the special Guest, held at the Chief’s Nakamal 4pm, Tuesday.

    Wenda will also have the opportunity to tour Port Vila organised and led by Vete Indigenous Historical Association (VIHA) on Wednesday morning.

    In June 2010, Vanuatu’s Parliament voted to support West Papua’s indigenous peoples’ right to self-determination, seeking to have its independence noted and observer status granted at the Melanesian Spearhead Group and Pacific Island Forum leaders’ summit meeting.

    Radio Australia reported that, Melbourne representative of the Free West Papua Movement, Ronny Kerani specifically named Vanuatu being one of the countries to have pushed the issue of Papuan independence to the United Nations, and labeled Vanuatu as one country that had gone “behind closed doors” with Indonesia.

    A farewell gathering is to be hosted by VIHA on Wednesday evening and Wenda will depart from Vanuatu on Thursday morning.

    A leading figure in the region’s independence movement, Benny Wenda served as a special representative to both the British Parliament and the United Nations. He was detained in 2002 by the Indonesian government on accusations of inciting violence and arson, but escaped during his trial and was granted political asylum in the United Kingdom. 

    After arriving in the UK, Wenda founded the Free West Papua Campaign to spread awareness of the human rights situation in West Papua.


    3/05/2013

    Konflik Papua karena Masalah Politik, Kemanusiaan dan HAM

    Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam (kanan)
    JAKARTA - Anggota DPD RI asal Provinsi Papua Wahidin Ismail menilai konflik Papua terjadi karena ada masalah politik, kemanusiaan, dan pelanggaran HAM yang masih dianggap belum tuntas. Otsus pun belum terlaksana dengan baik, karena banyak anggaran yang tidak diperuntukkan bagi pembangunan Papua dengan benar.

    "Karena itu, pemerintah harus berkomunikasi dengan baik dan konsisten dalam membuat kebijakan. Tak bisa melepas uang Otsus begitu saja, tanpa pengawasan yang ketat,” ujar anggota DPD RI asal Provinsi Papua Wahidin Ismail dalam diskusi di gedung Parlemen MPR/DPR/DPD bersama dengan sejarawan LIPI Asvi Warman Adam dan Wakil Ketua DPRD Papua, Jimmy Demianus Ijie, Senin (4/3/2013).

    Wahidin mengatakan Presiden SBY tak perlu takut dialog. Sebab, mantan presiden alm KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah memberi contoh yang baik melalui pendekatan kultural, dan dampaknya sangat positif bagi NKRI.

    "Bayangkan Gus Dur begitu sampai di Bandara Cenderawasih langsung ziarah ke makam Theis H Eluway (Ketua Persedium Dewan Papua - PDP), itu sama dengan menghormati tokoh adat Papua,” ujarnya.

    Hal yang sama diungkapkan Asvi Warman Adam, jika pendekatan kultural Gus Dur oleh pemerintah perlu ditiru. Apalagi penyelesaian setiap daerah itu memang tidak bisa disamakan dengan daerah yang lain.

    “Gus Dur itu mengakui identitas adat Papua dan dialog pun tak membuahkan kemerdekaan sebagaimana yang dikhawatirkan. Hanya saja dialog itu perlu dirumuskannya mengenai siapa sebagai representasi warga Papua, materi atau substansi dialog, dan format dialog yang tepat yang bagaimana? Jadi, jangan menghindari dialog,” tegasnya.

    Sedangkan Jimmy mengakui, memang ada pejabat Papua yang memperkaya diri dari dana Otsus tersebut, namun ada pula yang memelihara konflik. Mereka ini menjadikan Papua sebagai eksperimen politik.

    “Selama 32 tahun Orde Baru keamanan PT Freeport dikendalikan oleh TNI Angkatan Darat, dan pasca reformasi diserahkan pada kepolisian, dan sekarang menjelang turunnya dana Otsus kembali terjadi penembakan, sehingga wajar kalau ada yang mencurigai adanya ‘permainan’ dan sengaja ‘memelihara’ konflik itu demi uang,” kata Jimmy.

    More